Minggu, 07 Maret 2010

PEMAKNAAN PUISI DONGA BALIK

PEMAKNAAN PUISI DONGA BALIK

D.E Mahardhika
2102408048

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya
berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat
dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan
bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa
Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang
hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang
yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru,
orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Oleh karena itu, puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra dari hasil karya cipta
seseorang, memiliki berbagai tujuan dari diciptakannya puisi tersebut, kurang lebih tidak jauh
berbeda dengan bentuk karya sastra lainnya, prosa dan drama yang termasuk sebagai bentuk
kesenian, yaitu seni sastra. Sebagai salah satu bentuk seni sastra, kekhasan perwujudan
wacana puisi sangat mudah dikenali, terutama oleh orang yang memiliki apresiasi terhadap
seni satra. Bentuk-bentuk puisi pun beragam, sesuai dengan maksud dan tujuan serta latar
belakang diciptakannya puisi tersebut, termasuk kegunaan atau manfaatnya.
Dalam wacana puisi Jawa, keragaman bentuknya disesuaikan dengan perkembangan
zaman berdasarkan latar belakang bahasa yang digunakan dalam menciptakan puisi. Puisi
Jawa memiliki beragam jenis sejak dari zaman Jawa Kuna hingga Jawa Modern, yaitu
kakawin, kidung, tembang tengahan, tembang gedhe, singir, guritan, macapat, parikan,
wangsalan, dan geguritan. Dengan kata lain, bila berhadapan dengan puisi Jawa, bagi yang
mengenali jenis-jenis puisi tersebut, akan dengan mudah menandai puisi yang dihadapinya
termasuk jenis puisi yang mana. Dari berbagai jenis tersebut tentunya memiliki struktur dan
estika masing-masing. Menurut Saputra (2001: 1-6) unsur-unsur yang selalu ada dan pasti
muncul dalam wacana puisi sebagai strukturnya adalah aspek bunyi, aspek kebahasaan, aspek
spasial atau aspek peruangan, dan aspek pengujaran. Demikian pula yang terdapat dalam
wacana puisi Jawa dengan berbagai jenisnya itu.
Di dalam aspek bunyi, baik bunyi segmental maupun bunyi suprasegmental memiliki
fungsi estetik, aksentuasi, dan spasial yang terwujud dalam rima dan irama. Sementara itu
aspek bahasa dalam puisi lebih pada tataran fungsi sekunder yang memiliki makna konotatif

dibandingkan dengan makna leksikal. Sedangkan perwujudan aspek peruangan dalam puisi
sering disebut sebagai tipografi atau aspek spasial, yang terdiri dari bait/pada, baris/gatra,
dan kata. Selain itu, sebagai bentuk ujaran, pribadi yang „menghadirkan‟ puisi disebut
sebagai pengujar atau pencerita. Oleh karena itu, dalam puisi ada aspek pengujaran, baik
yang diujarkan maupun yang mengujarkan. Subjek pengujaran adalah yang bertindak
menghadirkan wacana puisi, sedangkan objek pengujarannya adalah wacana puisi itu sendiri,
yang terdiri atas subjek ujaran (tokoh) dan objek ujaran. Objek ujaran terdiri dari unsur latar
dan tema.
Berkaitan dengan maksud dan tujuan serta latar belakang diciptakannya puisi,
termasuk kegunaan atau manfaatnya, dapat dilihat berdasarkan makna yang terkandung di
dalamnya. Antara lain, ada yang digunakan sebagai sarana untuk propaganda, wewaler atau
nasehat, ajaran-ajaran, doa dan atau mantra, namun ada pula yang hanya digunakan sebagai
hiburan saja. Misalnya, oleh kelompok Kyai Kanjeng, macapat digunakan sebagai sarana
dakwah dalam acara-acara pengajian macapat-nya. Artinya bentuk dan isi, yang bisa
dikatakan hampir tidak dapat dipisahkan, menentukan manfaat dari puisi tersebut setelah
diketahui maknanya, meskipun tidak menutup kemungkinan dari judulnya saja sudah dapat
diketahui. Di bawah ini akan dikutipkan sebait puisi yang dari judulnya saja sudah dapat
diketahui maksud dan tujuan ditulisnya puisi tersebut.
DONGA BALIK (Rajah Kalacakra)
Ya maraja jaramaya
Ya marani niramaya
Ya silapa palasiya
Ya midoro rodomiya
Ya midhosa sadhomiya
Ya dayuda dayudaya
Ya siyaca cayasiya
Ya sihama mahasiya
(Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa dalam Karsono H Saputra, 2001: 12)
Menurut Saputra (2001: 13), wacana tersebut di atas pertama-tama ada bukan
dimaksudkan sebagai wacana sastra (puisi), melainkan sebuah mantra “tolak bala”, dan
wacana tersebut tetap dapat dikatakan sebagai wacana puisi. Namun puisi itu dikatakan
merupakan salah satu contoh ekstrim yang hanya berupa tata susun bunyi, karena makna
kata-kata dalam puisi Donga Balik, kecuali kata—kalau dapat dikatakan sebagai kata—ya

dan marani, tidak akan ditemui dalam bausastra „kamus‟ apa pun. Meskipun kita mengetahui
bahwa susunan kata-kata sebagai mantra hanya merupakan kumpulan bunyi yang tak
bermakna, namun sekarang sudah banyak mantra yang dibuat sebagai kumpulan bunyi yang
bermakna. Lalu bagaimana dengan mantra “tolak bala” tersebut? Untuk mengetahui makna
dari wacana puisi Donga Balik itu, tentunya perlu dilihat unsur-unsur yang membentuk puisi
tersebut berdasarkan aturan struktur dan estetika puisi yang telah disebutkan di muka.
Dilihat dari aspek pengujarannya, puisi Donga Balik tersebut tidak memiliki subjek
pengujaran yang nyata dalam objek pengujarannya, sehingga dapat dikatakan subjek
ujarannya pun tidak tampak. Hal yang demikian disebut sebagai subjek pengujaran ekstern
yang monolog, karena sifat dari puisi tersebut adalah berupa mantra yang memiliki tujuan
untuk „tolak bala‟.
Dilihat dari aspek spasialnya, karena puisi tersebut hanya terdiri dari satu bait, maka
hanya terdapat pada gatra sebagai satuan spasial terkecil. Satuan gatra ditandai dengan guru
wilangan delapan wanda „suku kata‟ dan guru lagu /a/. Meskipun satuan spasialnya hanya
ada pada gatra, dimungkinkan memiliki makna kontekstual, yaitu sesuai dengan maksud
ditulisnya puisi tersebut sebagai mantra. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut.
Dilihat dari aspek kebahasaannya, meskipun puisi tersebut bukan merupakan
konstruksi bahasa, namun setiap kata yang muncul tetap memiliki makna. Hal itu disebabkan
karena bahasa di dalam puisi memiliki aturan-aturan tertentu yang berbeda dengan bahasa
sebagai alat komunikasi. Perbedaan tersebut, menurut Saputra (2001: 29) adalah karena
bahasa di dalam puisi berada pada tataran fungsi sekunder, yaitu makna konotatif;
penyebabnya adalah makna bahasa dalam puisi kadang-kadang tidak hanya pada makna
leksikal, sehingga pemaknaan tergantung dari konteks dan maksud serta tujuan puisi tersebut
dibuat. Perbedaan lain adalah karena sifat puisi mengharuskan “hukum” bahasa tunduk
kepadanya. Selain itu, permainan kata atau licentia poitica seorang penyair memungkinkan
bahasa dalam puisi tidak harus sama perwujudannya dengan bahasa dalam fungsi primernya
sebagai alat komunikasi antarmanusia.
Ketiga faktor di atas cukup menonjol dalam perwujudan puisi Donga Balik. Untuk
memaknai puisi itu sudah jelas harus dilihat makna konotatifnya, karena kata-kata yang
digunakan di dalamnya bukanlah kata-kata yang umum digunakan dalam bahasa komunikasi.
Bahkan munurut Saputra, tidak terdapat di kamus apa pun, sehingga pemaknaan kata di sini
dibutuhkan pengetahuan lain untuk menguraikannya, yaitu pengetahuan akan simbol (kata
dapat dianggap sebagai simbol dalam wacana sastra). Dengan demikian, kata-kata dalam
puisi tersebut tidak mengikuti aturan bahasa yang baku, bahkan diluar kebiasaan perwujudan

puisi yang memiliki tatanan perubahan kata dalam ketentuan tata bahasanya. Umumnya
perubahan-perubahan yang ada, antara lain yaitu pada perubahan bunyi karena tuntutan guru
lagu, pembalikan urutan kata karena tuntutan guru lagu, pelepasan vokal karena tuntutan guru
wilangan, penambahan vokal karena tuntutan guru wilangan, dan penggabungan dua kata
atau lebih karena tuntutan guru wilangan juga. Sedangkan pada puisi Donga Balik susunan
kata-katanya sangat sederhana, dari dua kata yang berurutan saling terbalik dalam setiap
barisnya. Namun pemaknaan dari kata-kata tersebut tidaklah sesederhana susunannya. Hal itu
dapat dikatakan sebagai permainan kata yang disusun oleh penyair—kalau mau disebut
sebagai penyair, namun paling tidak si penulis—dengan maksud tertentu. Apa maksudnya?
Akan dibahasa kemudian.
Dilihat dari aspek bunyinya, Donga Balik sebagai puisi bukanlah merupakan
kontruksi bahasa, namun merupakan bunyi silabik dengan kata yang dibalik, dan bunyi di sini
memiliki fungsi estetik yang tinggi. Dalam fungsi estetiknya, dapat dilihat bahwa
purwakanthi guru swara-nya begitu kuat, perulangan vokal /a/ pada kata secara berurut
hampir di setiap barisnya pada setiap kata, kecuali pada baris kedua dan keempat, bahkan
merupakan penegasan dari kata sebelumnya. Demikian pula pada purwakanthi guru basa
atau perwakanthi lumaksita perulangan kata secara keseluruhan dalam satu baris secara
berurut, hanya saja mengalami perubahan bentuk dengan kata yang dibalik (ditandai dengan
garis bawah). Sedangkan purwakanthi guru sastra-nya tidak memainkan peranan sama
sekali.
DONGA BALIK (Rajah Kalacakra)
Ya maraja jaramaya [8a]
Ya marani niramaya [8a]
Ya silapa palasiya [8a]
Ya midoro rodomiya [8a]
Ya midhosa sadhomiya [8a]
Ya dayuda dayudaya [8a]
Ya siyaca cayasiya [8a]
Ya sihama mahasiya [8a]
Meskipun puisi di atas hanya berupa susunan kata yang sudah pasti tidak dapat
dikatakan sebagai macapat, kidung, maupun kakawin, namun membaca kembali dan
berulang, akan terasakan irama yang teratur pada saat pembacaan. Pembacaan puisi
tradisional dengan puisi modern yang sering kali disebut geguritan atau puisi bebas tentu saja

berbeda. Bahkan pembacaan terhadap satu puisi yang sama pun dari masing-masing pembaca
yang berbeda belum tentu sama. Hal itu tergantung dari penafsiran pembaca yang
memungkinkan munculnya perbedaan irama pada saat membacanya, sehingga irama tersebut
dapat menjadi penanda yang khas sebagai wacana puisi tersebut. Dalam hal ini wacana puisi
di muka berupa mantra. Biasanya dalam pembacaan mantra, unsur bunyi dan irama menjadi
unsur yang sangat penting dan berperan untuk menekankan makna yang terkandung di dalam
setiap katanya yang hanya berupa simbol atau lambang dari sesuatu, baik alam, satwa,
peralatan hidup, kekuatan gaib, dan imajinasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat aspek yang paling dominan dalam
perwujudan puisi Donga Balik tersebut adalah aspek kebahasaan dan aspek bunyi sehingga
puisi dapat termaknai. Pemaknaan puisi itu, seperti telah diungkapkan di muka,
membutuhkan pengetahuan simbolik, karena untuk mengartikan kata-kata secara khusus
haruslah ditelusuri lebih lanjut. Namun melihat perwujudan dari puisi tersebut, dan
memperhatikan uraian di atas, kata-kata yang disusun dari dua kata yang berurutan saling
terbalik dalam setiap barisnya merupakan pantulan kata yang terjadi dan sengaja dibuat oleh
penyairnya dengan maksud sesuai judul yang tertera. Berdasarkan hal ini, penulis akan
mengkajinya dari pandangan umum yang menyatakan bahwa pertama, pantulan kata
ditangkap sebagai konsep cermin dalam kehidupan yang umumnya digunakan memang
sebagai „tolak bala‟. Konsep ini merupakan pengaruh dari Cina. Dalam kebudayaan Cina
dikenal bahwa cermin 1 digunakan untuk menolak hal-hal yang tidak baik (informan Cina,
sarjana program studi Cina). Biasanya dipasang di pintu masuk toko-toko atau warung dan
lain-lain. Jadi kata-kata yang terungkap dalam puisi Donga Balik ini dimaksudkan untuk
menjaga diri dari yang mengucapkannya dan memberikan pantulan terhadap pengaruh-
pengaruh atau maksud-maksud yang tidak baik yang datangnya dari luar dirinya (penolak
bala).
Kedua, terhadap pandangan umum yang menyatakan bahwa kata-kata adalah sebuah
doa. Sekali diucapkan pun sudah merupakan doa, apalagi diucapkan berulang. Dan doa
biasanya karena merupakan sebuah harapan untuk dipenuhi, dipanjatkan berulang-ulang.
Dalam puisi Donga Balik tersebut, kata diulang dengan terbalik, itu pun merupakan doa yang
diharapkan terjadi sesuai dengan kata yang ditulis. Tulisan tersebut diucapkan sebagai mantra
yang memiliki sebuah kekuatan atau pelindung bagi yang mengucapkannya. Sesuai dengan
yang tertulis pada keterangan judul dalam kurung Rajah Kalacakra, hal tersebut dapat
1
Cermin yang dimaksudkan di sini adalah kaca cermin (pangilon dalam bahasa Jawa)

disimpulkan bahwa puisi atau mantra Donga Balik merupakan sebuah rajah. Rajah dalam
bahasa Jawa berarti gambar atau tulisan di atas kertas dan lain sebagainya, yang biasanya
digunakan sebagai jimat 2. Rajah sebagai jimat itu berupa tulisan yang disusun atas kata-kata
dari dua kata yang berurutan saling terbalik dalam setiap barisnya digunakan untuk penolak
bala, sesuai dengan yang dimaksud oleh pemiliknya dan atau yang mengucapkan mantra
tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan aspek bunyi kata-kata dalam puisi Donga Balik tetap
memiliki makna khusus dalam konteks fungsinya untuk penolak bala.
Menurut Cruse dalam Rahyono, Peran Studi Linguistik dalam Telaah Kebudayaan
Jawa (2008), kata-kata dalam tindak komunikasi Pembicara tidak sekedar mengucapkan
rangkaian kata-kata bermakna tanpa menyampaikan pesan atau maksud tertentu. Daya ilokusi
adalah maksud yang ingin disampaikan oleh si penutur kepada kawan tutur melalui kata-kata
yang diujarkannya. Sebuah wacana yang dibentuk oleh konstituen-konstituen yang berupa
kata belum dapat digunakan sebagai instrument komunikasi verbal jika tidak disertai dengan
daya ilokusi. Tidak ada sebuah wacana yang digunakan dalam komunikasi yang tidak disertai
dengan “maksud” tertentu. Setiap penutur atau kawan tutur memiliki kebebasan pula untuk
menggunakan atau memaknakan sebuah kata ke dalam berbagai konteks dan maksud
menurut subjektivitas masing-masing, selama komunikasi dapat berlangsung. Dengan
demikian, meskipun kata-kata dalam puisi Donga Balik tidak bermakna menurut arti katanya,
namun dari aspek kebahasaan dalam tindak tuturnya tetap memiliki makna sesuai dari kata-
kata yang diucapkan dalam konteks fungsi puisi tersebut sebagai doa penolak bala.
Jadi dapat disimpulkan bahwa puisi Donga Balik ini berfungsi sebagai doa sesuai
dengan maksud yang mengucapkannya, yaitu dari pantulan kata-kata yang tersusun terbalik
tersebut untuk penolak bala sehingga mewujudkan rasa aman bagi dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar