Minggu, 07 Maret 2010

pengkajian_puisi_jawa_modern: apresiasi puisi

pengkajian_puisi_jawa_modern: apresiasi puisi

46 komentar:

  1. PEMAKNAAN PUISI DONGA BALIK
    Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya
    berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat
    dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan
    bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa
    Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang
    hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang
    yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru,
    orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
    Oleh karena itu, puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra dari hasil karya cipta
    seseorang, memiliki berbagai tujuan dari diciptakannya puisi tersebut, kurang lebih tidak jauh
    berbeda dengan bentuk karya sastra lainnya, prosa dan drama yang termasuk sebagai bentuk
    kesenian, yaitu seni sastra. Sebagai salah satu bentuk seni sastra, kekhasan perwujudan
    wacana puisi sangat mudah dikenali, terutama oleh orang yang memiliki apresiasi terhadap
    seni satra. Bentuk-bentuk puisi pun beragam, sesuai dengan maksud dan tujuan serta latar
    belakang diciptakannya puisi tersebut, termasuk kegunaan atau manfaatnya.
    Dalam wacana puisi Jawa, keragaman bentuknya disesuaikan dengan perkembangan
    zaman berdasarkan latar belakang bahasa yang digunakan dalam menciptakan puisi. Puisi
    Jawa memiliki beragam jenis sejak dari zaman Jawa Kuna hingga Jawa Modern, yaitu
    kakawin, kidung, tembang tengahan, tembang gedhe, singir, guritan, macapat, parikan,
    wangsalan, dan geguritan. Dengan kata lain, bila berhadapan dengan puisi Jawa, bagi yang
    mengenali jenis-jenis puisi tersebut, akan dengan mudah menandai puisi yang dihadapinya
    termasuk jenis puisi yang mana. Dari berbagai jenis tersebut tentunya memiliki struktur dan
    estika masing-masing. Menurut Saputra (2001: 1-6) unsur-unsur yang selalu ada dan pasti
    muncul dalam wacana puisi sebagai strukturnya adalah aspek bunyi, aspek kebahasaan, aspek
    spasial atau aspek peruangan, dan aspek pengujaran. Demikian pula yang terdapat dalam
    wacana puisi Jawa dengan berbagai jenisnya itu.
    Di dalam aspek bunyi, baik bunyi segmental maupun bunyi suprasegmental memiliki
    fungsi estetik, aksentuasi, dan spasial yang terwujud dalam rima dan irama. Sementara itu
    aspek bahasa dalam puisi lebih pada tataran fungsi sekunder yang memiliki makna konotatif

    dibandingkan dengan makna leksikal. Sedangkan perwujudan aspek peruangan dalam puisi
    sering disebut sebagai tipografi atau aspek spasial, yang terdiri dari bait/pada, baris/gatra,
    dan kata. Selain itu, sebagai bentuk ujaran, pribadi yang „menghadirkan‟ puisi disebut
    sebagai pengujar atau pencerita. Oleh karena itu, dalam puisi ada aspek pengujaran, baik
    yang diujarkan maupun yang mengujarkan. Subjek pengujaran adalah yang bertindak
    menghadirkan wacana puisi, sedangkan objek pengujarannya adalah wacana puisi itu sendiri,
    yang terdiri atas subjek ujaran (tokoh) dan objek ujaran. Objek ujaran terdiri dari unsur latar
    dan tema.

    BalasHapus
  2. Nama : Pangestika Tuhu Kristanti
    NIM : 2102408126
    Rombel : 2
    Mata Kuliah : Pengkajian Puisi Jawa Modern
    Dosen Pengampu : Bpk. Yusro Edy Nugroho

    Teori-Teori untuk Memahami atau Mengapresiasi Geguritan

    I. Pengantar
    Pada mata kuliah Pengkajian Puisi Jawa Modern ini yang akan kita bedah atau kita serap (baca sesep) ilmunya adalah mengenai geguritan atau puisi yang menggunakan tembung-tembung bahasa Jawa. Sebelum kita masuk dalam teori sebagai alat untuk mengapresiasi atau memahami geguritan marilah kita pelajari, kita telisisk bersama apa sih yang dimaksug dengan geguritan itu, ada pesona apa dibalik kata geguritan itu. Layakkah geguritan menjadi salah satu karya sastra yang unik dan menjadi saalah satu aksen dalam pembelajaran bahasa Jawa.
    Geguritan berasal dari kata gurit yang artinya tulisan, komposisi khususnya puisi. Anggurit artinya menulis sesuatau, mengubah sesuatu (Mulder dan Robson, 1997:320). Dalam kamus Bali- Indonesia (Warsito, 1978:223), gurit artinya gubahan cerita yang berbentuk tembang (pupuh0. Geguritan itu adalah merupakan karya sastra yang dibangun oleh pupuh dan diikat oleh peraturan padalingsa. Yang mempunyai system konvensi sastra cukup ketat (Ganing, 2003:7). Sedangkan yang dimaksud dengan pupuh dan padalingsa, di mana padalingsa ini dapat menimbulkan melodi atau lagu yang lazim disebut dengan gending. Setiap pupuh mempunyai padalingsa sendiri-sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa geguritan adalah gubahan cerita yang berbentuk tembang diikat oleh padalingsa.
    Akan tetapi agaknya sangat munafik bila kita terus berkutat pada teori di atas. Seiring dengan berkembangnya sastra dan bahasa, yang dipandu oleh teknologi yang modern, geguritan seolah beralih wujud. Meskipun wujud yang lama tetap ada dan tetap dilestarikan sebagai budaya yang bernilai tinggi.
    Geguritan atau puisi jawa modern yang sekarang ini masuk menjadi salah satu bagian pada pendidikan bahasa dan sastra Jawa di sekolah-sekolah dasar bahkan menengah adalah suatu puisi jawa yang agaknya lebih bebas dan lebih besa mengepakkan sayap di dunia kreativitas. Sebab geguritan atau puisi jawa modern tidak terlalu terikat oleh aturan seperti pupuh-pupuh yang terdapat dalam cakepan tembang.
    Meskipun begitu untuk dapat memahami suatu geguritan (baca puisis jawa modern) diperlukan teori-teori yang tepat agar tidak salah tafsir yang berujung pada kesalahan pemahaman arti atau makna, dan berakibat fatal pada kelirunya pembacaan geguritan.

    BalasHapus
  3. 2. Teori imajinasi/ imajinatif/ membayangkan
    Yang dimaksud adalah kita membayangkan kata-kata atau tembung-tembung yang terdapat dalam bait-bait geguritan tersebut menjadi suatu suasana dengan setting tempat dan waktu yang tepat. Dengan cara ini kita akan lebih bisa merasakan isi geguritan itu dan lebih bisa membawa audiens untuk masuk dalam suasana yang kita bayangkan. Teori ini dilakukan setelah kita menguasai teori yang pertama.
    3. Teori penjedaan
    Teori penjedaan bermakna pula teori pemberian jeda. Ada beberapa kata dalam geguritan yang memang harus mendapat perhatian khusus karena sifat keambiguannya. Salah satu solusinya adalah dengan pemberian jeda / pedhotan yang tepat agar tidak terjadi ambiguisitas/ kerancuan/ salah tafsir dan bahkan kesalahan dalam pemberian makna. Seperti misalnya dalam geguritan yang berjudul “Apa Isih Panggah” karya Ariestab Widya berikut ini.
    Apa Isih Panggah
    Kaanggit dening
    Ariesta Widya
    Dak urut dalan iki
    Cemara nglangak langit nyabet-nyabet
    Ndhadhah sing nyingget villa kuning
    Kepangan ing mangsa ketiga
    Ngrangkul bedhidhing dikanthi angin
    Sing nunjem ati nandhes balung

    Dak urut dalan iki
    Apa ing kene isih ana rasa kaya wingi uni
    Ing lambe, ing ati, ing pangangen lan ing panindak
    Apa wis ora pepasihan, marga ana gendhing anyar

    Dak urut dalan iki
    Iberan wis kelangan pencoklan
    Swarane wis ora ngrangin maneh
    Kejaba siji loro sing luput saka bedhile bocah kutha
    Banjur mung ngenteni wektu esuk lan sore

    Dak urut dalan iki
    Ati ketir-ketir kaya senthir ing gubug mangsa paceklik
    Bumi katresnanku, bumi katresnanku
    Digadhekake anak lanang

    Pada baris kedua bait pertama tertulis “cemara nglangak langit nyabet nyabet”. Dengan teori ini kita akan bisa memahami baris pada geguritan ini.
    Dengan penjedaan yang benar akan membuat kita bisa menangkap dengan jelas maksudnya.
    Bila dibacakan dengan jeda:
    Cemara nglangak//langit nyabet-nyabet
    Penjedaan ini kurang tepat karena langit tidak mungkin nyabet-nyabet cenara yang nglangak atau menghadap/ menegadah ke langit. Ketidakmungkinan ini terjadi karena kurang berterimanya penjedaan ini dengan alasan kekurang logisan makna.
    Akan lebih tepat bila penjedaannya seperti berikut:
    Cemara nglangak langit//nyabet-nyabet
    Dalm penjedaan ini terdapat makna bahwa cemara menengadah kelangit cemara ini di ibaratkan sebagai suatu benda yang nyabet-nyabet ke langit dikarenakan batang tubuhnya yang tinggi dan daunnya yang tajam menyerungat ke langit.
    Dari perbandingan di atas, maka bisa disimpulkan penjedaan yang benar berbanding lurus dengan pemahaman yang benar, demikian pula sebaliknya penjedaan yang salah bisa mengakibatkan pemahaman yang salah pula.
    4. Teori penelisikan simbol kata
    Simbol kata adalah suatu kata yang menggambarkan atau menyimbolkan sesuatu, jadi kata ini tidak bermakna yang sebenarnya karena memang sengaja dipilih oleh penyair untuk menggambarkan maksud tertentu. Maksud ini adalah maksud terselubung dan harus dipahami secara lebih mendalam.
    Contoh:
    Ora lila yen aku kelangan melati wangi kang wis mekar nunjem ing teleng batinku.
    Simbol kata melati wangi ini dipakai untuk menggambarkan atau menyimbolkan seorang wanita yang cantik jelita yang telah lama bersemayam mengisi hati penyair.

    BalasHapus
  4. 5. Teori tanda bunyi
    Untuk memperoleh pengapreasian yang maksimal dari suatu geguritan, dapat dilakukan dengan mencermati setiap tangda bunyi yang ada dalam tiap baris geguritan. Karena tanda tersebut menyimpan makna tertentu. Seperti misalnya pada cuplikan baris geguritan “Apa Isih Panggah” yang berbunyi Apa wis ora pepasihan.
    Kalimat ini adalah merupakan kalimat yang harus diakhiri dengan tanda tanya karena ada kata apa. Kalimat ini berarti ingin tahu, halus, kalem.
    Demikian pula bila diakhiri dengan tanda seru akan bermakna keras, kasar, benci, marah dan harus dibacakan dengan nada tinggi.

    6. Pengkajian Model Semiotik Puisi

    1. Analisis Aspek Sintaksis
    Puisi “Belajar Membaca” terdiri atas lima belas larik dan masing-

    BalasHapus
  5. masing larik terdiri atas dua sampai dengan delapan kata. Dengan melihat jumlah larik dan kata-katanya itu, kita dapat mengelompokkannya ke dalam puisi pendek. Kemudian, apabila memperhatikan kata-katanya lebih lanjut, kita akan mendapat kesan bahwa selain pendek puisi itu pun sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga kata yang diulang-ulang, yaitu kata kaki, luka, kaku. Yang lainnya adalah pronomina persona pertama (-ku-) dan persona kedua (kau-), partikel –kah, dan subordinatif kalau, yang juga mendapatkan pengulangan.
    Yang menarik dan perlu kita perhatikan dalam puisi itu adalah susunan frasa atau kata-katanya. Larik ke-2 (luka kakiku) merupakan pengulangan larik ke-1 (kakiku luka), akan tetapi dengan susunan terbalik (inversi), pembalikan susunan terdapat pula dalam larik ke-3 dan ke-4, larik ke-10 dan ke-11, dan larik ke-14 dan ke-15.
    Selain pembalikan, dalam puisi itupun terdapat penggabungan kata yang dilakukan tanpa jarak spasi. Menurut EYD (Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan) pronomina persona pertama (-ku-) dapat berlaku baik sebagai proklitika maupun enklitika; jadi apabila digabingkan dengan kata lain baik di depan maupun di belakangnya, tidak menjadi masalah (misalnya, pada larik ke-6: lukakukah). Akan tetapi, pronomina persona kedua (kau-) yang seharusnya hanya dapat berlaku sebagai proklitika, dalam puisi itu berlaku juga sebagai enklitika (larik ke-8: lukakaukah). Selain itu, kata luka dan kaku yang dalam larik ke-12 dipisahkan oleh spasi, dalam larik ke-14 dan ke-15 digabung tanpa spasi.
    Untuk memahami fenomena di atas, tampaknya kita perlu memahami terlebih dahulu setiap fungsi kata dalam puisi itu . Akan tetapi, penelaah fungsi kata hanya dapat dilakukan pada tataran kalimat. Pertanyaan kita kini, dapatkah setiap kata dalam puisi itu dianggap sebagai kalimat sehingga dengan demikian, kita

    BalasHapus
  6. dapat menghitung berapa jumlah kalimat yang terdapat dalam puisi itu? Dari segi formal, jelas kata-kata dalam puisi itu tidak memenuhi syarat penanda kalimat. Dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat harus dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru (Depdikbud, 1988:256).
    Walaupun demikian, usaha penentuan kalimat belumlah sampai kejalan buntu. Jalan masih ada karena kita sedang menghadapi teks sastra yang cenderung melakukan deotomatisasi atau defamiliarisasi terhadap bahasa komunikasi sehari-sehari. Selain itu, dalam bagian latar belakang telah disinggung bahwa puisi-puisi Sutardji bernuansa dengan mantra yang hakikatnya adalah sastra lisan. Tarik- menarik antara sastra tulis dan sastra lisan dalam puisi itu membuat kita perlu melihat juga ciri penanda kalimat dalam wujud lisan. Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda diakhiri oleh intonasi final, kemudian diikuti oleh kesenyapan (Depdikbud, 1988:254). Jika kita membaca dengan melisankan kata-kata yang ada dalam puisi itu akan terasalah bahwa sebenarnya susunan kata-katanya memiliki ciri penanda kalimat. Menurut hemat penulis, apabila kita merekonstruksi larik-larik puisi ke dalam bentuk kalimat, maka kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu terdiri atas 12 kalimat: 14 kalimat berita dan 8 kalimat tanya. Agar memudahkan kita untuk mengenali kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu, di bawah ini akan dikutip puisi “Belajar Membaca” setelah dibubuhi ciri penanda kalimat dalam wujud tulis dan kata-katanya dikembalikan pada susunan yang lazim sesuai dengan kaidah EYD.
    Praktik Pengkajian Puisi dengan Pendekatan Intertekstual Model Semiotik
    Pada bagian berikut akan dipraktikkan salah satu pendekatan di atas, yaitu pendekatan intertekstual dengan model semiotik terhadap puisi Indonesia karya Sutardji Calzoum. Pemilihan puisi Sutardji berrdasarkan pertimbangan bahwa puisinya telah menjadi fenomena baru dalam perkembangan khazanah sastra Indonesia. Fenomena Baru itu tampak dari pengucapan puisinya yang bernuansa mantra. Sebagai puisi modern, puisi-puisi Sutardji tentu saja berwujud sastra tulis. Akan tetapi, untuk kepentingan pengucapan puisinya, Ia “menaburkan ruh” mantra, yang bersumber dari tradisi puisi lama atau sastra lisan. Sutardji sendiri menulis dalam kredo puisinya bahwa menulis puisi baginya adalah mengembalikan puisi pada mantra (1981 : 14).
    Karena seni hasil tradisi lisan tak dapat dipisahkan dari seni pertunjukan (Teeuw, 1994), pemaduan seni itu dengan seni modern yang tradisi tulis menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Misalnya, kita dapat melihat bahwa keutuhan puisi Sutardji akan tampak secara optimal ketika dibacakan secara lisan, khususnya oleh penyairnya sendiri. Akan tetapi, puisi bukanlah untuk penyairnya saja. Sebagai karya sastra, puisi boleh dibaca oleh siapa saja , yang demikian puisi dapat hadir dengan interpretasi yang berbeda-beda, bergantung pada pengalaman atau ground pembacanya. Karena puisi yang polyinterpretable itulah, pengarang tidak dapat menjadi penafsir tunggal bagi puisi-puisinya.
    Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menginterpretasikan salah satu puisi Sutardji yang berjudul “Belajar Membaca”. Akan tetapi, interpretasi penulis akan dipumpunkan pada wujud puisi sebagai sastra tulis. Meskipun demikian, potensi sastra lisan yang terdapat dalam puisi itu tidak akan diabaikan. Potensi itu akan disinggung juga sejauh menunjang pembahasan pada wujudnya sebagai sastra tulis.

    2. Teori Semiotika
    Tulisan ini akan menggunakan pendekatan semiotik; jadi, teori

    BalasHapus
  7. yang digunakan pun adalah teori semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, cara kerjanya, penggunaannya, dan apa yang kita lakukan dengannya ( Zaimar, 1990; Zoest, 1993 ).
    Pembahasan tentang tanda awalnya bersumber dari dua orang pakar semiotika, yaitu Charles Sanders Peirce (1839—1914) dan Ferdinand de Saussure (1857 – 1913). Kedua pakar itu meskipun sezaman, hidup ditempat yang berbeda dan bertolak dari ilmu yang berbeda pula. Dengan demikian, wajar saja apabila terminologi yang digunakan keduanya pun berbeda.
    Pierce bertolak dari filsafat atau logika dan menggunakan istilah semiotika sebagai padanan kata untuk logika. Menurut Pierce logika mempelajari cara bernalar dan sesuai dengan hipotesisnya, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Menurut pierce juga, berdasarkan hubungan tanda dengan acuan atau denotatumnya, tanda terbagi menjadi tiga : ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang terjadi karena hubungan kemiripan ( topologis, diagramatis, atau metaforis ). Indeks adalah tanda yang terjadi karena adanya kedekatan eksistensi, dan simbol adalah tanda yang terjadi karena hubungan yang bersifat konvensional (Zoest, 1993).
    Saussure bertolak dari linguistik. Menurutnya, bahasa haruslah dipelajari sebagai sistem tanda. Dia pun memikirkan nama untuk ilmu tanda yang ia beri nama semiologi. Dia memperkirakan bahwa semiologi, bila suatu saat hadir, akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda itu dan hukum atau kaidah apa saja yang mengaturnya. Linguistik hanyalah suatu bagian dari ilmu semiologi itu. Dengan demikian, hukum yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan juga pada linguistik (Saussure, 1988: 82-83). Menurutnya juga, tanda merupakan gabungan antara penanda dan petanda. Penanda adalah citra akustis sedangkan petanda adalah konsep. Penanda dan petanda merupakan dua unsur yang bersifat padu sehingga tidak dapat dipisahkan. Pemisahan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan analisis (Saussure, 1988:14).
    Menurut Zaimar (1991), analisis semiotik terhadap karya sastra sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Langkah pertama adalah dengan menganalisis aspek sintaksis. Dalam puisi analisis aspek sintaksis dapat berupa analisis satuan linguistik. Adapun yang dijadikan pedoman analisis dalam tulisan ini adalah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman EYD. Langkah kedua adalah dengan menganalisis aspek semantik. Analisis aspek semantik dalam puisi dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, dan isotopi. Namun, tulisan ini akan memumpunkan perhatian pada isotopi untuk sampai pada penemuan motif dan tema puisi. Analisis isotopi akan berpedoman pada konsep Greimas (dalam Zaimar, 1991). Kemudian, langkah ketiga adalah analisis aspek paragmatik atau pengujaran. Pengujaran terlakasana dalam rangka komunikasi yang menuntut kehadiran pengirim (penutur/pencerita) dan penerima /pendengar/pembaca (Zaimar, 1990).

    Analisis Aspek Semantik
    Dalam menganalisis aspek semantik, pertama-tama akan dilakukan analisis komponen makna kata yang terdapat dalam puisi. Kemudian, analisis dilanjutkan dengan penemuan isotopi untuk sampai pada penemuan motif sehingga dengan demikian, tema puisi kemungkinkan besar dapat ditemukan.
    Setelah menelaah makna kata per kata yang ada dalam puisi ( dengan berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia ), maka didapatlah komponen makna berikut:

    kaki

    BalasHapus
  8. yang digunakan pun adalah teori semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, cara kerjanya, penggunaannya, dan apa yang kita lakukan dengannya ( Zaimar, 1990; Zoest, 1993 ).
    Pembahasan tentang tanda awalnya bersumber dari dua orang pakar semiotika, yaitu Charles Sanders Peirce (1839—1914) dan Ferdinand de Saussure (1857 – 1913). Kedua pakar itu meskipun sezaman, hidup ditempat yang berbeda dan bertolak dari ilmu yang berbeda pula. Dengan demikian, wajar saja apabila terminologi yang digunakan keduanya pun berbeda.
    Pierce bertolak dari filsafat atau logika dan menggunakan istilah semiotika sebagai padanan kata untuk logika. Menurut Pierce logika mempelajari cara bernalar dan sesuai dengan hipotesisnya, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Menurut pierce juga, berdasarkan hubungan tanda dengan acuan atau denotatumnya, tanda terbagi menjadi tiga : ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang terjadi karena hubungan kemiripan ( topologis, diagramatis, atau metaforis ). Indeks adalah tanda yang terjadi karena adanya kedekatan eksistensi, dan simbol adalah tanda yang terjadi karena hubungan yang bersifat konvensional (Zoest, 1993).
    Saussure bertolak dari linguistik. Menurutnya, bahasa haruslah dipelajari sebagai sistem tanda. Dia pun memikirkan nama untuk ilmu tanda yang ia beri nama semiologi. Dia memperkirakan bahwa semiologi, bila suatu saat hadir, akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda itu dan hukum atau kaidah apa saja yang mengaturnya. Linguistik hanyalah suatu bagian dari ilmu semiologi itu. Dengan demikian, hukum yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan juga pada linguistik (Saussure, 1988: 82-83). Menurutnya juga, tanda merupakan gabungan antara penanda dan petanda. Penanda adalah citra akustis sedangkan petanda adalah konsep. Penanda dan petanda merupakan dua unsur yang bersifat padu sehingga tidak dapat dipisahkan. Pemisahan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan analisis (Saussure, 1988:14).
    Menurut Zaimar (1991), analisis semiotik terhadap karya sastra sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Langkah pertama adalah dengan menganalisis aspek sintaksis. Dalam puisi analisis aspek sintaksis dapat berupa analisis satuan linguistik. Adapun yang dijadikan pedoman analisis dalam tulisan ini adalah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman EYD. Langkah kedua adalah dengan menganalisis aspek semantik. Analisis aspek semantik dalam puisi dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, dan isotopi. Namun, tulisan ini akan memumpunkan perhatian pada isotopi untuk sampai pada penemuan motif dan tema puisi. Analisis isotopi akan berpedoman pada konsep Greimas (dalam Zaimar, 1991). Kemudian, langkah ketiga adalah analisis aspek paragmatik atau pengujaran. Pengujaran terlakasana dalam rangka komunikasi yang menuntut kehadiran pengirim (penutur/pencerita) dan penerima /pendengar/pembaca (Zaimar, 1990).

    Analisis Aspek Semantik
    Dalam menganalisis aspek semantik, pertama-tama akan dilakukan analisis komponen makna kata yang terdapat dalam puisi. Kemudian, analisis dilanjutkan dengan penemuan isotopi untuk sampai pada penemuan motif sehingga dengan demikian, tema puisi kemungkinkan besar dapat ditemukan.
    Setelah menelaah makna kata per kata yang ada dalam puisi ( dengan berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia ), maka didapatlah komponen makna berikut:

    kaki

    BalasHapus
  9. • anggota tubuh
    • bagian ( benda ) paling bawah
    • alat untuk berjalan

    luka
    • belah
    • pecah
    • cedera
    • menderita
    • lecet

    kaku
    • keras
    • kejang
    • cedera
    • berhentinya aktivitas

    belajar
    • berusaha
    • berlatih
    membaca
    • melihat
    • mengetahui
    • memahami
    • mengeja / melafalkan
    • mengucapkan
    • menduga / meramalkan

    Berdasarkan daftar di atas, kini kita dapat menemukan kelompok isotopi untuk setiap kata dalam puisi, yaitu isotopi manusia, isotopi kesakitan, dan isotopi usaha:

    Isotopi Manusia
    • kaki ( ku / kau ) ( 17 kali )
    • luka ( ku / kau ) ( 17 kali)
    • kaku ( 5 kali )
    • belajar
    • membaca

    Isotopi Kesakitan
    • luka ( 17 kali )
    • kaku ( 5 kali )

    Isotopi Usaha
    • belajar
    • membaca

    Baberdasarkan kelompok isotopi di atas, tampalah bahwa isotopi manusialah yang sangat menonjol, kemudian disusul berturut-turut oleh isotopi kesakitan dan isotopi usaha. Ketiga isotopi ini juga mendukung tiga motif, yaitu motif manusia, kesakitan, dan usaha. Berdasarkan motif-motif inilah kita sampai pada tema puisi, yaitu usaha manusia dalam merasakan kesakitan sesama manusia lainnya.

    3. Analisis Aspek Pragmatik
    Dalam puisi itu terdapat dua pronomina persona, yaitu aku dan kau. Pronomina persona itu dapat memberikan petunjuk kepada kita bahwa dalam puisi itu terdapat dua subjek komunikasi, yaitu si penutur dalam, dalam hal ini si aku lirik, dan si pendengar. Siapa yang diajak bicara, sulitlah untuk mengetahuinya sebab hanya disapa dengan kata kau. Yang menonjol adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh si aku lirik kepada kau. Akan tetapi, pertanyaan itu timbul setelah ada suatu kesadaran bahwa yang dijadikan pertanyaan itu adalah apa-apa yang terjadi dalam diri si aku lirik, misalnya kakiku luka kemudian kakikau lukakah, atau kakiku luka kaku kemudian luka kaku kakiku luka kaku kaki kaukah. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa si aku selalu ingin menyamakan apa yang dirasakan dirinya terhadap kau. Akan tetapi, dalam puisi itu kau hanya berperan sebagai pendengar saja, tanpa beraksi. Bahkan, akhir larik puisi pun berhenti dengan pertanyaan, luka kaku kaki kaukah luka kaku kakiku ?. Jadi, sampai akhir puisi, si aku lirik tidak atau belum yakin bahwa kau sebagai pendengarnya memiliki kesamaan dalam rasa (sakit).
    Dari analisis aspek sintaksis didapatkan bahwa pengulangan, kembalikan, penggabungan tanpa spasi, dan penambahan kompleksitas kalimat sangat dekat hubungannya dengan judul “Belajar Membaca”. Tipografi puisi pun merupakan ikon terhadap teks bacaan untuk anak-anak. Kemudian, dalam analisis aspek semantik di temukan tema puisi, yaitu usaha manusia dalam merasakan kesakitan sesama manusia lainnya. Akhirnya, dalam analisis pragmatik atau pengujaran, tampak antara penutur dan pendengar tidak atau belum terjalin hubungan komunikasi yang lancar.
    Berdasarkan uraian di atas, sampailah penulis pada sebuah interpretasi bahwa makna yang terdapat dalam puisi “Belajar Membaca” adalah usaha manusia dalam menyamakan rasa sakit terhadap manusia lainnya. Akan tetapi, usaha itu memang belum mencapai titik final sebab masih dalam taraf “belajar”.

    BalasHapus
  10. 7. Teori Kaji Makna
    Teori ini hampir sama dengan memparafrasekan puisi. Sebelum kita berani dengan lantang untuk membacakan geguritan, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna yang terdapat dalam geguritan itu, baik makna kata perkata atau makna secara keseluruhan yang menjadi isis hati atau tujuan pengarang menulis geguritan. Dalam teori kaji makna ini kita harus mengetahui secara pasti makna kata-kata yang ada dalam geguritan tersebut, terlebih kata-kata yang kedengarannya asing dan jarang dipakai oleh masyarakat umum.
    Tak jarang pula kata-kata yang tertera mengandung suatu maksud tertentu yang berlainan dengan makna yang lazim, atau dengan kata lain bermakna konotasi. Sehingga kita juga harus bisa menelisik maksud yang sesungguhnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mengartikan kata-kata sukar lalu mencari makna secara global dari paduan kata-kata yang tertera pada tiap bait. Lalu memadukan makna di tiap-tiap bait menjadi satu kesatuan makna yang utuh. Setelah kita memahami makna yang terkandung dalam geguritan tersebut maka bisa dipastikan kita akan bisa mengapresiasi dan membacakannya dengan baik dan benar, selain itu tak kalah penting juga kita bisa membuat audiens mengerti dan bisa menggambarkan jan-jane apa to maksude geguritan kuwi.
    1. Teori imajinasi/ imajinatif/ membayangkan
    Yang dimaksud adalah kita membayangkan kata-kata atau tembung-tembung yang terdapat dalam bait-bait geguritan tersebut menjadi suatu suasana dengan setting tempat dan waktu yang tepat. Dengan cara ini kita akan lebih bisa merasakan isi geguritan itu dan lebih bisa membawa audiens untuk masuk dalam suasana yang kita bayangkan. Teori ini dilakukan setelah kita menguasai teori yang pertama.
    2. Teori penjedaan
    Teori penjedaan bermakna pula teori pemberian jeda. Ada beberapa kata dalam geguritan yang memang harus mendapat perhatian khusus karena sifat keambiguannya. Salah satu solusinya adalah dengan pemberian jeda / pedhotan yang tepat agar tidak terjadi ambiguisitas/ kerancuan/ salah tafsir dan bahkan kesalahan dalam pemberian makna. Seperti misalnya dalam geguritan yang berjudul “Apa Isih Panggah” karya Ariestab Widya berikut ini.
    Apa Isih Panggah
    Kaanggit dening
    Ariesta Widya
    Dak urut dalan iki
    Cemara nglangak langit nyabet-nyabet
    Ndhadhah sing nyingget villa kuning
    Kepangan ing mangsa ketiga
    Ngrangkul bedhidhing dikanthi angin
    Sing nunjem ati nandhes balung

    Dak urut dalan iki
    Apa ing kene isih ana rasa kaya wingi uni
    Ing lambe, ing ati, ing pangangen lan ing panindak
    Apa wis ora pepasihan, marga ana gendhing anyar

    Dak urut dalan iki
    Iberan wis kelangan pencoklan
    Swarane wis ora ngrangin maneh
    Kejaba siji loro sing luput saka bedhile bocah kutha
    Banjur mung ngenteni wektu esuk lan sore

    Dak urut dalan iki
    Ati ketir-ketir kaya senthir ing gubug mangsa paceklik
    Bumi katresnanku, bumi katresnanku
    Digadhekake anak lanang

    Pada baris kedua bait pertama tertulis “cemara nglangak langit nyabet nyabet”. Dengan teori ini kita akan bisa memahami baris pada geguritan ini.
    Dengan penjedaan yang benar akan membuat kita bisa menangkap dengan jelas maksudnya.
    Bila dibacakan dengan jeda:
    Cemara nglangak//langit nyabet-nyabet
    Penjedaan ini kurang tepat karena langit tidak mungkin nyabet-nyabet cenara yang nglangak atau menghadap/ menegadah ke langit. Ketidakmungkinan ini terjadi karena kurang berterimanya penjedaan ini dengan alasan kekurang logisan makna.
    Akan lebih tepat bila penjedaannya seperti berikut:
    Cemara nglangak langit//nyabet-nyabet
    Dalm penjedaan ini terdapat makna bahwa cemara menengadah kelangit cemara ini di ibaratkan sebagai suatu benda yang nyabet-nyabet ke langit dikarenakan batang tubuhnya yang tinggi dan daunnya yang tajam menyerungat ke langit.
    Dari perbandingan di atas, maka bisa disimpulkan penjedaan yang benar berbanding lurus dengan pemahaman yang benar, demikian pula sebaliknya penjedaan yang salah bisa mengakibatkan pemahaman yang salah pula.

    BalasHapus
  11. Puisi analisis
    adalah proses menyelidiki sebuah puisi yang bentuk, isi, dan sejarah dalam sebuah cara informasi, dengan tujuan mempertinggi sendiri dan orang lain pemahaman dan apresiasi terhadap pekerjaan.
    The words poem and poetry derive from the Greek poiēma (to make) and poieo (to create). Kata-kata puisi dan puisi berasal dari bahasa Yunani poiēma (untuk membuat) dan poieo (untuk menciptakan). That is, a poem is a made thing : a creation; an artifact. Yaitu, sebuah puisi adalah membuat hal: sebuah ciptaan; sebuah artefak. One might think of a poem as, in the words of William Carlos Williams , a "machine made of words". Machines produce some effect, or do some work. Orang mungkin berpikir tentang sebuah puisi sebagai, dalam kata-kata William Carlos Williams, sebuah "mesin yang terbuat dari kata-kata". Mesin menghasilkan beberapa efek, atau melakukan pekerjaan. They do whatever they are designed to do. Mereka melakukan apa saja yang mereka dirancang untuk melakukan. The work done by this "machine made of words" is the effect it produces in the reader's mind. Kerja yang dilakukan oleh "mesin yang terbuat dari kata-kata" adalah efek yang dihasilkan dalam pikiran pembaca. A reader analyzing a poem is akin to a mechanic taking apart a machine in order to figure out how it works. Seorang pembaca puisi menganalisis mirip dengan seorang montir membongkar sebuah mesin dalam rangka untuk mengetahui cara kerjanya.
    Like poetry itself, poetry analysis can take many forms, and be undertaken for many different reasons. Seperti puisi itu sendiri, analisis puisi dapat mengambil banyak bentuk, dan dapat dilakukan untuk berbagai alasan. A teacher might analyze a poem in order to gain a more conscious understanding of how the poem achieves its effects, in order to communicate this to his or her students. Seorang guru mungkin menganalisis sebuah puisi dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih sadar puisi tentang bagaimana mencapai akibat-akibatnya, dalam rangka untuk mengkomunikasikan hal ini kepada murid-murid nya. A writer learning the craft of poetry might use the tools of poetry analysis to expand and strengthen his or her own mastery. Seorang penulis mempelajari seni puisi mungkin menggunakan alat-alat analisis puisi untuk memperluas dan memperkuat penguasaan sendiri. A reader might use the tools and techniques of poetry analysis in order to discern all that the work has to offer, and thereby gain a fuller, more rewarding appreciation of the poem. Seorang pembaca dapat menggunakan alat-alat dan teknik analisis puisi untuk melihat semua bahwa pekerjaan yang ditawarkan, dan dengan demikian mendapatkan yang lebih lengkap, lebih berharga apresiasi puisi.

    BalasHapus
  12. Apresiasi puisi
    Gaung kegagalan pengajaran apresiasi sastra di sekolah sudah lama terdengar. Banyak pengamat menilai pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan membosankan. Siswa tidak diajak untuk menjelajahi dan menggauli keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekadar dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan hafalan. Mereka tidak diajak untuk mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pengajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga peserta didik gagal menikmati “lezat”-nya isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa.
    Pengajaran apresiasi puisi pun dinilai tak luput dari situasi semacam itu. Pengajaran apresiasi puisi baru sebatas menyajikan kulitnya saja; seperti pengertian tentang diksi, rima, pencitraan, tema, atau pesan moral; belum menukik pada upaya untuk menemukan keagungan nilai dan nilai keindahan yang terkandung di dalamnya. Tidak heran kalau pengajaran apresiasi puisi belum banyak berkiprah dalam membentuk watak dan kepribadian siswa. Dari tahun ke tahun, pengajaran apresiasi puisi tak lebih dari sebuah rutinitas pengajaran untuk memenuhi tuntutan kurikulum belaka; belum memberikan inspirasi kepada siswa didik untuk menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki sikap responsif terhadap nilai-nilai moral dan keluhuran budi.
    Salah satu persoalan klasik yang sering dituding menjadi penyebab kurang menariknya pengajaran apresiasi puisi adalah pemilihan bahan ajar. Bahan ajar sekadar diambil dari buku teks yang belum tentu cocok dengan tingkat kemampuan berbahasa, perkembangan jiwa, dan latar belakang budaya siswa didik. Dalam kondisi seperti ini, guru bukanlah satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan apresiasi puisi di sekolah. Selain, terbatasnya ketersediaan buku sumber di perpustakaan sekolah dan sistem penilaian yang kurang sahih, kurikulum juga dianggap sebagai faktor yang tak dapat diabaikan. Untuk itu, perlu ada upaya serius untuk meniyasati agar kurikulum dan apresiasi puisi bisa ”dikawinkan” ke dalam sebuah ”rumah” pengajaran apresiasi puisi yang inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
    Dalam konteks demikian, ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam memilih teks puisi sebagai bahan ajar, yakni pendekatan berbasis sastra dan pendekatan berbasis kurikulum. Kedua pendekatan ini tidak harus digunakan secara terpisah, tetapi bisa diintegasikan menjadi sebuah pendekatan pemilihan bahan ajar yang mampu mengakomodasi antara kepentingan kurikulum dan apresiasi sastra.

    BalasHapus
  13. Pendekatan Berbasis Sastra
    Meminjam konsep Rahmanto (1988), setidaknya ada tiga aspek penting yang tak boleh dilupakan dalam memilih bahan ajar puisi, yakni aspek bahasa, kematangan jiwa, dan latar belakang budaya siswa.
    1. Aspek Bahasa
    Bahasa puisi bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan). Mengingat sifat bahasa puisi yang semacam itu, akan terbuka peluang yang begitu luas dan terbuka kepada siswa untuk menafsirkan sendiri puisi yang bersangkutan (multitafsir). Meskipun demikian, jangan sampai sifat puisi yang multitafsir memberikan beban bagi siswa dalam menemukan keagungan nilai dan nilai keindahan yang terkandung di dalamnya. Justru perlu dimaknai sebagai nilai tambah yang akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempertajam daya apresiasi sekaligus ”menghidupkan” naluri keindahannya.
    Sungguhpun ada kebebasan dan keleluasaan dalam menafsirkan makna sebuah puisi, siswa perlu dibekali dengan pemahaman, bagaimana penafsiran itu mesti dilakukan. Tujuannya semata-mata agar hasil apresiasi itu berlandaskan alasan yang logis, argumentatif, dan meyakinkan; juga agar kekayaan makna puisi dapat diungkapkan lebih mendalam. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan betul aspek penggunaan bahasa yang digunakan oleh sang penyair dalam teks puisi untuk menghindari terjadinya tafsir yang jauh menyimpang dari substansi makna yang terkandung dalam teks. Dengan kata lain, guru perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih teks puisi yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa.
    2. Aspek Kematangan Jiwa
    Aspek kematangan jiwa siswa perlu dipertimbangkan betul ketika seorang guru menentukan teks puisi yang hendak dijadikan sebagai bahan ajar karena akan sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan siswa didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan jiwa juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan masalah yang dihadapi.
    Ada beberapa tahap perkembangan jiwa siswa yang perlu dijadikan sebagai rujukan guru dalam menentukan bahan ajar puisi, di antaranya: (1) tahap pengkhayal (8-9 tahun): pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata, tetapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan; (2) tahap romantik (10-12 tahun): pada tahap ini, anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mulai mengarah pada realitas, meskipun pandangannya tentang dunia masih sangat sederhana. Selain itu, anak juga telah menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, atau kejahatan; (3) tahap realistik (13-16 tahun): pada tahap ini anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat berminat pada realitas, atau apa yang benar-benar terjadi; mereka mulai terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata; (4) tahap generalisasi (16 tahun -…): pada tahap ini, anak sudah berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis sebuah fenomena. Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran falsafati untuk menemukan keputusan-keputusan moral.
    Dalam konteks demikian, teks puisi yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan tahap psikologis siswa yang berada dalam satu kelas. Memang, tidak semua siswa dalam satu kelas memiliki tahapan psikologis yang sama, tetapi setidaknya guru bisa memilih teks puisi yang secara psikologis memiliki daya tarik terhadap minat siswa untuk mengapresiasi puisi.

    BalasHapus
  14. 3. Aspek Latar Belakang Budaya Siswa
    Dalam sejarah perkembangan sastra, kita mengenal teks puisi yang amat beragam nada dan suasana kulturalnya. Hal ini sangat ditentukan oleh latar belakang kehidupan dan kreativitas sang penyair dalam melahirkan teks-teks puisinya. Dalam situasi semacam ini, guru perlu mempertimbangkan latar belakang budaya siswa dalam memilih teks puisi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pengaburan tafsir teks puisi dan penggambaran suasana teks di luar batas jangkauan imajinasi siswa.
    Coba kita perhatikan beberapa kutipan puisi berikut ini!
    (1) SURAT DARI IBU
    Pergi ke dunia luas, anakku sayang
    pergi ke hidup bebas!
    Selama angin masih angin buritan
    dan matahari pagi menyinar daun-daunan
    dalam rimba dan padang hijau
    (”Surat dari Ibu” karya Asrul Sani)
    (2) DOA SI KECIL
    Tuhan Yang Pemurah
    Beri mama kasur tebal di surga
    Tuhan yang Kaya
    Berikan ayah pipa yang indah
    Amin.
    (“Doa si Kecil” karya Taufiq Ismail)
    (3) DI MEJA MAKAN

    Ruang diributi jerit dada
    Sambal tomat pada mata
    meleleh air racun dosa

    Dari aspek bahasa, tahapan psikologis, dan latar belakang budaya siswa, ”Ibu”, ”Doa”, atau ”Tomat” merupakan konsep yang sudah sangat akrab dengan dunia siswa. Muatan isi dalam kutipan puisi ”Surat dari Ibu” kiranya cukup jelas, yaitu nasihat seorang ibu kepada anaknya (melalui surat) yang pergi mengembara yang disajikan dengan nada yang halus dan penuh cinta kasih. “Doa si Kecil” memberikan imaji seorang anak yang berdoa kepada Tuhan dalam bahasa yang sederhana dan dalam suasana khidmat, sebagaimana lazimnya ketika seseorang sedang berdoa. Sedangkan, ”Di Meja Makan”, memberikan gambaran, bagaimana rasanya jika sambal yang pedas itu mengenai mata; perih dan panas. Larik ini juga mengasosiasikan kepedihan yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Larik berikutnya seolah-olah menyimpulkan, bahwa penderitaan dan kegelisahan itu lebih disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa: meleleh air racun dosa. Jadi, ada semacam penyesalan yang mendalam.

    BalasHapus
  15. Catatan Penutup
    HLB Moody pernah menyatakan bahwa pengajaran sastra yang baik akan mampu memberikan sumbangan terhadap dunia pendidikan, di antaranya dalam hal kemampuan berbahasa, pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak. Hal senada juga dikemukakan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. bahwa karya sastra mampu memberikan kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, mampu menunjukkan kebenaran manusia dan kehidupan secara universal, dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannya, dapat memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang diketahui, bahkan dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap nilai-nilai keluhuran budi.
    Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban negeri ini dinilai sedang “sakit”? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap “rabun sastra”?
    Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sastra bukan “sihir” yang sekali “abrakadabra” langsung bisa mengubah keadaan. Sastra lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi sastra berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi sastra semacam itu akan menghasilkan “kristal-kristal” kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri sastra dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.
    Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi “agen perubahan” untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, bermoral, dan religius. ***

    BalasHapus
  16. Ulfatul Faiqoh ( 2102408121 )8 Maret 2010 pukul 00.05

    Pendekatan Dalam mengapresiasi Puisi
    Pendekatan sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan seseorang ketika mengapresisikan puisi dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan ditentukan oleh tujuan dan apa yang akan diapresiasikan lewat teks sastra yang dibacanya.
    Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan di bawah ini:
    1. Pendekatan Parafrasis
    Pendekatan parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
    2. Pendekatan Emotif
    Pendekatan emotif dalam apresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang menyentuh emosi atau perasaan pembaca. Prinsip dasar yang melatarbelakanginya adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan.
    3. Pendekatan Analitis
    Pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan, sikap pengarang, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen itu sehingga mampu membangun keselarasan dari kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

    BalasHapus
  17. Ulfatul Faiqoh ( 2102408121 )8 Maret 2010 pukul 00.06

    4. Pendekatan Sosio Psikologis
    Pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, masyarakat maupun tanggapan kejiwaan pengarang terhadap lingkungan kehidupannya pada saat cipta sastra diwujudkan.
    5. Pendekatan Historis
    Pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca serta tentang b agaiman perkembangankehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri dari jaman ke jaman.
    6. Pendekatan Didaktis
    Pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, evaluatif, maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Penerapan pendekatan ini menurut daya ntelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya.
    Dalam pelaksanaannya keenam pendekatan di atas umumnya digunakan secara enklitik(salingberkaitan) tujuannya agar pembaca tidak merasa bosan dan sesuai dengan kompleksitas aspek maupun keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri
    Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya.
    Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pemahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu makna teks. Sebagai sebuah teks, puisi menyodorkan makna eksplisit dan implisit. Makna eksplisit dapat kita tarik dari perwu-judan teks itu sendiri; pilihan katanya, rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhu-bungan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika yang digunakan berkaitan de-ngan pemikiran atau ekspresi yang ditawarkan; makna semantis berkaitan dengan keda-laman makna setiap

    BalasHapus
  18. Ulfatul Faiqoh ( 2102408121 )8 Maret 2010 pukul 00.07

    kata dan acuan-acuan yang disarankannya. Adapun makna implisit berkaitan dengan interpretasi dan makna yang menyertai di belakang puisi bersangkutan. Apapun jenis puisi yang menjadi objek apresiasi atau kajian kritis terhadapnya, langkah-langkah sebagai usaha pemahaman itu sangat mungkin dapat membantu pembaca menyelam ke dalam dunia puisi yang bersangkutan dan kemudian muncul kembali dengan membawa pemahaman tekstual dan kontekstualnya. Pemahaman tekstual atau makna teks tersurat dapat dilakukan lewat dua tahapan. Sebelum kita memasuki langkah-langkah apre-siasi puisi, perlu kiranya kita memahami dahulu pengertian apresiasi itu sendiri, agar tidak terjadi pencampuradukan antara apresiasi puisi dan pengetahuan tentang puisi. *** Apresiasi puisi atau apresiasi sastra pada umumnya merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap karya sastra (puisi). Sebagai penghargaan, maka langkah pertama yang mesti dilakukan adalah pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri. Jika apresiasi dilaku-kan dengan cara pembacaan penggalan-penggalan teks, maka itu bukanlah apresiasi. Seba-gai pelajaran sastra atau sebagai usaha menyampaikan pengetahuan tentang sastra, hal itu boleh saja dilakukan. Tetapi sebagai sebuah apresiasi, tindakan itu justru keliru dan meren-dahkan kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalam karya yang bersangkutan. Masalah-nya, bagaimana mungkin penghargaan terhadap karya sastra (puisi) dapat dilakukan jika membaca karyanya itu sendiri secara utuh tidak dilakukan. Dengan demikian, langkah pa-ling awal yang mesti dilakukan dalam apresiasi adalah pembacaan teks sastra.
    Langkah kedua dalam apresiasi sastra (puisi) adalah penyisihan teori-teori atau konsep-konsep baku mengenai pengertian, rumusan atau definisi. Definisi pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan pemahaman abstrak mengenai apa yang didefinisikan. Apresiasi justru penghargaan terhadap wujud konkret karyanya itu sendiri. Dengan demikian, apresiasi yang diawali dengan pemberian apalagi jika kemudian dijadikan sebagai hapalan mati– definisi, justru tidak hanya melanggar hakikat karya sastra itu sendiri, me-lainkan juga memulainya dengan langkah yang dapat menyesatkan. Sebagai contoh, per-hatikan definisi puisi yang saya kutip dari beberapa buku pelajaran sastra: Puisi adalah karangan yang terikat oleh:
    1) banyaknya baris dalam tiap bait
    2) banyaknya kata dalam tiap baris
    3) banyaknya suku kata dalam tiap baris
    ,4) adanya rima, dan
    5) irama.

    BalasHapus
  19. Ulfatul Faiqoh ( 2102408121 )8 Maret 2010 pukul 00.08

    Analisis Puisi
    Karya Chairil Anwar
    Aku mau bebas dari segala
    Merdeka
    Juga dari Ida
    Pernah
    Aku percaya pada sumpah dan cinta
    menjadi sumsum dan darah
    seharian kukunyah – kumamah
    Sedang meradang
    segala kurenggut
    ikut bayang
    Tapi kini
    Hidupku terlalu tenang
    selama tidak diantara badai
    kalah menang
    Ah ! Jiwa yang menggapai-gapai
    mengapa kalau beranjak dari sini
    kucoba dalam mati


    Analisis Gaya Bahasa Puisi Merdeka
    Sajak-sajak angkatan 45 banyak menggunakan gaya bahasa hiperbola, daripada gaya bahasa yang lain. Sajak “Merdeka” di atas dominan menggunakan gaya bahasa hiperbola hal ini dapat dilihat dari isi puisi tersebut, yaitu:
    a) pada bait kedua yang berbunyi: “Aku percaya pada sumpah dan cinta menjadi sumsum dan darah seharian kukunyah-kumamah”
    b) padat bait ketiga yang berbunyi: “Sedang meradang segala kurenggut ikut bayang”
    c) pada bait kelima, tepatnya baris pertama yanag berbunyi: “Ah! Jiwa yang menggapai-gapai.
    Selain gaya bahasa hiperbola yang dominan dalam sajak di atas, juga terjadi suatu pembandingan keadaan antara bait, 1,2,3 dengan bait 4 dan 5. Hal ini dapat diketahui dengan kata “Tapi kini” yang merupakan kata pembanding keadaan antar bait tersebut.

    BalasHapus
  20. FITROTIN NI'MAH
    2102408057

    mengatakan...

    BAHAN AJAR PUISI : ANTARA TUNTUTAN KURIKULUM DAN KEPENTINGAN APRESIASI
    Gaung kegagalan pengajaran apresiasi sastra di sekolah sudah lama terdengar. Banyak pengamat menilai pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan membosankan. Siswa tidak diajak untuk menjelajahi dan menggauli keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekadar dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan hafalan. Mereka tidak diajak untuk mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pengajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga peserta didik gagal menikmati “lezat”-nya isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa.
    Pengajaran apresiasi puisi pun dinilai tak luput dari situasi semacam itu. Pengajaran apresiasi puisi baru sebatas menyajikan kulitnya saja; seperti pengertian tentang diksi, rima, pencitraan, tema, atau pesan moral; belum menukik pada upaya untuk menemukan keagungan nilai dan nilai keindahan yang terkandung di dalamnya. Tidak heran kalau pengajaran apresiasi puisi belum banyak berkiprah dalam membentuk watak dan kepribadian siswa. Dari tahun ke tahun, pengajaran apresiasi puisi tak lebih dari sebuah rutinitas pengajaran untuk memenuhi tuntutan kurikulum belaka; belum memberikan inspirasi kepada siswa didik untuk menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki sikap responsif terhadap nilai-nilai moral dan keluhuran budi.
    Salah satu persoalan klasik yang sering dituding menjadi penyebab kurang menariknya pengajaran apresiasi puisi adalah pemilihan bahan ajar. Bahan ajar sekadar diambil dari buku teks yang belum tentu cocok dengan tingkat kemampuan berbahasa, perkembangan jiwa, dan latar belakang budaya siswa didik. Dalam kondisi seperti ini, guru bukanlah satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan apresiasi puisi di sekolah. Selain, terbatasnya ketersediaan buku sumber di perpustakaan sekolah dan sistem penilaian yang kurang sahih, kurikulum juga dianggap sebagai faktor yang tak dapat diabaikan. Untuk itu, perlu ada upaya serius untuk meniyasati agar kurikulum dan apresiasi puisi bisa ”dikawinkan” ke dalam sebuah ”rumah” pengajaran apresiasi puisi yang inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
    Dalam konteks demikian, ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam memilih teks puisi sebagai bahan ajar, yakni pendekatan berbasis sastra dan pendekatan berbasis kurikulum. Kedua pendekatan ini tidak harus digunakan secara terpisah, tetapi bisa diintegasikan menjadi sebuah pendekatan pemilihan bahan ajar yang mampu mengakomodasi antara kepentingan kurikulum dan apresiasi sastra.
    Pendekatan Berbasis Sastra
    Meminjam konsep Rahmanto (1988), setidaknya ada tiga aspek penting yang tak boleh dilupakan dalam memilih bahan ajar puisi, yakni aspek bahasa, kematangan jiwa, dan latar belakang budaya siswa.

    BalasHapus
  21. Fitrotin ni'mah mengatakan...

    1. Aspek Bahasa
    Bahasa puisi bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan). Mengingat sifat bahasa puisi yang semacam itu, akan terbuka peluang yang begitu luas dan terbuka kepada siswa untuk menafsirkan sendiri puisi yang bersangkutan (multitafsir). Meskipun demikian, jangan sampai sifat puisi yang multitafsir memberikan beban bagi siswa dalam menemukan keagungan nilai dan nilai keindahan yang terkandung di dalamnya. Justru perlu dimaknai sebagai nilai tambah yang akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempertajam daya apresiasi sekaligus ”menghidupkan” naluri keindahannya.
    Sungguhpun ada kebebasan dan keleluasaan dalam menafsirkan makna sebuah puisi, siswa perlu dibekali dengan pemahaman, bagaimana penafsiran itu mesti dilakukan. Tujuannya semata-mata agar hasil apresiasi itu berlandaskan alasan yang logis, argumentatif, dan meyakinkan; juga agar kekayaan makna puisi dapat diungkapkan lebih mendalam. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan betul aspek penggunaan bahasa yang digunakan oleh sang penyair dalam teks puisi untuk menghindari terjadinya tafsir yang jauh menyimpang dari substansi makna yang terkandung dalam teks. Dengan kata lain, guru perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih teks puisi yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa.
    2. Aspek Kematangan Jiwa
    Aspek kematangan jiwa siswa perlu dipertimbangkan betul ketika seorang guru menentukan teks puisi yang hendak dijadikan sebagai bahan ajar karena akan sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan siswa didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan jiwa juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan masalah yang dihadapi.
    Ada beberapa tahap perkembangan jiwa siswa yang perlu dijadikan sebagai rujukan guru dalam menentukan bahan ajar puisi, di antaranya: (1) tahap pengkhayal (8-9 tahun): pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata, tetapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan; (2) tahap romantik (10-12 tahun): pada tahap ini, anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mulai mengarah pada realitas, meskipun pandangannya tentang dunia masih sangat sederhana. Selain itu, anak juga telah menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, atau kejahatan; (3) tahap realistik (13-16 tahun): pada tahap ini anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat berminat pada realitas, atau apa yang benar-benar terjadi; mereka mulai terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata; (4) tahap generalisasi (16 tahun -…): pada tahap ini, anak sudah berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis sebuah fenomena. Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran falsafati untuk menemukan keputusan-keputusan moral.
    Dalam konteks demikian, teks puisi yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan tahap psikologis siswa yang berada dalam satu kelas. Memang, tidak semua siswa dalam satu kelas memiliki tahapan psikologis yang sama, tetapi setidaknya guru bisa memilih teks puisi yang secara psikologis memiliki daya tarik terhadap minat siswa untuk mengapresiasi puisi.

    BalasHapus
  22. Fitrotin ni'mah mengatakan...

    3. Aspek Latar Belakang Budaya Siswa
    Dalam sejarah perkembangan sastra, kita mengenal teks puisi yang amat beragam nada dan suasana kulturalnya. Hal ini sangat ditentukan oleh latar belakang kehidupan dan kreativitas sang penyair dalam melahirkan teks-teks puisinya. Dalam situasi semacam ini, guru perlu mempertimbangkan latar belakang budaya siswa dalam memilih teks puisi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pengaburan tafsir teks puisi dan penggambaran suasana teks di luar batas jangkauan imajinasi siswa.
    Coba kita perhatikan beberapa kutipan puisi berikut ini!
    (1) SURAT DARI IBU
    Pergi ke dunia luas, anakku sayang
    pergi ke hidup bebas!
    Selama angin masih angin buritan
    dan matahari pagi menyinar daun-daunan
    dalam rimba dan padang hijau
    (”Surat dari Ibu” karya Asrul Sani)
    (2) DOA SI KECIL
    Tuhan Yang Pemurah
    Beri mama kasur tebal di surga
    Tuhan yang Kaya
    Berikan ayah pipa yang indah
    Amin.
    (“Doa si Kecil” karya Taufiq Ismail)
    (3) DI MEJA MAKAN

    Ruang diributi jerit dada
    Sambal tomat pada mata
    meleleh air racun dosa

    Dari aspek bahasa, tahapan psikologis, dan latar belakang budaya siswa, ”Ibu”, ”Doa”, atau ”Tomat” merupakan konsep yang sudah sangat akrab dengan dunia siswa. Muatan isi dalam kutipan puisi ”Surat dari Ibu” kiranya cukup jelas, yaitu nasihat seorang ibu kepada anaknya (melalui surat) yang pergi mengembara yang disajikan dengan nada yang halus dan penuh cinta kasih. “Doa si Kecil” memberikan imaji seorang anak yang berdoa kepada Tuhan dalam bahasa yang sederhana dan dalam suasana khidmat, sebagaimana lazimnya ketika seseorang sedang berdoa. Sedangkan, ”Di Meja Makan”, memberikan gambaran, bagaimana rasanya jika sambal yang pedas itu mengenai mata; perih dan panas. Larik ini juga mengasosiasikan kepedihan yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Larik berikutnya seolah-olah menyimpulkan, bahwa penderitaan dan kegelisahan itu lebih disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa: meleleh air racun dosa. Jadi, ada semacam penyesalan yang mendalam.

    BalasHapus
  23. Fitrotin ni'mah mengatakan...

    Pendekatan Berbasis Kurikulum
    Sebelum memilih teks puisi sebagai bahan ajar, guru perlu melakukan analisis standar kompetensi dan kompetensi yang terdapat dalam standar isi kurikulum. Ini artinya, teks puisi yang dipilih hendaknya benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain, pemilihan bahan ajar haruslah mengacu atau merujuk pada standar kompetensi.
    Dalam Standar Isi (SI) KTSP disebutkan bahwa standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Berkaitan dengan pengajaran apresiasi sastra, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri. Sedangkan, guru diharapkan lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya.
    Berdasarkan standar kompetensi semacam itu, tujuan pengajaran apresiasi sastra, antara lain: (1) agar siswa dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) agar siswa dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
    Beranjak dari konsep tersebut, alur pemilihan teks puisi sebagai bahan ajar dengan menggunakan pendekatan berbasis kurikulum dapat dilihat pada skema berikut ini.
    Semangat dan “roh” KTSP yang memberikan kemandiran dan keleluasaan bagi guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar merupakan sebuah perubahan paradigma dalam dunia pendidikan kita yang diharapkan dapat memacu semangat dan motivasi guru dalam menciptakan inovasi-inovasi pembelajaran yang bermakna dan bermanfaat bagi pengembangan kompetensi siswa didik. Berkaitan dengan pemilihan teks puisi sebagai bahan ajar, guru juga diharapkan dapat “mengawinkan” antara tuntutan kurikulum dan apresiasi puisi sehingga kurikulum tidak lagi dianggap sebagai beban, tetapi justru perlu dimanfaatkan sebagai media yang akan mengantarkan siswa sebagai manusia yang berbudaya.
    Catatan Penutup
    HLB Moody pernah menyatakan bahwa pengajaran sastra yang baik akan mampu memberikan sumbangan terhadap dunia pendidikan, di antaranya dalam hal kemampuan berbahasa, pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak. Hal senada juga dikemukakan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. bahwa karya sastra mampu memberikan kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, mampu menunjukkan kebenaran manusia dan kehidupan secara universal, dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannya, dapat memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang diketahui, bahkan dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap nilai-nilai keluhuran budi

    BalasHapus
  24. Fitrotin ni'mah mengatakan...

    Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban negeri ini dinilai sedang “sakit”? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap “rabun sastra”?
    Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sastra bukan “sihir” yang sekali “abrakadabra” langsung bisa mengubah keadaan. Sastra lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi sastra berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi sastra semacam itu akan menghasilkan “kristal-kristal” kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri sastra dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.
    Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi “agen perubahan” untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, bermoral, dan religius.

    BalasHapus
  25. Penggunaan Pendekatan Struktural dalam Pengkajian Puisi

    Puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks. Struktur yang dimaksud adalah susunan unsur-unsur yang memiliki sistem yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik. Hawkes dalam (Pradopo, 1995:108) menegaskan bahwa sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya dan saling berhubungan di antaranya dengan keseluruhannya. Pendekatan yang dianggap sesuai digunakan untuk menelaah hubungan antarunsur tersebut adalah pendekatan structural, sebuah pendekatan yang memandang teks sastra, khususnya puisi, sebagai suatu objek yang dibangun oleh berbagai unsur yang saling ber hubungan. Konsep dasar pendekatan struktural adalah sebagai berikut.
    Pertama, para pengamal pendekatan ini meletakkan karya sastra sebagai sebuah dunia yang mempunyai rangka dan bentuk tersendiri. Kedua, pendekatan struktural lebih menekankan aspek keberhasilan sebuah karya dari segi isi dan bentuk sebagai panduan. Kerja sama isi dengan bentuk merupakan kejayaan sebuah karya sastra. Ketiga, pendekatan ini melihat sebuah karya sastra berdasarkan komponen yang membina karya sastra sehingga interpretasi teks melalui pendekatan ini diharapkan dapat lebih objektif dan adil. Keempat, pendekatan struktural menilai sastra dari sudut karya dan aspek literasinya, bukan dari aspek lain di luar karya sastra. Kelima, pendekatan ini coba melihat perpaduan dan persesuaian antara isi dengan bentuk.
    Semi (1993:68) menjelaskan bahwa penggunaan pendekatan struktural dalam interpretasi sebuah teks hendaknya didahului dengan pembicaraan mengenai tema, baru kemudian dilanjutkan dengan komponen-komponen lain. Hal ini disebabkan tema merupakan komponen yang berada di tengah-tengah komponen yang lain. Mendahulukan pembicaraan tentang tema dapat memudahkan seorang interpreter dalam membicarakan komponen berikutnya. Berikut ini diberikan sebuah contoh sederhana telaah struktur puisi dengan menggunakan pendekatan structural, khususnya untuk telaah mikrotek, penelaahan puisi secara structural dengan focus pada satu unsur tertentu, dalam hal ini gaya bahasa.
    Perahu Kertas
    Sapardi Djoko Damono
    Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau
    layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu
    bergoyang menuju lautan.
    “Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki
    tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar
    warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-
    kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-
    mu itu.
    Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
    “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar
    dan kini terdampar di sebuah bukit.”
    Parafrase
    Berikut ini adalah parafrase bebas puisi “Perahu Kertas”.
    Sewaktu masih kecil kau lirik membuat perahu dari kertas. Perahu itu dilayarkan di tepi kali yang airnya sangat tenang. Angin menggoyangkan perahu itu, lalu membawanya hingga ke laut lepas. Seorang lelaki tua yang melihat perahu itu mengatakan bahwa perahu itu akan singgah di pelabuhan-pelabuhan besar dan ramai. Kau lirik sangat gembira mendengar berita itu. Dengan perasaan bahagia dan senang kau lirik pulang ke rumahnya. Sejak saat itu kau lirik selalu menunggu kabar tentang perahu yang selalu ada dalam ingatanya. Akhirnya kau lirik mendengar juga kabar dari seseorang yang sangat tua, Nuh, namanya. Kata lelaki tua itu, perahu itu sudah dipergunakan untuk menyelamatkan manusia dan makhluk hidup lainnya dalam sebuah banjir besar. Sekarang perahu itu terdampar di sebuah pulau.

    BalasHapus
  26. lanjutan =>
    Pembahasan
    Masa kecil merupakan masa paling indah untuk dikenang. Di waktu kecil manusia melakukan sesuatu sesuai dengan hati nurani tanpa dipengaruhi oleh unsur lain. Semua dilakukan dengan penuh keikhlasan, kepolosan, dan kesucian . Ketika dewasa, setiap manusia pasti mengalami kerinduan akan masa kecil itu yang penuh dengan kegembiraan. Kerinduan akan masa kecil itu terlihat pada ungkapan /waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau/ layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu/ bergoyang menuju lautan/.
    Perahu kertas merupakan lambang dari pengabdian manusia kepada Tuhannya. Manusia melakukan sesuatu yang diperintahkan Tuhan, tetapi belum tentu semua yang dilakukan itu akan diterima Tuhan karena semua itu juga sangat tergantung pada niat. Ibarat sebuah perahu yang berlayar di lautan lepas, angin dan gelombang sangat menentukan sampai tidaknya perahu itu ke tujuan.
    Melalui tema ketuhanan ini Sapardi ingin menyampaikan bahwa pengabdian manusia kepada Tuhan atau sesama manusia haruslah seperti sikap seorang anak dalam puisi di atas, polos, iklas dan, suci. Pengabdian yang dilakukan haruslah dilandasi oleh niat yang suci, tulus dan iklas. Agar pengabdiannya sempurna, manusia juga harus membersihkan dirinya dari nafsu duniawi.
    Satu ciri khas Sapardi dalam menulis puisi ialah memasukkan kisah-kisah masa lampau atau cerita-cerita rakyat ke dalam puisi. Dalam Perahu Kertas kekhasan itu terlihat dari usaha Sapardi memasukkan kisah Nabi Nuh ketika menggunakan perahu untuk menyelamatkan umat manusia dari banjir besar sebagai latar puisi.
    Untuk membangun puisi ini, Sapardi menggunakan gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa ini terlihat pada ungkapan /…kau membuat perahu kertas dan kau/ layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu/ bergoyang menuju lautan/. Ungkapan itu sangat berlebihan karena tidak mungkin perahu yang terbuat kertas akan bisa sampai ke lautan. Perahu itu akan hancur sebelum sampai ke lautan. Ungkapan yang sangat berlebihan semakin terasa pada ungkapan berikutnya /”Ia akan singgah di bandar-bandar besar,”…/ dan /”Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar/ dan kini terdampar di sebuah bukit.” Ungkapan ini juga menunjukkan penggunaan gaya bahasa metafora. Melalui ungkapan itu Sapardi ingin membandingkan perahu kertas itu dengan perahu Nabi Nuh yang besar. Secara logika sangat tidak mungkin sebuah perahu kertas akan singgah di bandar-bandar besar dan bisa digunakan oleh Nabi Nuh untuk menyelamatkan umat manusia dalam banjir besar itu. Untuk membawa sebiji batu kecil saja perahu itu akan tenggelam, konon lagi mengangkut manusia.
    Dalam puisi di atas juga digunakan gaya bahasa alusi. Gaya bahasa alusi merupakan gaya bahasa yang berusaha mensugesti kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Dalam puisi di atas yang disugesti adalah kesamaan benda, perahu. Kisah tentang perahu Nabi Nuh ini sudah menjadi legenda bagi umat manusia. Ketika kisah perahu kertas dihubungkan dengan kisah Nabi nuh, maka orang pasti akan membayangkan peristiwa banjir besar yang dihadapi Nabi nuh dan umatnya.
    Gaya bahasa lain yang terdapat dalam puisi “Perahu Kertas” adalah metonomia. Metonomia ini terlihat pada ungkapan /…kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala/. Gambar gambar warna-warni di kepala itu untuk mempertegas kegembiraan si aku lirik.

    BalasHapus
  27. lanjutan =>
    Hubungan Antarunsur
    Penggunaan gaya bahasa hiperbola dan alusi dalam puisi di atas oleh Sapardi terlihat hanya sebagai upaya untuk menghubungkan kisah perahu kertas itu dengan kisah Nabi Nuh. Sementara penggunaan metafora untuk menggambarkan bahwa pengabdian manusia kepada Tuhannya harus seperti seorang anak kecil ketika melepaskan perahu kertasnya. Pengabdian itu harus dilakukan secara tulus dan ikhlas, tanpa pretensi apa-apa. Ketulusan dan keihlasan itu kemudian dibandingkan pula dengan pengabdian yang dilakukan oleh Nabi Nuh saat menyelamatkan umat manusia dari bencana banjir besar. Hal ini juga didukung oleh penggunaan diksi dan simbol-simbol lain dalam puisi ini.
    Puisi “Perahu Kertas” mengambil tema tentang ketuhanan. Melalui puisi itu Sapardi ingin menyampaikan bahwa pengabdian manusia kepada Sang Pencipta harus dilakukan secara tulus dan ikhlas. Sapardi mengibarat ketulusan dan keikhlasan itu dengan sikap seorang anak kecil dan Nabi Nuh ketika menyelamatkan umat manusia dari banjir besar. Untuk mendukung tema itu, gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola, metafora, dan alusi.

    BalasHapus
  28. lanjutan =>
    Pengkajian Intertekstual Puisi

    Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya yang muncul kemudian.
    Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya sastra. Penulisan dan pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga memberi makna secara lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 1995:50).
    Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertekstualitas sebagai : “kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.
    Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Dalam hal ini dapat diambil contoh, misalnya sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, mereka juga berkenalan dengan puisi-puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang juga telah mentradisi.
    Adanya karya-karya yang ditranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal ini mungkin disadari atau tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya, menolak konvensi yang berlaku sebelumnya.
    Prinsip intertektualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Misalnya, sebagaimana dilakukan oleh Teeuw (1983:66-69) dengan membandingkan antara sajak Berdiri Aku karya Amir Hamzah dengan Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar. Pradopo membandingkan beberapa sajak yang lain dengan sajak-sajak Chairil, sajak Chairil dengan sajak Toto Sudarto Bakhtiar dan Ajip Rosyidi. Nurgiyantoro juga mencoba meneliti hubungan interteks antara puisi-puisi Pujangga Baru dengan Pujangga Lama.

    BalasHapus
  29. lanjutan=>
    Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu. Unsur-unsur hipogram itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain, pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
    Memahami puisi ialah usaha menangkap maknanya ataupun usaha memberi makna puisi. Untuk itu perlulah konteks kesejarahan puisi itu diperhatikan. Dalam kaitannya dengan konteks kesejarahan ini, perlu diperhatikan prinsip intertektualitas, yaitu hubungan antara satu teks dengan teks lain. Berdasarkan prinsip intertekstualitas seperti yang dikemukakan oleh Riffaterre (dalam Pradopo, 2002: 227), puisi biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan puisi lain, baik dalam hal persamaannya atau pertentangannya.
    Puisi baru dapat dipahami maknanya secara sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan puisi lain yang menjadi latar penciptaannya. Misalnya, puisi itu diciptakan untuk menentang atau menyimpangi konvensi puisi sebelumnya, baik dalam struktur formal maupun pikiran yang dikemukakan. Dengan menjajarkan kedua puisi itu akan diketahui untuk apa karya sastra itu ditulis, yaitu untuk menentang, menyimpangi, ataupun meneruskan konvensinya. Di samping itu, suasana puisi akan menjadi lebih terang dan kiasan-kiasannya menjadi lebih dapat dipahami. Jadi, puisi yang dicipta kemudian itu dapat menjadi lebih terang arti dan maknanya jika dianalisis dengan cara membandingkan dengan puisi sebelumnya.
    Prinsip intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra (puisi). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks sebelumnya. Dalam menanggapi teks-teks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik dan pengetahuan sastra yang dimilikinya (Pradopo, 2002: 228-229).
    Hubungan intertekstualitas antara satu karya sastra dengan karya sastra yang lain dalam sastra Indonesia, baik antara karya sezaman maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya, dapat dilihat hubungan intertekstual antara karya-karya Pujangga Baru dengan Angkatan ‘45 ataupun dengan karya lain. Untuk memahami dan mendapatkan makna penuh sebuah puisi perlu dilihat hubungan intertekstual ini. Misalnya, beberapa puisi Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstual ini menunjukkan adanya persamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan. Contoh puisi “Berdiri Aku” (Amir Hamzah) dengan “Senja di Pelabuhan Kecil” (Chairil Anwar), ”Kusangka” (Amir Hamzah) dengan ” Penerimaan” (Chairil Anwar), ”Dalam Matamu” (Amir Hamzah) dengan ”Sajak Putih” (Chairil Anwar), memiliki hubungan intertekstual.

    BalasHapus
  30. lanjutan =>
    Dengan mengutip pendapat Riffaterre, Teeuw (1983: 65-66) mengemukakan bahwa untuk memahami makna sebuah puisi secara penuh, maka orang perlu melihat intertekstualitas antara puisi yang diteliti dengan puisi yang mendahuluinya. Dengan landasan prinsip di atas,Teeuw membandingkan puisi Chairil Anwar ”Senja di Pelabuhan Kecil” dengan puisi Amir Hamzah”Berdiri Aku” yang merupakan hipogramnya. Dalam hal ini puisi”Berdiri Aku” ditanggapi atau ditransformasikan Chairil Anwar dengan sikapnya yang berbeda dalam menanggapi senja di pantai. Amir Hamzah menggunakan pandangan yang romantis, berdiri terpesona di tengah alam yang maha indah dan tenteram. Sebaliknya, Chairil Anwar menanggapi senja di pantai dengan pandangan yang realistis, dengan gambaran keadaan yang muram, penuh kegelisahan, dan tidak sempurna (Teeuw,1983; 68).
    Berikut ini disajikan contoh hubungan intertekstualitas puisi ”Kusangka” Karya Amir Hamzah dengan puisi”Penerimaan’ ‘ Karya Chairil Anwar.
    Amir Hamzah:
    KUSANGKA
    Kusangka cempaka kembang setangkai
    Rupanya melur telah diseri…..
    Hatiku remuk mengenangkan ini
    Wasangka dan was-was silih berganti.
    Kuharap cempaka baharu kembang
    Belum tahu sinar matahari…..
    Rupanya teratai patah kelopak
    Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
    Kupohonkan cempaka
    Harum mula terserak…..
    Melati yang ada
    Pandai tergelak…..
    Mimpiku seroja terapung di paya
    Teratai putih awan angkasa…..
    Rupanya mawar mengandung lumpur
    Kaca piring bunga renungan…..
    Igauanku subuh, impianku malam
    Kuntum cempaka putih bersih…..
    Kulihat kumbang keliling berlagu
    Kelopakmu terbuka menerima cembu.
    Kusangkau hauri bertudung lingkup
    Bulumata menyangga panas Asmara
    Rupanya melati jangan dipetik
    Kalau dipetik menguku segera.
    (Pradopo, 2002:232-233)

    BalasHapus
  31. lanjutan =>
    Chairil Anwar:
    PENERIMAAN
    Kalau mau kuterima kau kembali
    Dengan sepenuh hati
    Aku masih sendiri
    Kutahu kau bukan yang dulu lagi
    Bak kembang sari sudah terbagi
    Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
    Kalau mau kuterima kau kembali
    Untukku sendiri tapi
    Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
    (Pradopo, 2002: 233)
    Puisi/sajak Chairil Anwar itu merupakan penyimpangan atau penolakan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih meneruskan konsep estetik sastra lama. Demikian halnya dengan pandangan romantik Amir Hamzah ditentang dengan pandangan realistis Chairil Anwar.
    Keenam bait sajak “Kusangka” menunjukkan kesejajaran gagasan. Sesuai dengan zamannya, Amir Hamzah mempergunakan ekpresi romantik dengan cara metaforis-alegoris, membandingkan gadis dengan bunga. Pada bait terakhir dimetaforakan sebagai bidadari (hauri) dan merpati.
    Berdasarkan keenam bait itu dapat disimpulkan bahwa penyair (si aku) mencintai gadis yang disangka murni, tetapi ternyata sudah tidak suci lagi karena sudah dijamah oleh pemuda-pemuda lain. Hal ini tampak pada bait /rupanya teratai patah kelopak / dihinggapi kumbang berpuluh kali / kulihat kumbang keliling berlagu / kelopakmu terbuka menerima cembu /.
    Chairil Anwar dalam menanggapi gadis (wanita) yang sudah tidak murni lagi, sangat berlawanan dengan sikap Amir Hamzah. Ia tidak berpandangan realistis. Si ‘aku’ mau menerima kembali wanitanya (kekasihnya, isterinya) yang barangkali telah menyeleweng, meninggalkan si aku’ atau telah berpacaran dengan laki-laki lain, asal si wanita kembali kepada si aku hanya untuk si ‘aku’ secara mutlak.
    Chairil Anwar mengekpresikan gagasannya secara padat. Untuk memberikan tekanan pentingnya inti persoalan, bait pertama diulang dengan bait kelima, tetapi dengan variasi yang menyatakan kemutlakan individualitas si ‘aku’. Dengan cara seperti itu, secara keseluruhan ekspresi menjadi padat dan tidak berlebih-lebihan.

    BalasHapus
  32. lanjutan =>
    Dalam penggunaan bahasa Chairil Anwar juga masih sedikit romantik. Hal ini mengingatkan gaya sajak yang menjadi hipogramnya. Ia membandingkan wanita dengan bunga (kembang). Wanita yang sudah tidak murni itu diumpamakan oleh Chairil Anwar sebagai bunga yang sarinya sudah terbagi / bak kembang sari sudah terbagi / yang dekat persamaannya dengan Amir Hamzah: / rupanya teratai patah kelopak / dihinggapi kumbang berpuluh kali /.
    Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara keseluruhan Chairil Anwar mempergunakan bahasa sehari-hari dengan gaya ekspresi yang padat. Hal ini sesuai dengan sikapnya yang realistis (Pradopo, 2002: 232-235).
    Contoh análisis dan interpretasi puisi di atas hanyalah berupa contoh awal bagaimana sebuah puisi ditafsirkan. Tentu masih banyak model análisis puisi yang ditawarkan para ahli. Namun, satu hal yang harus diingat, pemilihan model análisis harus disesuaikan dengan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh interpreter. Pemahaman awal tentang konsep dasar model análisis yang akan digunakan akan sangat membantu interpreter dalam menganalisis dan menginterpretasikan puisi tersebut.

    BalasHapus
  33. ANALISIS SEMIOTIK PADA PUISI BELAJAR DARI OMBAK
    TENTANG SITOK SRENGENGE

    Sitok Srengenge adalah seorang diantara 20 exceptional people di asia yang dinobatkan Asia week sebagai Leaders for the Millenium in Society & Culture.

    Lahir di Dorolegi, sebuah perkampungan petani dengan tradisi sastra lisan yang kukuh, di pedalaman Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pada usia ke duapuluh ia hijrah ke Jakarta untuk mendalami teater, bahasa dan sastra.

    Sitok menulis sejumlah puisi, prosa, esai , dan sejumlah nonsense. Selain terkumpul dalam Kelenjar Bekisar Jantan, ada Peresetubuhan Liar, Anak Jadah, dan Nonsense. Puisi-puisi Sitok menjadi bagian buku The Poet’s Chant (1995), Chant of Nusantara (Sovia, Bulgaria, 1995), Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1965-1999 (Ohio University, Ohio, USA, 2001), juga masuk dalam website Poetry International.

    Kegiatan terakhir Sitok saat ini aktif sebagai koordinator program dan jaringan Komunitas Utan Kayu dan juga Jurnal Kebudayaan Kalam.

    Belajar Dari Ombak, adalah salah satu puisi karya Sitok yang ditulisnya pada tahun 1989 terangkum dalam buku kumpulan puisinya yang dia beri tajuk Kelenjar Bekisar Jantan ini. Ada sekitar 54 puisI lainnya yang tercantum dalam kumpulan ini yang sebagian besar berbicara mengenai cinta, sakit, bahagia, sengsara dan bahkan marah ia tuangkan seluruhnya dengan tataran bahasa yang lugas dan komunikatif bagi para pembaca untuk dapat menghayati perasaan yang tergambar dari kata-kata yang ia ciptakan.

    Puisi Belajar Dari Ombak (BDO), adalah puisi yang dipilih oleh penulis untuk selanjutnya dianalisis dan dipelajari maknanya melalui pendekatan semiotik. Diharapkan melalui pendekatan ini dapat diambil makna apa yang terkandung didalamnya

    BalasHapus
  34. lanjutan =>
    KONSEP SEMIOTIK DALAM KARYA SASTRA

    Dalam pandangan semiotik, Saussure memandang; bahasa merupakan suatu sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno. (Masinambow 2002: iii). Dengan demikian tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi. Banyak disiplin yang menggunakan konsep ini diantaranya adalah; antropologi, arkeologi, arsitektur, filsafat, kesusastraan, dan linguistik. Hal ini berarti bahwa sebagai sistem teoritis yang mengkaji makna dapat ditampung berbagai perspektif makna yang berkembang dalam penelitian setiap disiplin. Dalam semiotik makna didefinisikan secara erat dengan tanda, namun hubungan antar makna dan tanda dikonseptualkan secara berbeda jika pendirian teoritis berbeda.

    Adapun semotik berkembang dengan masing-masing tokoh yang dimilikinya. Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah pengembang bidang ini di Eropa, dia memperkenalkannya dengan istilah semiologi. sedangkan Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang mengembangkannya di Amerika dengan menggunakan istilah semiotik. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan pendekatan semiotik. Ada sedikit perbedaan yang dimunculkan dari kedua tokoh tersebut mengenai pendekatan mereka dengan menggunakan semiotic. Peirce lebih menekankan pada aspek logika karena dia adalah seorang ahli filsafat. Sedangkan Saussure lebih menekankan pada aspek bahasa karena sesuai dengan keahliannya di bidang linguistik.

    Seperti yang didituliskan dalam kumpulan makalah semiotik, Okke K. S. Zaimar menjelaskan bahwa karya sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua karena menggunakan bahasa sebagai bahan dasarnya. Karena itulah menganalisis dengan pendekatan semiotik menggunakan teori-teori yang bersumber pada linguistik. (Okke. 2002: 124)

    Meskipun pada dasarnya teori bahasalah yang paling tepat dalam menganalisis sebuah karya sastra terutama puisi, menurutnya tidak menutup kemungkinan analisis ini menggunaan teori Peirce.

    Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebut dengan representamen--- haruslah mengacu pada atau mewakili sesuatu yang disebutnya sebagai objek yang dikenal dengan istilah referent. Jadi, jika sebuah tanda mengacu apa yang diwakilinya, hal itu dalah fungsi utama tanda tersebut. Misalnya, anggukan kepala sebagai tanda persetujuan, dan geleng kepala sebagai tanda ktidaksetujuan.

    Proses perwakilan ini disebut dengan semiosis. Adapun proses semiosis menuntut kehadiran bersama antara tanda, objek dan intepretant. Proses semiotik dapat terjadi secara terus-menerus sehingga sebuah intepretant menghasilkan tanda baru yang mewakili objek yang baru pula dan akan menghasilakan intepretant yang lain lagi. (Nurgiantoro.2002: 41)

    BalasHapus
  35. lanjutan =>
    Selanjutnya Peirce menambahkan hubungan
    antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis tanda; (1) Icon, merupakan hubungan kemiripan. Misalnya foto. Lalu (2) Indeks, merupakan hubungan kedekatan eksistensi. Misalanya asap hitam tebal membumbung sebagai tanda adanya kebakaran. Dan yang terakhir adalah (3) Simbol, merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Warna hitam di negara kita disepakati sebagai warna yang melambangkan kedukaan dan hal yang mistis. Sedangkan putih adalah warna yang melambangkan kesucian dan ketulusan. Dan bahasalah yang kemudian menjadi alat penyebutannya. (Nurgiantoro.2002: 42)

    Dalam teks sastra ketiga jenis tanda tersebut di atas, kehadirannya kadang tidak dapat dipisahkan. Karena ketiga tanda itu sama pentingnya dalam teks yang memang menggunakan bahasa sebagai alat penyamapaiannya.

    Selanjutnya, dalam menganalisis sebuah karya sastra dalam hal ini puisi, Peirce penggunaan dua aspek. Diantaranya; aspek sintaksis dan aspek semantis. (Okke. 2002: 124). Ketiga aspek tersebut selanjutnya langsung dapat dipahami melalalui analisis puisi BDO karangan Sitok Srengenge.

    BalasHapus
  36. lanjutan =>
    ANALISIS ASPEK SEMANTIS

    Puisi BDO cukup pendek. Seluruh lariknya ditulis dalam bentuk bait yang disusun menjorok ke dalam pada setiap permulaan kalimat menyerupai ikon ombak. Ada tiga larik yang tersusun dalam satu baitnya dan puisi ini memiliki 4 bait. Jika dihitung jumlah kalimat secara keseluruhan, sebenarnya puisi BDO ini hanya memiliki 4 kalimat saja, meskipun setiap kalimat tidak diakhiri dengan tanda baca titik sebagai akhir kalimat. Hal inilah yang dapat melahirkan interpretasi yang luas untuk memaknai puisi ini.

    Kita katakan saja bahwa puisi ini memiliki 4 kalimat yang terdiri dalam 4 bait dan 3 larik dalam satu baitnya. Bait pertama yang berjumlah 3 larik diawali dengan kalimat Dengan ombak laut selalu berkata-kata, tapi tak terungkap yang terpendam di dalamnya, biarlah aku belajar menyimpan rahasia. Kalimat dalam bait pertama merupakan ujaran penutur (aku) yang seakan menekankan pada judul untuk mengajak kita belajar sesuatu pada ombak di laut yang memang seakan berkata pada perkataan tanpa bahasa. Gelagat ombak sebagi cerminan tidak semua kata harus diungkapkan, maka tokoh aku berpegangang pada kebisuan ombak sebagai inginya untuk belajar menyimpan rahasia (bahasa yang tak perlu diungkapkan). Sedangkan pada bait kedua, penutur seperti menggunakan kalimat langsung dengan kalimat Aku tahu, Sayangku, dan seterusnya. Ujaran dengan kalimat langsung seolah di mana si penutur sedang berdialog dengan lawan bicaranya (orang kedua) yang ia sebut dengan kata Sayangku. Begitu seterusnya, antara bait pertama dan ketiga penutur seperti berbicara dengan dirinya layaknya gumaman batin. Sementara bait kedua dan terakhir kembali kalimat langsung.

    Adapun dua jenis ryme (rima) yang terdapat dalam puisi BDO ini, setiap larik berbunyi a,a,a pada bait pertama, b,b,c pada bait kedua, lalu a,a,c pada bait ke tiga dan ditutup seperti bait pertama dengan a,a,a pada bait terakhir. Adalah gabungan antara rima lurus dan rima berkait kehadiran kedua jenis rima yaitu rima lurus yang hadir pada awal dan akhir bait, kemudian rima berkait pada bait kedua dan ketiga menunjukkan keunikan pada bentuk dalam puisi ini. Pada bait pertama dan terakhir seakan menggambarkan ombak, di mana air menghempas lurus ke pantai dan kembali menarik lurus ke laut. Sedangkan rima berkait b b c dan a a c seolah gulungan air yang membuih saling bertindih kemudian terhampar di tepi pantai.

    BalasHapus
  37. lanjutan =>
    ANALISIS ASPEK SEMANTIS

    Bila kita melihat puisi BDO ini kita akan menemukan beberapa gambaran tentang laut yang hubungannya dengan manusia. Makna apakah yang tersirat di balik hubungan ini? Untuk menjawab pertanyaan ini alangkah baiknya terlebih dahulu dibahas isotopi-isotopi yang terdapat dalam puisi BDO ini. Yang dimaksud dengan isotopi di sini adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat di sepanjang wacana. Isotopi adalah suatu bagian dalam pemahaman yang memungkinkan pesan apapun untuk dipahami sebagai suatu perlambangan yang utuh. Karena itu, dalam isotopilah makna mencapai keutuhannya.

    Adapun dalam sajak BDO ini dapat di temukan beberapa isotopi yang diharapkan dapat mendukung perolehan makna yang diharapkan. Adapun isotopi itu adalah; isotopi alam, manusia, perasaan, sifat, perbuatan, waktu, tempat, dan penghubung.

    BalasHapus
  38. lanjutan =>

    Isotopi alam
    Ombak Aromanya
    Laut Pudar
    Badai

    Isitopi manusia
    Berkata-kata Tahu
    Aku (3) Cinta (2)
    Belajar (2) Kegetiran
    Menyimpan Izinkan

    Isotopi perasaan
    Cinta (2x)
    Kegetiran
    Kesetiaan
    Dusta
    setia



    Isotopi perbuatan
    Berkata-kata Kesetiaan Setia
    Belajar (2x) Izinkan
    Cinta Terpendam
    Dihempas Punyai
    Terungkap Dusta


    Isotopi waktu
    Selalu

    Isotopi tempat
    Di dalamnya (2x)
    Atas
    Ada
    Bagian
    Di
    Isotopi penghubung
    Dengan
    Tapi
    Yang
    Dan (2x)
    Di (3x)
    Jika

    BalasHapus
  39. lanjutan =>
    Di dalam analisis ini terdapat delapan kelompok isotopi yang mendukung delapan motif. Yang dimaksud dengan motif adalah unsur yang terus menerus diulang dan beberapa motif dapat mendukung kehadiran tema. (Okke. 2002: 124) Jika kita melihat kelompok motif tersebut di atas, dapat dilihat isotopi yang menonjol adalah isotopi perbuatan yang disususul dengan isotopi manusia dan alam. Menonjolnya isotopi perbuatan hal ini menunjukkan motif utama pada puisi ini adalah aktifitas pada beberapa sisi terutama mengenai kesetiaan manusia hendaklah mencontoh pada ombak, jika kita melihat isotopi selanjutnya yaitu manusia dan alam. Dengan demikian perbuatan mencontoh alam (dalam hal ini ombak di laut) adalah yang harus dilakukan oleh manusia dalam puisi ini. Artinya ombak dijelaskan sebagai metafora kehidupan.

    Kata belajar yang disebut sebanyak tiga kali kemudian kata setia dan kesetiaan, seakan memetafor pada ombak yang selalu setia pada laut meskipun dia pergi dihempas badai dia akan tetap kembali surut ke dalam laut tak pergi kemanapun.

    Selanjutnya, kehadiran isotopi perasaan pada kosa kata cinta dan kegetiran, kemudian disusul kata kesetiaan dan dusta merupakan paradoks sifat dan perasaan manusia yang terkadang hadir dengan hampir tak dapat dibedakan rasanya. Meskipun demikian, seperti halnya ombak meskipun hanya buih yang mungkin telah tercampur dengan kotoran laut, dia tetap kapasitasnya menjadi bagian dari laut. Seperti halnya pasangan kata paradoks dalam puisi ini tidak dapat dielakkan bagi penutur sebagai bagian yang memang sudah ada dalam kehidupan umat manusia. Bahkan hal tersebut menjadi warna kontras yang justeru memperindah kehidupan ini.

    Begitu juga pada kosa kata bunga yang hadir dalam isotopi alam tak hilang aromanya meskipun di hempas badai, seolah memaknai kata bunga sebagai metafor dari perasaan cinta. Tak hilang aromanya meskipun dihempas badai dimaknai sebagai cinta yang hadir dengan kekuatan rasanya (jika bunga aromanya) akan selalu senantiasa memegang kekuatannya tersebut meskipun berbagai cobaan (dalam hal ini digambarkan badai yang menghempas) yang menerpa cinta. Kemudian puisi ini diakhiri dengan kalimat izinkan aku belajar setia, menjadi sebuah permintaan sang tokoh yang bersikukuh pada kekuatan hatinya untuk selalu menjaga dan setia pada cintanya meskipun diterpa berbagai cobaan.

    BalasHapus
  40. lanjutan =>
    Adapun isotopi waktu yang pada puisi ini hanya memiliki satu kata yaitu selalu pada kalimat dengan ombak laut selalu berkata-kata memiliki makna durasi yang tidak pernah terputus bahwa laut tanpa ada ombak sebagai bagian dari dirinya, maka laut menjadi sama halnya dengan danau, rawa atau kolam. Kata ombak yang selalu digunakan laut untuk berkata-kata, pada bahasan ini laut sebagai personifikasi bagi manusia yang memiliki hati, pikiran dan lidah sebagai alat untuk merasa, memikirkan, dan mengkomunikasikan rasa dan pikirannya dalam kata-kata melalui lidahnya. Sebagian isi laut yang dibawa melalui ombak dan diperlihatkan di tepi pantai seakan menjadi personifikasi manusia untuk mengungkapkan sebagian yang perlu diungkapkan dan menyimpannya sebagian sebagai rahasia.

    Kehadiran isotopi tempat dan penghubung berfungsi sebagai penguat dari kalimat-kalimat yang hadir dalam puisi ini. Kata di dalamnya, atas, ada dan bagian dalam kalimat-kalimat yang hadir pada puisi ini menunjukkan penegasan dari lokasi kehadiran perasaan maupun benda yang ditulis dalam puisi ini. Kalimat di dalam cinta, misalnya. Menegasakan tentang sesuatu yang berkaitan dengan cinta yang hadir dan benar-benar menyatu kehadirannya dalam perasaan cinta itu. Lalu kata atas, ada dan bagian hal yang menunjukkan unsur-unsur yang hadir pada setiap objeknya.

    Begitu juga dengan kosa kata yang hadir dalam isotopi penghubung diantaranya dengan, tapi, yang, dan, di dan jika adalah unsur-unsur yang digunakan untuk memperjelas bagian-bagian kata yang digunakan dalam puisi BDO ini agar dapat dipahami dan komunikatif. Dukungan kata-kata penghubung juga memperjelas situasi dan keadaan kata pada kalimat. Seperti pada kalimat yang dihadirkan di bait ke tiga Di dalam cinta ada kesetiaan dan dusta, kedua penghubung di dan dan menjadi penting kehadirannya sebagai penegas dari kalimat yang ada. Kalimat di dalam cinta menegaskan isi yang terkandung dalam perasaan cinta. Sedangkan kata kesetiaan dan dusta, penghubung dan hadir sebagai pemisah dari dua kosa kata yang bermakna paradoks tersebut, namun dalam eksistensinya tetap menjadi bagian dari cinta. Karena penghubung dan membawa kehadiran dua perasaan yang paradoks tadi dalam satu waktu dan tempat.

    BalasHapus
  41. lanjutan =>

    KESIMPULAN

    Akhirnya, berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulakan bahwa ombak adalah metafor dari kehidupan yang dijalani manusia. Hal tersebut dapat disebut sebagai tema pertama. Kemudian telah dijelaskan pula aktifitas alam dalam hal ini ombak di laut, menyiratkan aktifitas tokoh yang ingin menirunya dan menjadikan ombak tersebut sebagai simbol kesetiaan, rahasia dan bahkan kegetiran.

    Adapun isotopi perbuatan yang hadir dominan dalam karya ini menunjukkan bahwa aktifitas alam menjadi sama halnya dengan aktifitas manusia. Hal ini seakan menyiratkan bahwa segala mahluk hidup yang ada di dunia ini termasuk manusia juga memiliki aktifitas yang boleh dikatakan sama yaitu dengan menggunakan perasaan, akal (insting pada hewan) dan juga kegiatan yang sesuai dengan caranya masing-masing. Aktifitas alam juga dapat dijadikan cerminan bagi kehidupan manusia, di mana mereka dengan kepasrahannya tunduk pada aturan dan takdir yang telah dituliskan pada alam.

    BalasHapus
  42. ANALISIS SAJAK PUTIH DAN TUTI ARTIC
    KARYA CHAIRIL ANWAR

    Chairil Anwar adalah seorang penyair besar Indonesia yang karya-karyanya abadi sepanjang zaman. Dari kumpulan sajak Deru Campur Debu secara umum tercermin perjuangan yang tak pernah padam dan terus membahana dalam perjalanan waktu. Meski ia telah lama pergi, karya-karyanya masih dapat kita nikmati hingga sekarang.
    Sajak putih merupakan kiasan suara hati si penyair, suara hati si aku. Putih mengiaskan ketulusan, kejujuran, atau keikhlasan. Jadi, "sajak putih" berarti suara hati si penyair, si aku, yang sebenar-benarnya, yang setulus-tulusnya, yang sejujur-jujurnya. Maksudnya, pujian kepada kekasih, harapan, dan cintanya kepada kekasih yang dinyatakan itu, diucapkan dengan sejujur-jujurnya, setulus-tulusnya - bukan bohong.
    Sajak Tuti Artic mengemukakan pokok pikiran bahwa orang itu tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi antara kebahagiaan sekarang dan nanti. Ketidaktahuan itu digambarkan sebagai jurang yang ternganga: penuh rahasia dan mengerikan. Maka, nikmatilah kebaha¬giaan itu sebanyak-banyaknya hari ini (carpediem). Di samping itu, segalanya itu hanya berlangsung sebentar, tak abadi, baik yang .membahagiakan atau pun yang menyedihkan.
    Kata Kunci: Sajak, Sajak Putih, Tuti Artic

    BalasHapus
  43. APRESISASI PUISI KLIK DI :

    http://clickme-revi.blogspot.com

    BalasHapus
  44. Yulistiyanto Yogo Nugroho
    2102408127
    rombel 3

    Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi

    Pendekatan sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan seseorang ketika mengapresisikan puisi dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan ditentukan oleh tujuan dan apa yang akan diapresiasikan lewat teks sastra yang dibacanya.

    Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan di bawah ini:

    Pendekatan Parafrasis

    Pendekatan parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.

    Pendekatan Emotif

    Pendekatan emotif dalam apresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang menyentuh emosi atau perasaan pembaca. Prinsip dasar yang melatarbelakanginya adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan.

    Pendekatan Analitis

    Pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan, sikap pengarang, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen itu sehingga mampu membangun keselarasan dari kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

    Pendekatan Sosio Psikologis

    Pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, masyarakat maupun tanggapan kejiwaan pengarang terhadap lingkungan kehidupannya pada saat cipta sastra diwujudkan.

    Pendekatan Historis

    Pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca serta tentang b agaiman perkembangankehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri dari jaman ke jaman.

    Pendekatan Didaktis

    Pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, evaluatif, maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Penerapan pendekatan ini menurut daya intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya.

    Dalam pelaksanaannya keenam pendekatan di atas umumnya digunakan secara enklitik(salingberkaitan) tujuannya agar pembaca tidak merasa bosan dan sesuai dengan kompleksitas aspek maupun keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri.

    BalasHapus