Minggu, 07 Maret 2010

PEMAKNAAN PUISI DONGA BALIK

PEMAKNAAN PUISI DONGA BALIK

D.E Mahardhika
2102408048

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya
berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat
dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan
bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa
Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang
hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang
yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru,
orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Oleh karena itu, puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra dari hasil karya cipta
seseorang, memiliki berbagai tujuan dari diciptakannya puisi tersebut, kurang lebih tidak jauh
berbeda dengan bentuk karya sastra lainnya, prosa dan drama yang termasuk sebagai bentuk
kesenian, yaitu seni sastra. Sebagai salah satu bentuk seni sastra, kekhasan perwujudan
wacana puisi sangat mudah dikenali, terutama oleh orang yang memiliki apresiasi terhadap
seni satra. Bentuk-bentuk puisi pun beragam, sesuai dengan maksud dan tujuan serta latar
belakang diciptakannya puisi tersebut, termasuk kegunaan atau manfaatnya.
Dalam wacana puisi Jawa, keragaman bentuknya disesuaikan dengan perkembangan
zaman berdasarkan latar belakang bahasa yang digunakan dalam menciptakan puisi. Puisi
Jawa memiliki beragam jenis sejak dari zaman Jawa Kuna hingga Jawa Modern, yaitu
kakawin, kidung, tembang tengahan, tembang gedhe, singir, guritan, macapat, parikan,
wangsalan, dan geguritan. Dengan kata lain, bila berhadapan dengan puisi Jawa, bagi yang
mengenali jenis-jenis puisi tersebut, akan dengan mudah menandai puisi yang dihadapinya
termasuk jenis puisi yang mana. Dari berbagai jenis tersebut tentunya memiliki struktur dan
estika masing-masing. Menurut Saputra (2001: 1-6) unsur-unsur yang selalu ada dan pasti
muncul dalam wacana puisi sebagai strukturnya adalah aspek bunyi, aspek kebahasaan, aspek
spasial atau aspek peruangan, dan aspek pengujaran. Demikian pula yang terdapat dalam
wacana puisi Jawa dengan berbagai jenisnya itu.
Di dalam aspek bunyi, baik bunyi segmental maupun bunyi suprasegmental memiliki
fungsi estetik, aksentuasi, dan spasial yang terwujud dalam rima dan irama. Sementara itu
aspek bahasa dalam puisi lebih pada tataran fungsi sekunder yang memiliki makna konotatif

dibandingkan dengan makna leksikal. Sedangkan perwujudan aspek peruangan dalam puisi
sering disebut sebagai tipografi atau aspek spasial, yang terdiri dari bait/pada, baris/gatra,
dan kata. Selain itu, sebagai bentuk ujaran, pribadi yang „menghadirkan‟ puisi disebut
sebagai pengujar atau pencerita. Oleh karena itu, dalam puisi ada aspek pengujaran, baik
yang diujarkan maupun yang mengujarkan. Subjek pengujaran adalah yang bertindak
menghadirkan wacana puisi, sedangkan objek pengujarannya adalah wacana puisi itu sendiri,
yang terdiri atas subjek ujaran (tokoh) dan objek ujaran. Objek ujaran terdiri dari unsur latar
dan tema.
Berkaitan dengan maksud dan tujuan serta latar belakang diciptakannya puisi,
termasuk kegunaan atau manfaatnya, dapat dilihat berdasarkan makna yang terkandung di
dalamnya. Antara lain, ada yang digunakan sebagai sarana untuk propaganda, wewaler atau
nasehat, ajaran-ajaran, doa dan atau mantra, namun ada pula yang hanya digunakan sebagai
hiburan saja. Misalnya, oleh kelompok Kyai Kanjeng, macapat digunakan sebagai sarana
dakwah dalam acara-acara pengajian macapat-nya. Artinya bentuk dan isi, yang bisa
dikatakan hampir tidak dapat dipisahkan, menentukan manfaat dari puisi tersebut setelah
diketahui maknanya, meskipun tidak menutup kemungkinan dari judulnya saja sudah dapat
diketahui. Di bawah ini akan dikutipkan sebait puisi yang dari judulnya saja sudah dapat
diketahui maksud dan tujuan ditulisnya puisi tersebut.
DONGA BALIK (Rajah Kalacakra)
Ya maraja jaramaya
Ya marani niramaya
Ya silapa palasiya
Ya midoro rodomiya
Ya midhosa sadhomiya
Ya dayuda dayudaya
Ya siyaca cayasiya
Ya sihama mahasiya
(Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa dalam Karsono H Saputra, 2001: 12)
Menurut Saputra (2001: 13), wacana tersebut di atas pertama-tama ada bukan
dimaksudkan sebagai wacana sastra (puisi), melainkan sebuah mantra “tolak bala”, dan
wacana tersebut tetap dapat dikatakan sebagai wacana puisi. Namun puisi itu dikatakan
merupakan salah satu contoh ekstrim yang hanya berupa tata susun bunyi, karena makna
kata-kata dalam puisi Donga Balik, kecuali kata—kalau dapat dikatakan sebagai kata—ya

dan marani, tidak akan ditemui dalam bausastra „kamus‟ apa pun. Meskipun kita mengetahui
bahwa susunan kata-kata sebagai mantra hanya merupakan kumpulan bunyi yang tak
bermakna, namun sekarang sudah banyak mantra yang dibuat sebagai kumpulan bunyi yang
bermakna. Lalu bagaimana dengan mantra “tolak bala” tersebut? Untuk mengetahui makna
dari wacana puisi Donga Balik itu, tentunya perlu dilihat unsur-unsur yang membentuk puisi
tersebut berdasarkan aturan struktur dan estetika puisi yang telah disebutkan di muka.
Dilihat dari aspek pengujarannya, puisi Donga Balik tersebut tidak memiliki subjek
pengujaran yang nyata dalam objek pengujarannya, sehingga dapat dikatakan subjek
ujarannya pun tidak tampak. Hal yang demikian disebut sebagai subjek pengujaran ekstern
yang monolog, karena sifat dari puisi tersebut adalah berupa mantra yang memiliki tujuan
untuk „tolak bala‟.
Dilihat dari aspek spasialnya, karena puisi tersebut hanya terdiri dari satu bait, maka
hanya terdapat pada gatra sebagai satuan spasial terkecil. Satuan gatra ditandai dengan guru
wilangan delapan wanda „suku kata‟ dan guru lagu /a/. Meskipun satuan spasialnya hanya
ada pada gatra, dimungkinkan memiliki makna kontekstual, yaitu sesuai dengan maksud
ditulisnya puisi tersebut sebagai mantra. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut.
Dilihat dari aspek kebahasaannya, meskipun puisi tersebut bukan merupakan
konstruksi bahasa, namun setiap kata yang muncul tetap memiliki makna. Hal itu disebabkan
karena bahasa di dalam puisi memiliki aturan-aturan tertentu yang berbeda dengan bahasa
sebagai alat komunikasi. Perbedaan tersebut, menurut Saputra (2001: 29) adalah karena
bahasa di dalam puisi berada pada tataran fungsi sekunder, yaitu makna konotatif;
penyebabnya adalah makna bahasa dalam puisi kadang-kadang tidak hanya pada makna
leksikal, sehingga pemaknaan tergantung dari konteks dan maksud serta tujuan puisi tersebut
dibuat. Perbedaan lain adalah karena sifat puisi mengharuskan “hukum” bahasa tunduk
kepadanya. Selain itu, permainan kata atau licentia poitica seorang penyair memungkinkan
bahasa dalam puisi tidak harus sama perwujudannya dengan bahasa dalam fungsi primernya
sebagai alat komunikasi antarmanusia.
Ketiga faktor di atas cukup menonjol dalam perwujudan puisi Donga Balik. Untuk
memaknai puisi itu sudah jelas harus dilihat makna konotatifnya, karena kata-kata yang
digunakan di dalamnya bukanlah kata-kata yang umum digunakan dalam bahasa komunikasi.
Bahkan munurut Saputra, tidak terdapat di kamus apa pun, sehingga pemaknaan kata di sini
dibutuhkan pengetahuan lain untuk menguraikannya, yaitu pengetahuan akan simbol (kata
dapat dianggap sebagai simbol dalam wacana sastra). Dengan demikian, kata-kata dalam
puisi tersebut tidak mengikuti aturan bahasa yang baku, bahkan diluar kebiasaan perwujudan

puisi yang memiliki tatanan perubahan kata dalam ketentuan tata bahasanya. Umumnya
perubahan-perubahan yang ada, antara lain yaitu pada perubahan bunyi karena tuntutan guru
lagu, pembalikan urutan kata karena tuntutan guru lagu, pelepasan vokal karena tuntutan guru
wilangan, penambahan vokal karena tuntutan guru wilangan, dan penggabungan dua kata
atau lebih karena tuntutan guru wilangan juga. Sedangkan pada puisi Donga Balik susunan
kata-katanya sangat sederhana, dari dua kata yang berurutan saling terbalik dalam setiap
barisnya. Namun pemaknaan dari kata-kata tersebut tidaklah sesederhana susunannya. Hal itu
dapat dikatakan sebagai permainan kata yang disusun oleh penyair—kalau mau disebut
sebagai penyair, namun paling tidak si penulis—dengan maksud tertentu. Apa maksudnya?
Akan dibahasa kemudian.
Dilihat dari aspek bunyinya, Donga Balik sebagai puisi bukanlah merupakan
kontruksi bahasa, namun merupakan bunyi silabik dengan kata yang dibalik, dan bunyi di sini
memiliki fungsi estetik yang tinggi. Dalam fungsi estetiknya, dapat dilihat bahwa
purwakanthi guru swara-nya begitu kuat, perulangan vokal /a/ pada kata secara berurut
hampir di setiap barisnya pada setiap kata, kecuali pada baris kedua dan keempat, bahkan
merupakan penegasan dari kata sebelumnya. Demikian pula pada purwakanthi guru basa
atau perwakanthi lumaksita perulangan kata secara keseluruhan dalam satu baris secara
berurut, hanya saja mengalami perubahan bentuk dengan kata yang dibalik (ditandai dengan
garis bawah). Sedangkan purwakanthi guru sastra-nya tidak memainkan peranan sama
sekali.
DONGA BALIK (Rajah Kalacakra)
Ya maraja jaramaya [8a]
Ya marani niramaya [8a]
Ya silapa palasiya [8a]
Ya midoro rodomiya [8a]
Ya midhosa sadhomiya [8a]
Ya dayuda dayudaya [8a]
Ya siyaca cayasiya [8a]
Ya sihama mahasiya [8a]
Meskipun puisi di atas hanya berupa susunan kata yang sudah pasti tidak dapat
dikatakan sebagai macapat, kidung, maupun kakawin, namun membaca kembali dan
berulang, akan terasakan irama yang teratur pada saat pembacaan. Pembacaan puisi
tradisional dengan puisi modern yang sering kali disebut geguritan atau puisi bebas tentu saja

berbeda. Bahkan pembacaan terhadap satu puisi yang sama pun dari masing-masing pembaca
yang berbeda belum tentu sama. Hal itu tergantung dari penafsiran pembaca yang
memungkinkan munculnya perbedaan irama pada saat membacanya, sehingga irama tersebut
dapat menjadi penanda yang khas sebagai wacana puisi tersebut. Dalam hal ini wacana puisi
di muka berupa mantra. Biasanya dalam pembacaan mantra, unsur bunyi dan irama menjadi
unsur yang sangat penting dan berperan untuk menekankan makna yang terkandung di dalam
setiap katanya yang hanya berupa simbol atau lambang dari sesuatu, baik alam, satwa,
peralatan hidup, kekuatan gaib, dan imajinasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat aspek yang paling dominan dalam
perwujudan puisi Donga Balik tersebut adalah aspek kebahasaan dan aspek bunyi sehingga
puisi dapat termaknai. Pemaknaan puisi itu, seperti telah diungkapkan di muka,
membutuhkan pengetahuan simbolik, karena untuk mengartikan kata-kata secara khusus
haruslah ditelusuri lebih lanjut. Namun melihat perwujudan dari puisi tersebut, dan
memperhatikan uraian di atas, kata-kata yang disusun dari dua kata yang berurutan saling
terbalik dalam setiap barisnya merupakan pantulan kata yang terjadi dan sengaja dibuat oleh
penyairnya dengan maksud sesuai judul yang tertera. Berdasarkan hal ini, penulis akan
mengkajinya dari pandangan umum yang menyatakan bahwa pertama, pantulan kata
ditangkap sebagai konsep cermin dalam kehidupan yang umumnya digunakan memang
sebagai „tolak bala‟. Konsep ini merupakan pengaruh dari Cina. Dalam kebudayaan Cina
dikenal bahwa cermin 1 digunakan untuk menolak hal-hal yang tidak baik (informan Cina,
sarjana program studi Cina). Biasanya dipasang di pintu masuk toko-toko atau warung dan
lain-lain. Jadi kata-kata yang terungkap dalam puisi Donga Balik ini dimaksudkan untuk
menjaga diri dari yang mengucapkannya dan memberikan pantulan terhadap pengaruh-
pengaruh atau maksud-maksud yang tidak baik yang datangnya dari luar dirinya (penolak
bala).
Kedua, terhadap pandangan umum yang menyatakan bahwa kata-kata adalah sebuah
doa. Sekali diucapkan pun sudah merupakan doa, apalagi diucapkan berulang. Dan doa
biasanya karena merupakan sebuah harapan untuk dipenuhi, dipanjatkan berulang-ulang.
Dalam puisi Donga Balik tersebut, kata diulang dengan terbalik, itu pun merupakan doa yang
diharapkan terjadi sesuai dengan kata yang ditulis. Tulisan tersebut diucapkan sebagai mantra
yang memiliki sebuah kekuatan atau pelindung bagi yang mengucapkannya. Sesuai dengan
yang tertulis pada keterangan judul dalam kurung Rajah Kalacakra, hal tersebut dapat
1
Cermin yang dimaksudkan di sini adalah kaca cermin (pangilon dalam bahasa Jawa)

disimpulkan bahwa puisi atau mantra Donga Balik merupakan sebuah rajah. Rajah dalam
bahasa Jawa berarti gambar atau tulisan di atas kertas dan lain sebagainya, yang biasanya
digunakan sebagai jimat 2. Rajah sebagai jimat itu berupa tulisan yang disusun atas kata-kata
dari dua kata yang berurutan saling terbalik dalam setiap barisnya digunakan untuk penolak
bala, sesuai dengan yang dimaksud oleh pemiliknya dan atau yang mengucapkan mantra
tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan aspek bunyi kata-kata dalam puisi Donga Balik tetap
memiliki makna khusus dalam konteks fungsinya untuk penolak bala.
Menurut Cruse dalam Rahyono, Peran Studi Linguistik dalam Telaah Kebudayaan
Jawa (2008), kata-kata dalam tindak komunikasi Pembicara tidak sekedar mengucapkan
rangkaian kata-kata bermakna tanpa menyampaikan pesan atau maksud tertentu. Daya ilokusi
adalah maksud yang ingin disampaikan oleh si penutur kepada kawan tutur melalui kata-kata
yang diujarkannya. Sebuah wacana yang dibentuk oleh konstituen-konstituen yang berupa
kata belum dapat digunakan sebagai instrument komunikasi verbal jika tidak disertai dengan
daya ilokusi. Tidak ada sebuah wacana yang digunakan dalam komunikasi yang tidak disertai
dengan “maksud” tertentu. Setiap penutur atau kawan tutur memiliki kebebasan pula untuk
menggunakan atau memaknakan sebuah kata ke dalam berbagai konteks dan maksud
menurut subjektivitas masing-masing, selama komunikasi dapat berlangsung. Dengan
demikian, meskipun kata-kata dalam puisi Donga Balik tidak bermakna menurut arti katanya,
namun dari aspek kebahasaan dalam tindak tuturnya tetap memiliki makna sesuai dari kata-
kata yang diucapkan dalam konteks fungsi puisi tersebut sebagai doa penolak bala.
Jadi dapat disimpulkan bahwa puisi Donga Balik ini berfungsi sebagai doa sesuai
dengan maksud yang mengucapkannya, yaitu dari pantulan kata-kata yang tersusun terbalik
tersebut untuk penolak bala sehingga mewujudkan rasa aman bagi dirinya sendiri.

pengkajian_puisi_jawa_modern: apresiasi puisi

pengkajian_puisi_jawa_modern: apresiasi puisi

Kamis, 04 Maret 2010

apresiasi puisi

APRESIASI PUISI

Seperti bentuk karya sastra lain, puisi mempunyai ciri-ciri khusus. Pada umumnya penyair mengungkapkan gagasan dalam kalimat yang relatif pendek-pendek serta padat, ditulis berderet-deret ke bawah (dalam bentuk bait-bait), dan tidak jarang menggunakan kata-kata/kalimat yang bersifat konotatif.
Kalimat yang pendek-pendek dan padat, ditambah makna konotasi yang sering terdapat pada puisi, menyebabkan isi puisi seringkali sulit dipahami. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut untuk mengapresiasi puisi, terutama pada puisi yang tergolong ‘sulit’ :
1. Membaca puisi berulang kali
2. Melakukan pemenggalan dengan membubuhkan :
- Garis miring tunggal ( / ) jika di tempat tersebut diperlukan tanda baca koma.
- Dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca titik, yaitu jika makna atau pengertian kalimat sudah tercapai.
3. Melakukan parafrase dengan menyisipkan atau menambahkan kata-kata yang dapat memperjelas maksud kalimat dalam puisi.
4. Menentukan makna kata/kalimat yang konotatif (jika ada).
5. Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri dalam bentuk prosa.

Berbekal hasil kerja tahapan-tahapan di atas, unsur intrinsik puisi seperti tema, amanat/ pesan, feeling, dan tone dapat digali dengan lebih mudah. Berikut ini diberikan sebuah contoh langkah-langkah menganalisis puisi.

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir : ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu


Tahap I : Membaca puisi di atas berulang kali (lakukanlah!)

Tahap II : Melakukan pemenggalan

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//
kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // ia tajam untuk mengiris apel /
yang tersedia di atas meja /
sehabis makan malam //
ia berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //


Tahap III : Melakukan parafrase

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//
(sehingga) kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // (bahwa) ia (pisau itu) tajam untuk mengiris apel /
yang (sudah) tersedia di atas meja /
(Hal) (itu) (akan) (kau) (lakukan) sehabis makan malam //
ia (pisau itu) berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //


Tahap IV : Menentukan makna konotatif kata/kalimat

pisau : sesuatu yang memiliki dua sisi, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif, bisa pula disalahgunakan sehingga menghasilkan sesuatu yang buruk, jahat, dan mengerikan.
apel : sesuatu yang baik dan bermanfaat.
terbayang olehnya urat lehermu : Sesuatu yang mengerikan.
Tahap V : Menceritakan kembali isi puisi

Berdasarkan hasil analisis tahap I – IV di atas, maka isi puisi dapat disimpulkan sebagai berikut :
Seseorang terobsesi oleh kilauan mata pisau. Ia bermaksud akan menggunakannya nanti malam untuk mengiris apel. Sayang, sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba terlintas bayangan yang mengerikan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa jadinya jika mata pisau itu dipakai untuk mengiris urat leher!
Dari pemahaman terhadap isi puisi tersebut, pembaca disadarkan bahwa tajamnya pisau memang dapat digunakan untuk sesuatu yang positif (contohnya mengiris apel), namun dapat juga dimanfaatkan untuk hal yang negatif dan mengerikan (digambarkan mengiris urat leher).

Dengan memperhatikan hasil kerja tahap 1 hingga 5, dapat dikemukakan unsur-unsur intrinsik puisi “Mata Pisau” sebagai berikut :


No.
Definisi
“Mata Pisau”



1

Tema : Gagasan utama penulis
yang dituangkan dalam
karangannya.
Sesuatu hal dapat digunakan untuk kebaikan (bersifat positif), tetapi sering juga disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif. Contoh : anggota tubuh, kecerdasan, ilmu dan teknologi, kekuasaan dll.


2
Amanat : Pesan moral yang ingin
disampaikan penulis
melalui karangannya
Hendaknya kita memanfaatkan segala hal yang kita miliki untuk tujuan positif supaya hidup kita punya makna


3
Feeling : Perasaan/sikap
penyair terhadap
pokok persoalan yang
dikemukakan dalam
puisi.
Penyair tidak setuju pada tindakan seseorang yang memanfaatkan sesuatu yang dimiliki untuk tujuan-tujuan negatif.



4
Nada : Tone yang dipakai
penulis
dalam mengungkapkan
pokok pikiran.
Nada puisi “Mata Pisau” cenderung datar, tidak nampak luapan emosi penyairnya.

Kecuali keempat point di atas, perlu diperhatikan juga citraan (image) dan gaya bahasa yang terdapat dalam puisi.




I. PENGERTIAN PUISI

Struktur dan ragam puisi sebagai hasil karya kreatif terus-menerus berubah. Hal ini nampak apabila kita mengkaji ciri-ciri puisi pada zaman tertentu yang ternyata berbeda dari ke-khas-an puisi pada zaman yang lain. Di masa lampau misalnya, penciptaan puisi harus memenuhi ketentuan jumlah baris, ketentuan rima dan persyaratan lain. Itulah sebabnya Wirjosoedarmo mendefinisikan puisi sebagai karangan terikat. Definisi tersebut tentu saja tidak tepat lagi untuk masa sekarang karena saat ini penyair sudah lebih bebas dan tidak harus tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini mengakibatkan pembaca tidak dapat lagi membedakan antara puisi dengan prosa hanya dengan melihat bentuk visualnya. Misalnya sajak Sapardi Djoko Damono dan cerpen Eddy D. Iskandar berikut ini :

AIR SELOKAN

“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari Minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung – ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir : campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.

+
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu : “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu – alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

(Sapardi Djoko Damono – Perahu Kertas, 1983 : 18)


NAH

Nah, karena suatu hal, maafkan Bapak datang terlambat. Nah, mudah-mudahan kalian memaklumi akan kesibukan Bapak. Nah, tentang pembangunan masjid ini yang dibiayai oleh kalian bersama, itu sangat besar pahalanya. Nah, Tuhan pasti akan menurunkan rahmat yang berlimpah ruah. Nah, dengan berdirinya masjid ini, mereka yang melupakan Tuhan, semoga cepat tobat. Nah, sekianlah sambutan Bapak sebagai sesepuh.

(Nah, ternyata ucapan suka lain dengan tindakan. Nah, ia sendiri ternyata suka kepada uang kotor dan perempuan. Nah, bukankah ia termasuk melupakan Tuhan? Nah, ketahuan kedoknya).
[….]
(Eddy D. Iskandar – Horison, Th. IX, Juni 1976 : 185)


Bentuk visual kedua contoh di atas sama, padahal Sapardi Djoko Damono memaksudkan karyanya sebagai puisi, sedangkan Eddy D.Iskandar memaksudkan karangannya sebagai cerita pendek (prosa). Dengan demikian mendefinisikan puisi berdasarkan bentuk visualnya saja, pada masa sekarang tidak relevan lagi.
Karena sulitnya mendefinisikan pengertian puisi, A. Teeuw dan Culler menyerahkan pada penilaian pembaca. Menurut mereka pembacalah yang paling berhak menentukan suatu karya termasuk prosa atau puisi (Teeuw, 1983 : 6; Culler, 1977 : 138). Pendapat demikian meskipun nampaknya menyelesaikan masalah, namun untuk study keilmuan tentu sangat membingungkan karena tidak ada standar yang pasti.
Kecuali A. Teeuw dan Culler, banyak ahli sastra dan sastrawan, khususnya penyair romantik Inggris, yang berusaha memberikan definisi. Berikut ini adalah beberapa pendapat mereka :
• Altenbernd (1970 : 2), mendefinisikan puisi sebagai the interpretive dramatization of experience in metrical language (pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa bermetrum). Meskipun mengandung kebenaran, namun definisi tersebut tak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena pada umumnya puisi Indonesia tidak memakai metrum sebagai dasar. Jika yang dimaksud metrical adalah ‘berirama’, maka definisi Altenbernd memang bisa diterima, tetapi memiliki kelemahan karena prosa pun ada yang berirama. Sebut misalnya cerpen-cerpen Danarto yang menggunakan kekuatan irama untuk menambah keindahan karyanya.
• Samuel Taylor Coleridge berpendapat bahwa puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan yang terindah, sehingga nampak seimbang, simetris, dan memiliki hubungan yang erat antara satu unsur dengan unsur lainnya.
• Carlyle mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal, kata-katanya disusun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik.
• Wordsworth memberi pernyataan bahwa puisi adalah ungkapan perasaan yang imajinatif atau perasaan yang diangankan.
• Dunton berpendapat bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik (selaras, simetris, pilihan kata tepat), bahasanya penuh perasaan dan berirama seperti musik(pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).
• Shelley mengatakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup manusia, misalnya hal-hal yang mengesankan dan menimbulkan keharuan, kebahagiaan, kegembiraan, kesedihan dan lain-lain.
Dengan meramu pendapat-pendapat di atas, kita dapat mendefinisikan puisi sebagai berikut :


Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat
pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling
berkesan.


Setelah kita definisikan apa itu puisi, selanjutnya kita dapat mengungkapkan perbedaan antara puisi dan prosa sebagai berikut :

PUISI PROSA


1






2



3
Merupakan aktivitas jiwa yang menangkap kesan-kesan, kemudian kesan-kesan tersebut dipadatkan (di-kondensasi-kan) dan dipusatkan.

Merupakan pencurahan jiwa yang bersifat liris (emosional) dan ekspresif.

Seringkali isi dan kalimat-kalimatnya bermakna konotasi.

Merupakan aktivitas menyebarkan (men-dispersi-kan) ide/gagasan dalam bentuk uraian, bahkan kadang-kadang sampai merenik.

Merupakan pengungkapan gagasan yang bersifat epis atau naratif.

Pada umumnya bermakna denotasi, walaupun memang ada beberapa karya yang isinya konotasi.




II. ANALISIS PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek sebagai berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.
Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti (units of meaning), karena bunyi-bunyi yang ada pada puisi bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian rupa menjadi satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang menimbulkan makna yang dapat dipahami oleh pembaca.
Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar, pelaku, lukisan-lukisan, objek-objek yang dikemukakan, makna implisit, sifat-sifat metafisis, dunia pengarang dan sebagainya.
Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut berikut diberikan sebuah contoh.

CINTAKU JAUH DI PULAU
(Chairil Anwar)

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri




1. Analisis lapis pertama (bunyi/sound stratum)

Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris pertama puisi di atas ada asonansi a dan u; di baris kedua ada aliterasi s (gadis manis sekarang iseng sendiri). Demikian juga pada bait kedua ada asonansi a (melancar – memancar – si pacar – terang – terasa); dan ada pula aliterasi l dan r (melancar – bulan memancar – laut terang – tapi terasa).
Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di antaranya yang berpola rima a a – bb. Rima konsonan memancar – si pacar dipertentangkan dengan rima terasa – padanya yang merupakan bunyi vokal. Rima kutempuh – merapuh (konsonan) dipertentangkan dengan rima vokal dulu – cintaku.
Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi sebagai lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan memberi nilai rasa tertentu.


Asonansi
Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang sama.



Aliterasi
1. Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan.
2. Sajak/rima awal.


2. Analisis lapis kedua (arti/units of meaning)

Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi makna pada bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan pada akhirnya makna seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah analisis makna per kalimat, per bait dan akhirnya makna seluruh puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’.

Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di pulau yang jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu sendirian (iseng) tanpa kehadiran tohoh aku.
Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena walaupun air terang, angin mendayu, tetapi pada perasaannya ajal telah memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”).
Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia bertemu dengan kekasihnya.
Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-sia.

Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku adalah kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si aku harus mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang, usahanya tidak berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya.


3. Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’ dan lain-lain)

Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’, makna implisit, dan metafisis.
Pada puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’, objek yang dikemukakan adalah cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal. Pelaku atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut pada malam hari yang cerah dan berangin.
Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam puisi digabungkan, maka akan menghasilkan ‘dunia pengarang’ atau isi puisi. Ini merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya.
Contoh, berdasarkan puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’ kita dapat menuliskan ‘dunia pengarang’ sebagai berikut :
Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh. Karena ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan sangat baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku merasa ia tak akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama bertahun-tahun, bahkan sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak akan membuahkan hasil karena ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan, setelah ia mati kekasihnya juga akan mati dalam kesendirian.

Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis manis’ memberi gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik.
Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku : senang, gelisah, kecewa, dan putus asa.

Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa ketragisan hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya berjalan lancar, namun manusia seringkali tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah menghadang lebih dahulu. Dengan demikian, cita-cita yang hebat dan menggairahkan akan sia-sia belaka.

ooo

III. ANALISIS BERDASARKAN STRATA NORMA, SEMIOTIK, DAN FUNGSI ESTETIK

Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja. Agar analisis lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis strata norma dengan analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur yang membangun puisi tersebut.
Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur puisi) diyakini mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis puisi sampai menemukan makna yang dimaksud merupakan suatu keharusan. Kecuali itu fungsi estetik setiap unsur dalam puisi juga perlu dibahas.
Menganalisis puisi berdasarkan strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik, pada umumnya menyangkut masalah bunyi dan kata.



1. Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Kecuali itu bunyi juga bertugas memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus, menimbulkan perasaan tertentu, dan menimbulkan bayangan angan secara jelas.
Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga dalam perjalanannya ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur bunyi. Misalnya saja Sajak Hugo Bal yang diterjemahkan dengan judul ‘Ratapan Mati’, secara keseluruhan hanya berupa rangkaian bunyi ‘kata-kata’ tanpa arti. Bahkan di Indonesia pada masa lampau dikenal bentuk puisi mantera dan serapah yang memanfaatkan kekuatan bunyi. Di masa modern ini, dipelopori Sutardji Calzoum Bachri, muncul puisi-puisi yang menomorsatukan peranan bunyi. Dalam hal ini bunyi-bunyi yang dipakai disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan daya evokasi (daya kuat untuk membentuk pengertian). Contoh :

SEPISAUPI
(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi


Walaupun puisi di atas seolah-olah merupakan permainan bunyi belaka, namun jika kita teliti, bunyi-bunyi yang dipakai oleh Sutardji ternyata diolah dengan sangat baik, sehingga memiliki daya evokasi.
Berikut ini dikemukakan fungsi bunyi dalam mendukung suasana, perasaan, dan imaji pada puisi.





Efoni (euphony) : bunyi yang merdu dan indah.
Vokal a, i, u, e, o
Konsonan bersuara b, d, g, j
Bunyi liquida r, l
Bunyi sengau m, n, ng, ny
Bunyi aspiran s, h

Suasana mesra, penuh kasih sayang, gembira, bahagia.

Kakofoni (cacophony) : bunyi yang tidak merdu, parau
- Dominasi bunyi-bunyi k, p, t, s.
- Rima puisi sangat tidak teratur

Suasana kacau, tidak teratur, tidak menyenangkan.

Vokal e, i
Konsonan k, p, t, s, f

- Perasaan riang, kasih, suci
- imaji : kecil, ramping,
ringan, tinggi.

Vokal a, o, u
Konsonan b, d, g, z, v, w
- Perasaan murung, sedih,
gundah, kecewa.
- imaji : bulat, berat, besar,
rendah.


2. Kata

Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan mengabaikan peranan kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak Hugo Bal), namun tidak dapat dipungkiri bahwa kata sampai saat ini masih merupakan sarana yang sangat penting dalam penciptaan puisi. Bagaimanapun juga, pada umumnya penyair mencurahkan pengalaman jiwanya melalui kata-kata.
Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi, citraan, faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata atau kalimat puisi.
Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet Mulyana sebagai kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan unsur suasana, perasaan-perasaan penyair, dan sikapnya terhadap sesuatu.
Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan jiwa. Penyair menghendaki agar pembaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan penyair. Misalnya saja sajak Toto Sudarto Bachtiar berikut ini :

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan menyiratkan pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan. Apabila dikatakan ia mati tertembak, rasanya kurang hormat meskipun hakikatnya sama saja dengan kalimat …dia terbaring, tetapi bukan tidur. Demikian juga diksi Sebuah lubang peluru bundar di dadanya memberi gambaran tentang kematian yang indah dan bersih. Padahal kenyataannya pastilah tidak seperti itu. Tentu ada darah yang berlepotan, tidak tersenyum melainkan menyeringai kesakitan. Penyair menggunakan pilihan kata tersebut sebagai ungkapan jiwanya yang menghargai pengorbanan pahlawan. Kalimat Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang menyatakan keikhlasan sang pahlawan dalam membela tanah air sampai titik darah penghabisan.
Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu.
Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya. Misalnya pada salah satu bait puisi ‘Balada Penyaliban’ karya W.S. Rendra tertulis Tiada mawar-mawar di jalanan / tiada daun-daun palma / domba putih menyeret azab dan dera / merunduk oleh tugas teramat dicinta / dst.
Kata menyeret merupakan gaya bahasa yang mengkonkretkan seolah-olah ‘azab’ dan ‘dera’ dapat dilihat dan terasa berat. Hal itu memberi citraan penglihatan dan perasaan yang sangat dalam. Pembaca seolah-olah melihat sendiri jalanan yang kering tanpa tumbuhan dan sosok Yesus yang digambarkan sebagai domba putih yang tertatih-tatih menyeret beban amat berat. Dengan demikian, untuk ‘menghidupkan’ puisi, penyair dapat memanfaatkan gaya bahasa (misalnya personifikasi, metafora, hiperbola dan lain-lain) dan pilihan kata yang tepat.
Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-hari. Hal tersebut memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya, penggunaan kata-kata indah memberi efek romantis.
Setelah menganalisis puisi tahap demi tahap, kita dapat menyimpulkan tema puisi, amanat/pesan, sikap penyair (feeling) dan nada puisi (tone). Tema adalah ide/ gagasan/pokok masalah yang disampaikan penyair melalui puisinya; amanat/pesan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam puisi yang dapat dipetik oleh pembaca; sikap penyair adalah perasaan/sikap penyair terhadap tema yang ‘digarapnya’ dalam puisi (misalnya benci, kagum, antipati, simpati dan lain-lain); nada adalah cara penyair mengemukakan sikapnya (misalnya marah, keras, menyindir, putus asa, riang, penuh kekaguman dan sebagainya)



000