Kamis, 04 Maret 2010

apresiasi puisi

APRESIASI PUISI

Seperti bentuk karya sastra lain, puisi mempunyai ciri-ciri khusus. Pada umumnya penyair mengungkapkan gagasan dalam kalimat yang relatif pendek-pendek serta padat, ditulis berderet-deret ke bawah (dalam bentuk bait-bait), dan tidak jarang menggunakan kata-kata/kalimat yang bersifat konotatif.
Kalimat yang pendek-pendek dan padat, ditambah makna konotasi yang sering terdapat pada puisi, menyebabkan isi puisi seringkali sulit dipahami. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut untuk mengapresiasi puisi, terutama pada puisi yang tergolong ‘sulit’ :
1. Membaca puisi berulang kali
2. Melakukan pemenggalan dengan membubuhkan :
- Garis miring tunggal ( / ) jika di tempat tersebut diperlukan tanda baca koma.
- Dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca titik, yaitu jika makna atau pengertian kalimat sudah tercapai.
3. Melakukan parafrase dengan menyisipkan atau menambahkan kata-kata yang dapat memperjelas maksud kalimat dalam puisi.
4. Menentukan makna kata/kalimat yang konotatif (jika ada).
5. Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri dalam bentuk prosa.

Berbekal hasil kerja tahapan-tahapan di atas, unsur intrinsik puisi seperti tema, amanat/ pesan, feeling, dan tone dapat digali dengan lebih mudah. Berikut ini diberikan sebuah contoh langkah-langkah menganalisis puisi.

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir : ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu


Tahap I : Membaca puisi di atas berulang kali (lakukanlah!)

Tahap II : Melakukan pemenggalan

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//
kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // ia tajam untuk mengiris apel /
yang tersedia di atas meja /
sehabis makan malam //
ia berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //


Tahap III : Melakukan parafrase

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//
(sehingga) kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // (bahwa) ia (pisau itu) tajam untuk mengiris apel /
yang (sudah) tersedia di atas meja /
(Hal) (itu) (akan) (kau) (lakukan) sehabis makan malam //
ia (pisau itu) berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //


Tahap IV : Menentukan makna konotatif kata/kalimat

pisau : sesuatu yang memiliki dua sisi, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif, bisa pula disalahgunakan sehingga menghasilkan sesuatu yang buruk, jahat, dan mengerikan.
apel : sesuatu yang baik dan bermanfaat.
terbayang olehnya urat lehermu : Sesuatu yang mengerikan.
Tahap V : Menceritakan kembali isi puisi

Berdasarkan hasil analisis tahap I – IV di atas, maka isi puisi dapat disimpulkan sebagai berikut :
Seseorang terobsesi oleh kilauan mata pisau. Ia bermaksud akan menggunakannya nanti malam untuk mengiris apel. Sayang, sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba terlintas bayangan yang mengerikan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa jadinya jika mata pisau itu dipakai untuk mengiris urat leher!
Dari pemahaman terhadap isi puisi tersebut, pembaca disadarkan bahwa tajamnya pisau memang dapat digunakan untuk sesuatu yang positif (contohnya mengiris apel), namun dapat juga dimanfaatkan untuk hal yang negatif dan mengerikan (digambarkan mengiris urat leher).

Dengan memperhatikan hasil kerja tahap 1 hingga 5, dapat dikemukakan unsur-unsur intrinsik puisi “Mata Pisau” sebagai berikut :


No.
Definisi
“Mata Pisau”



1

Tema : Gagasan utama penulis
yang dituangkan dalam
karangannya.
Sesuatu hal dapat digunakan untuk kebaikan (bersifat positif), tetapi sering juga disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif. Contoh : anggota tubuh, kecerdasan, ilmu dan teknologi, kekuasaan dll.


2
Amanat : Pesan moral yang ingin
disampaikan penulis
melalui karangannya
Hendaknya kita memanfaatkan segala hal yang kita miliki untuk tujuan positif supaya hidup kita punya makna


3
Feeling : Perasaan/sikap
penyair terhadap
pokok persoalan yang
dikemukakan dalam
puisi.
Penyair tidak setuju pada tindakan seseorang yang memanfaatkan sesuatu yang dimiliki untuk tujuan-tujuan negatif.



4
Nada : Tone yang dipakai
penulis
dalam mengungkapkan
pokok pikiran.
Nada puisi “Mata Pisau” cenderung datar, tidak nampak luapan emosi penyairnya.

Kecuali keempat point di atas, perlu diperhatikan juga citraan (image) dan gaya bahasa yang terdapat dalam puisi.




I. PENGERTIAN PUISI

Struktur dan ragam puisi sebagai hasil karya kreatif terus-menerus berubah. Hal ini nampak apabila kita mengkaji ciri-ciri puisi pada zaman tertentu yang ternyata berbeda dari ke-khas-an puisi pada zaman yang lain. Di masa lampau misalnya, penciptaan puisi harus memenuhi ketentuan jumlah baris, ketentuan rima dan persyaratan lain. Itulah sebabnya Wirjosoedarmo mendefinisikan puisi sebagai karangan terikat. Definisi tersebut tentu saja tidak tepat lagi untuk masa sekarang karena saat ini penyair sudah lebih bebas dan tidak harus tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini mengakibatkan pembaca tidak dapat lagi membedakan antara puisi dengan prosa hanya dengan melihat bentuk visualnya. Misalnya sajak Sapardi Djoko Damono dan cerpen Eddy D. Iskandar berikut ini :

AIR SELOKAN

“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari Minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung – ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir : campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.

+
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu : “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu – alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

(Sapardi Djoko Damono – Perahu Kertas, 1983 : 18)


NAH

Nah, karena suatu hal, maafkan Bapak datang terlambat. Nah, mudah-mudahan kalian memaklumi akan kesibukan Bapak. Nah, tentang pembangunan masjid ini yang dibiayai oleh kalian bersama, itu sangat besar pahalanya. Nah, Tuhan pasti akan menurunkan rahmat yang berlimpah ruah. Nah, dengan berdirinya masjid ini, mereka yang melupakan Tuhan, semoga cepat tobat. Nah, sekianlah sambutan Bapak sebagai sesepuh.

(Nah, ternyata ucapan suka lain dengan tindakan. Nah, ia sendiri ternyata suka kepada uang kotor dan perempuan. Nah, bukankah ia termasuk melupakan Tuhan? Nah, ketahuan kedoknya).
[….]
(Eddy D. Iskandar – Horison, Th. IX, Juni 1976 : 185)


Bentuk visual kedua contoh di atas sama, padahal Sapardi Djoko Damono memaksudkan karyanya sebagai puisi, sedangkan Eddy D.Iskandar memaksudkan karangannya sebagai cerita pendek (prosa). Dengan demikian mendefinisikan puisi berdasarkan bentuk visualnya saja, pada masa sekarang tidak relevan lagi.
Karena sulitnya mendefinisikan pengertian puisi, A. Teeuw dan Culler menyerahkan pada penilaian pembaca. Menurut mereka pembacalah yang paling berhak menentukan suatu karya termasuk prosa atau puisi (Teeuw, 1983 : 6; Culler, 1977 : 138). Pendapat demikian meskipun nampaknya menyelesaikan masalah, namun untuk study keilmuan tentu sangat membingungkan karena tidak ada standar yang pasti.
Kecuali A. Teeuw dan Culler, banyak ahli sastra dan sastrawan, khususnya penyair romantik Inggris, yang berusaha memberikan definisi. Berikut ini adalah beberapa pendapat mereka :
• Altenbernd (1970 : 2), mendefinisikan puisi sebagai the interpretive dramatization of experience in metrical language (pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa bermetrum). Meskipun mengandung kebenaran, namun definisi tersebut tak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena pada umumnya puisi Indonesia tidak memakai metrum sebagai dasar. Jika yang dimaksud metrical adalah ‘berirama’, maka definisi Altenbernd memang bisa diterima, tetapi memiliki kelemahan karena prosa pun ada yang berirama. Sebut misalnya cerpen-cerpen Danarto yang menggunakan kekuatan irama untuk menambah keindahan karyanya.
• Samuel Taylor Coleridge berpendapat bahwa puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan yang terindah, sehingga nampak seimbang, simetris, dan memiliki hubungan yang erat antara satu unsur dengan unsur lainnya.
• Carlyle mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal, kata-katanya disusun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik.
• Wordsworth memberi pernyataan bahwa puisi adalah ungkapan perasaan yang imajinatif atau perasaan yang diangankan.
• Dunton berpendapat bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik (selaras, simetris, pilihan kata tepat), bahasanya penuh perasaan dan berirama seperti musik(pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).
• Shelley mengatakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup manusia, misalnya hal-hal yang mengesankan dan menimbulkan keharuan, kebahagiaan, kegembiraan, kesedihan dan lain-lain.
Dengan meramu pendapat-pendapat di atas, kita dapat mendefinisikan puisi sebagai berikut :


Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat
pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling
berkesan.


Setelah kita definisikan apa itu puisi, selanjutnya kita dapat mengungkapkan perbedaan antara puisi dan prosa sebagai berikut :

PUISI PROSA


1






2



3
Merupakan aktivitas jiwa yang menangkap kesan-kesan, kemudian kesan-kesan tersebut dipadatkan (di-kondensasi-kan) dan dipusatkan.

Merupakan pencurahan jiwa yang bersifat liris (emosional) dan ekspresif.

Seringkali isi dan kalimat-kalimatnya bermakna konotasi.

Merupakan aktivitas menyebarkan (men-dispersi-kan) ide/gagasan dalam bentuk uraian, bahkan kadang-kadang sampai merenik.

Merupakan pengungkapan gagasan yang bersifat epis atau naratif.

Pada umumnya bermakna denotasi, walaupun memang ada beberapa karya yang isinya konotasi.




II. ANALISIS PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek sebagai berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.
Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti (units of meaning), karena bunyi-bunyi yang ada pada puisi bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian rupa menjadi satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang menimbulkan makna yang dapat dipahami oleh pembaca.
Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar, pelaku, lukisan-lukisan, objek-objek yang dikemukakan, makna implisit, sifat-sifat metafisis, dunia pengarang dan sebagainya.
Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut berikut diberikan sebuah contoh.

CINTAKU JAUH DI PULAU
(Chairil Anwar)

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri




1. Analisis lapis pertama (bunyi/sound stratum)

Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris pertama puisi di atas ada asonansi a dan u; di baris kedua ada aliterasi s (gadis manis sekarang iseng sendiri). Demikian juga pada bait kedua ada asonansi a (melancar – memancar – si pacar – terang – terasa); dan ada pula aliterasi l dan r (melancar – bulan memancar – laut terang – tapi terasa).
Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di antaranya yang berpola rima a a – bb. Rima konsonan memancar – si pacar dipertentangkan dengan rima terasa – padanya yang merupakan bunyi vokal. Rima kutempuh – merapuh (konsonan) dipertentangkan dengan rima vokal dulu – cintaku.
Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi sebagai lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan memberi nilai rasa tertentu.


Asonansi
Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang sama.



Aliterasi
1. Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan.
2. Sajak/rima awal.


2. Analisis lapis kedua (arti/units of meaning)

Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi makna pada bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan pada akhirnya makna seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah analisis makna per kalimat, per bait dan akhirnya makna seluruh puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’.

Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di pulau yang jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu sendirian (iseng) tanpa kehadiran tohoh aku.
Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena walaupun air terang, angin mendayu, tetapi pada perasaannya ajal telah memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”).
Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia bertemu dengan kekasihnya.
Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-sia.

Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku adalah kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si aku harus mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang, usahanya tidak berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya.


3. Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’ dan lain-lain)

Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’, makna implisit, dan metafisis.
Pada puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’, objek yang dikemukakan adalah cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal. Pelaku atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut pada malam hari yang cerah dan berangin.
Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam puisi digabungkan, maka akan menghasilkan ‘dunia pengarang’ atau isi puisi. Ini merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya.
Contoh, berdasarkan puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’ kita dapat menuliskan ‘dunia pengarang’ sebagai berikut :
Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh. Karena ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan sangat baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku merasa ia tak akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama bertahun-tahun, bahkan sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak akan membuahkan hasil karena ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan, setelah ia mati kekasihnya juga akan mati dalam kesendirian.

Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis manis’ memberi gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik.
Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku : senang, gelisah, kecewa, dan putus asa.

Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa ketragisan hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya berjalan lancar, namun manusia seringkali tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah menghadang lebih dahulu. Dengan demikian, cita-cita yang hebat dan menggairahkan akan sia-sia belaka.

ooo

III. ANALISIS BERDASARKAN STRATA NORMA, SEMIOTIK, DAN FUNGSI ESTETIK

Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja. Agar analisis lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis strata norma dengan analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur yang membangun puisi tersebut.
Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur puisi) diyakini mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis puisi sampai menemukan makna yang dimaksud merupakan suatu keharusan. Kecuali itu fungsi estetik setiap unsur dalam puisi juga perlu dibahas.
Menganalisis puisi berdasarkan strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik, pada umumnya menyangkut masalah bunyi dan kata.



1. Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Kecuali itu bunyi juga bertugas memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus, menimbulkan perasaan tertentu, dan menimbulkan bayangan angan secara jelas.
Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga dalam perjalanannya ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur bunyi. Misalnya saja Sajak Hugo Bal yang diterjemahkan dengan judul ‘Ratapan Mati’, secara keseluruhan hanya berupa rangkaian bunyi ‘kata-kata’ tanpa arti. Bahkan di Indonesia pada masa lampau dikenal bentuk puisi mantera dan serapah yang memanfaatkan kekuatan bunyi. Di masa modern ini, dipelopori Sutardji Calzoum Bachri, muncul puisi-puisi yang menomorsatukan peranan bunyi. Dalam hal ini bunyi-bunyi yang dipakai disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan daya evokasi (daya kuat untuk membentuk pengertian). Contoh :

SEPISAUPI
(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi


Walaupun puisi di atas seolah-olah merupakan permainan bunyi belaka, namun jika kita teliti, bunyi-bunyi yang dipakai oleh Sutardji ternyata diolah dengan sangat baik, sehingga memiliki daya evokasi.
Berikut ini dikemukakan fungsi bunyi dalam mendukung suasana, perasaan, dan imaji pada puisi.





Efoni (euphony) : bunyi yang merdu dan indah.
Vokal a, i, u, e, o
Konsonan bersuara b, d, g, j
Bunyi liquida r, l
Bunyi sengau m, n, ng, ny
Bunyi aspiran s, h

Suasana mesra, penuh kasih sayang, gembira, bahagia.

Kakofoni (cacophony) : bunyi yang tidak merdu, parau
- Dominasi bunyi-bunyi k, p, t, s.
- Rima puisi sangat tidak teratur

Suasana kacau, tidak teratur, tidak menyenangkan.

Vokal e, i
Konsonan k, p, t, s, f

- Perasaan riang, kasih, suci
- imaji : kecil, ramping,
ringan, tinggi.

Vokal a, o, u
Konsonan b, d, g, z, v, w
- Perasaan murung, sedih,
gundah, kecewa.
- imaji : bulat, berat, besar,
rendah.


2. Kata

Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan mengabaikan peranan kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak Hugo Bal), namun tidak dapat dipungkiri bahwa kata sampai saat ini masih merupakan sarana yang sangat penting dalam penciptaan puisi. Bagaimanapun juga, pada umumnya penyair mencurahkan pengalaman jiwanya melalui kata-kata.
Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi, citraan, faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata atau kalimat puisi.
Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet Mulyana sebagai kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan unsur suasana, perasaan-perasaan penyair, dan sikapnya terhadap sesuatu.
Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan jiwa. Penyair menghendaki agar pembaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan penyair. Misalnya saja sajak Toto Sudarto Bachtiar berikut ini :

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan menyiratkan pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan. Apabila dikatakan ia mati tertembak, rasanya kurang hormat meskipun hakikatnya sama saja dengan kalimat …dia terbaring, tetapi bukan tidur. Demikian juga diksi Sebuah lubang peluru bundar di dadanya memberi gambaran tentang kematian yang indah dan bersih. Padahal kenyataannya pastilah tidak seperti itu. Tentu ada darah yang berlepotan, tidak tersenyum melainkan menyeringai kesakitan. Penyair menggunakan pilihan kata tersebut sebagai ungkapan jiwanya yang menghargai pengorbanan pahlawan. Kalimat Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang menyatakan keikhlasan sang pahlawan dalam membela tanah air sampai titik darah penghabisan.
Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu.
Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya. Misalnya pada salah satu bait puisi ‘Balada Penyaliban’ karya W.S. Rendra tertulis Tiada mawar-mawar di jalanan / tiada daun-daun palma / domba putih menyeret azab dan dera / merunduk oleh tugas teramat dicinta / dst.
Kata menyeret merupakan gaya bahasa yang mengkonkretkan seolah-olah ‘azab’ dan ‘dera’ dapat dilihat dan terasa berat. Hal itu memberi citraan penglihatan dan perasaan yang sangat dalam. Pembaca seolah-olah melihat sendiri jalanan yang kering tanpa tumbuhan dan sosok Yesus yang digambarkan sebagai domba putih yang tertatih-tatih menyeret beban amat berat. Dengan demikian, untuk ‘menghidupkan’ puisi, penyair dapat memanfaatkan gaya bahasa (misalnya personifikasi, metafora, hiperbola dan lain-lain) dan pilihan kata yang tepat.
Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-hari. Hal tersebut memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya, penggunaan kata-kata indah memberi efek romantis.
Setelah menganalisis puisi tahap demi tahap, kita dapat menyimpulkan tema puisi, amanat/pesan, sikap penyair (feeling) dan nada puisi (tone). Tema adalah ide/ gagasan/pokok masalah yang disampaikan penyair melalui puisinya; amanat/pesan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam puisi yang dapat dipetik oleh pembaca; sikap penyair adalah perasaan/sikap penyair terhadap tema yang ‘digarapnya’ dalam puisi (misalnya benci, kagum, antipati, simpati dan lain-lain); nada adalah cara penyair mengemukakan sikapnya (misalnya marah, keras, menyindir, putus asa, riang, penuh kekaguman dan sebagainya)



000

64 komentar:

  1. II. TEORI-TEORI UNTUK MENGAPRESIASI / MEMAHAMI GEGURITAN
    1. Teori Kaji Makna
    Teori ini hampir sama dengan memparafrasekan puisi. Sebelum kita berani dengan lantang untuk membacakan geguritan, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna yang terdapat dalam geguritan itu, baik makna kata perkata atau makna secara keseluruhan yang menjadi isis hati atau tujuan pengarang menulis geguritan. Dalam teori kaji makna ini kita harus mengetahui secara pasti makna kata-kata yang ada dalam geguritan tersebut, terlebih kata-kata yang kedengarannya asing dan jarang dipakai oleh masyarakat umum.
    Tak jarang pula kata-kata yang tertera mengandung suatu maksud tertentu yang berlainan dengan makna yang lazim, atau dengan kata lain bermakna konotasi. Sehingga kita juga harus bisa menelisik maksud yang sesungguhnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mengartikan kata-kata sukar lalu mencari makna secara global dari paduan kata-kata yang tertera pada tiap bait. Lalu memadukan makna di tiap-tiap bait menjadi satu kesatuan makna yang utuh. Setelah kita memahami makna yang terkandung dalam geguritan tersebut maka bisa dipastikan kita akan bisa mengapresiasi dan membacakannya dengan baik dan benar, selain itu tak kalah penting juga kita bisa membuat audiens mengerti dan bisa menggambarkan jan-jane apa to maksude geguritan kuwi.

    BalasHapus
  2. dhita restu p.h.7 Maret 2010 pukul 18.47

    Puisi termasuk karya seni, khususnya seni sastra. Sebagai karya seni, puisi sejajar dengan karya seni lain seperti seni tari, seni lukis, atau seni patung. Semua karya seni mengandung keindahan dan keindahan menimbulkan rasa senang. Dengan demikian, puisi juga mengandung keindahan yang dapat menimbulkan rasa senang. Dengan kata lain, puisi dapat dinikmati. Namun, menikmati keindahan sebuah puisi tidak semudah menikmati seni musik, seni tari, atau seni lukis. Sebab, untuk bisa menikmati sebuah puisi lebih dahulu kita harus bisa memahami puisi tulisan sang penyair.

    Memahami puisi terkadang memang tidak mudah. Mengapa? Bahasa puisi berbeda dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Penyair sengaja memilih kata-kata yang indah, yang dapat menimbulkan kemerduan bunyi dan sekaligus dapat menggambarkan ide yang ingin disampaikan dengan tepat. Cara penyair menyampaikan ide pun tidak secara langsung, melainkan melalui simbol-simbol, perbandingan-perbandingan, dan kiasan-kiasan. Selain itu, kata-kata dalam puisi amat terbatas, karena penyair “membuang” kata-kata yang tidak terlalu penting. Kata-kata yang digunakan hanya kata-kata terpilih untuk mewujudkan keindahan puisi. Meskipun jumlah katanya amat terbatas, sebenarnya puisi mengekspresikan pikiran penyair secara lengkap.

    Berkaitan dengan itu, dalam memahami puisi kita perlu melakukan langkah-langkah berikut.
    1. Kita mencoba “mengembalikan” kata-kata dan tanda-tanda baca yang “dibuang” oleh penyair. Dengan kata lain, kita menambahkan kata-kata lain untuk melengkapi atau memperjelas kata-kata dalam puisi dan menambahkan tanda-tanda baca untuk memperjelas hubungan makna kata-kata tersebut.
    2. Kita berusaha memahami kata-kata tertentu yang digunakan sebagai simbol, perbandingan, atau kiasan yang masih belum jelas maknanya.
    3. Kita menguraikan isi puisi dalam bentuk prosa. Nah, bila sudah dalam bentuk prosa, kita dengan mudah dapat memahaminya.
    Sebagai contoh, perhatikan cara memahami puisi berjudul “Dengan Puisi, Aku” karya Taufiq Ismail berikut ini.

    DENGAN PUISI, AKU

    Dengan puisi aku bernyanyi
    Sampai senja umurku nanti
    Dengan puisi aku bercinta
    Berbatas cakrawala
    Dengan puisi aku mengenang
    Keabadian Yang Akan Datang
    Dengan puisi aku menangis
    Jarum waktu bila kejam mengiris
    Dengan puisi aku mengutuk
    Nafas zaman yang busuk
    Dengan puisi aku berdoa
    Perkenankanlah kiranya.

    Agar lebih mudah dipahami, kita tambahkan tanda baca dan kata-kata tertentu yang sesuai, seperti di bawah ini. Kata-kata dan tanda-tanda baca tambahan kita letakkan di dalam kurung.

    BalasHapus
  3. dhita restu p.h.7 Maret 2010 pukul 18.48

    (lanjutan cara memahami puisi)
    DENGAN PUISI, AKU

    Dengan puisi (yang kutulis ini) aku bernyanyi
    Sampai senja umurku nanti (.)
    Dengan puisi (ini) aku bercinta
    Berbatas cakrawala (.)
    Dengan puisi (ini) aku mengenang
    Keabadian Yang Akan Datang (.)
    Dengan puisi (ini) aku menangis
    (terutama) (saat) Jarum waktu bila kejam mengiris (.)
    Dengan puisi (ini) aku mengutuk
    Nafas zaman yang (berbau) busuk
    (bahkan) Dengan puisi (ini) (pula) aku berdoa
    (Tuhan) Perkenankanlah kiranya.

    Setelah kita tambahkan tanda-tanda baca dan kata-kata yang sesuai, puisi di atas sudah semakin kelihatan maknanya meskipun belum jelas benar. Jika kata-kata kiasan yang terdapat dalam puisi tersebut kita jelaskan, makna puisi akan tampak lebih nyata. Kata-kata yang perlu kita jelaskan antara lain:
    a. senja umurku, berarti ‘sampai umurku tua’;
    b. berbatas cakrawala, berarti ‘sangat luas atau tidak ada batasnya’;
    c. Keabadian Yang Akan Datang, berarti ‘kehidupan manusia pada masa datang yang abadi, yang akan dialaminya setelah kehidupan di dunia’;
    d. Jarum waktu bila kejam mengiris, berarti ‘waktu akan membinasakan manusia yang tidak memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan hidup yang diberikan Tuhan kepadanya’;
    e. Nafas zaman yang busuk, berarti ‘kondisi masyarakat yang penuh dengan kejahatan, kesesatan, kebobrokan, dan kemunafikan’.

    Setelah menambahkan tanda-tanda baca dan kata-kata yang sesuai serta mengartikan sejumlah kata, kita uraikan makna seluruh puisi dalam bentuk prosa, seperti di bawah ini.

    Dengan puisi yang kutulis ini aku ingin bernyanyi sampai umurku tua nanti. Dengan puisi ini aku bercinta, mencintai sesama tanpa batas. Dengan puisi ini aku mengenang kehidupanku yang abadi di masa datang, yakni kehidupan yang akan kualami setelah kematianku kelak. Dengan puisi ini aku menangis, terutama saat aku tidak bisa memanfaatkan kesempatan hidup yang diberikan Tuhan kepadaku. Dengan puisi ini aku mengutuk kondisi masyarakat yang penuh dengan kejahatan, kesesatan, kebrobrokan, dan kemunafikan. Bahkan, dengan puisi ini pula aku berdoa, dengan harapan Tuhan berkenan mengabulkannya.

    Demikianlah cara yang dapat kita lakukan untuk memahami puisi. Cara tersebut sering disebut parafrase, yaitu pengungkapan dalam bentuk lain yang isinya kurang lebih tetap. Jika pengungkapan itu lebih panjang daripada aslinya, menurut Verhaar disebut perifrase. Karena itu, sebuah perifrase pastilah parafrase.

    BalasHapus
  4. DASAR-DASAR ANALISIS PUISI
     
    Lembar komunikasi Bahasa dan Sastra Indonesia
    SMU Stella Duce 2 Yogyakarta
    Jl. Dr. Sutomo 16 Telp. (0274) 513129 Yogyakarta
    Disusun oleh Agustinus Suyoto
    I.PENGERTIAN
    Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
    Menurut Vicil C. Coulter, kata poet berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka pada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980:10)).
    Ada beberapa pengertian lain.
    a.Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
    b.Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
    c.Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
    d.William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
    e.Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
    f.Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
    g.Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.

    BalasHapus
  5. (lanjutan dasar analisis puisi)
    I.PERBEDAAN PUISI DAN PROSA
    HB. Jassin (1953:54) mengatakan bahwa untuk mendefinisikan puisi, puisi itu harus dikaitkan dengan definisi prosa. Prosa merupakan pengucapan dengan pikiran, sedangkan puisi merupakan pengucapan dengan perasaan.
    Rahmanto dan Dick Hartoko (1986) mengatakan bahwa puisi merupakan lawan terhadap prosa. Ungkapan bahasa yang terikat (puisi), lawan ungkapan bahasa yang tidak terikat (prosa). Keterikatan oleh paralelisme, metrum, rima, pola bunyi, dsb. Pada sastra modern perbedaan puisi dan prosa sangat kabur.
    Luxemburg (1992) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks puisi adalah teks-teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain itu teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu. Tipografik ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam puisi. Apabila kita melihat teks yang barisnya tidak selesai secara otomatis kita menganggap bahwa teks tersebut merupakan teks puisi.
    Rachmad Djoko Pradopo (1987) mengatakan bahwa dewasa ini orang mengalami kesulitan dalam membedakan puisi dan prosa hanya dari bentuk visualnya sebagai sebuah karya tertulis. Sampai-sampai sekarang ini dikatakan bahwa niat pembacalah yang menjadi ciri sastra utama.
    Alterbern (dalam Pradopo, 1987) mengatakan bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama. Ada tiga unsur pokok dalam puisi yaitu pemikiran/ide/emosi, bentuk, dan kesan. Jadi puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan bahasa yang berirama.
    Slametmulyana (1956:112) mengatakan bahwa ada perbedaan pokok antara prosa dan puisi. Pertama, kesatuan prosa yang pokok adalah kesatuan sintaksis, sedangkan kesatuan puisi adalah kesatuan akustis. Kedua puisi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang disebut baris sajak, sedangkan dalam prosa kesatuannya disebut paragraf. Ketiga di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.
    Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan prosa dan puisi bukan pada bahannya, melainkan pada perbedaan aktivitas kejiwaan. Puisi merupakan hasil aktivitas pemadatan, yaitu proses penciptaan dengan cara menangkap kesan-kesan lalu memadatkannya (kondensasi). Prosa merupakan aktivitas konstruktif, yaitu proses penciptaan dengan cara menyebarkan kesan-kesan dari ingatan (Djoko Pradopo, 1987).
    Perbedaan lain terdapat pada sifat. Puisi merupakan aktivitas yang bersifat pencurahan jiwa yang padat, bersifat sugestif dan asosiatif. Sedangkan prosa merupakan aktivitas yang bersifat naratif, menguraikan, dan informatif (Pradopo, 1987)
    Perbedaan lain yaitu puisi menyatakan sesuatu secara tidak langsung, sedangkan prosa menyatakan sesuatu secara langsung.

    BalasHapus
  6. (lanjutan dasar analisis puisi)
    I.UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
    Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
    Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu
    1.Sense (tema, arti)
    Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
    2.Feling (rasa)
    Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
    3.Tone (nada)
    Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
    4.Intention (tujuan)
    Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
    Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari
    1.Diction (diksi)
    Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
    2.Imageri (imaji, daya bayang)
    Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
    Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
    a.citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan
    b.Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran
    c.Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan
    d.Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
    e.Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
    f.Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan
    g.Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan
    1.The concrete word (kata-kata kongkret)
    Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.

    BalasHapus
  7. (lanjutan dasar analisis puisi)
    1.Figurative language (gaya bahasa)
    Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain
    a.perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
    b.Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
    c.Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
    d.Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
    e.Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
    f.Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
    g.Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
    1.Rhythm dan rima (irama dan sajak)
    Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
    a.metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu.
    b.Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
    Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
    a.dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu.
    b.Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara.
    c.Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
    Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
    Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
    a.rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
    b.Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
    c.Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi)
    d.Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
    e.Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
    f.Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
    g.Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
    h.Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.

    BalasHapus
  8. (lanjutan dasar analisis puisi)
    Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
    a.rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
    b.Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
    c.Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
    d.Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
    e.Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
    f.Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
    g.Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
    h.Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
    i.Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
    j.Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
    k.Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d)
    Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
    1.Lapis bunyi (sound stratum)
    2.Lapis arti (units of meaning)
    3.Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
    a.Lapis implisit
    b.Lapis metafisika (metaphysical qualities)
    IV. PARAFRASE PUISI
    Yang dimaksud parafrase adalah mengubah puisi menjadi bentuk sastra lain (prosa). Hal itu berarti bahwa puisi yang tunduk pada aturan-aturan puisi diubah menjadi prosa yang tunduk pada aturan-aturan prosa tanpa mengubah isi puisi tersebut.
    Perlu diketahui bahwa parafrase merupakan metode memahami puisi, bukan metode membuat karya sastra. Dengan demikian, memparafrasekan puisi tetap dalam kerangka upaya memahami puisi.
    Ada dua metode parafrase puisi, yaitu
    a.Parafrase terikat, yaitu mengubah puisi menjadi prosa dengan cara menambahkan sejumlah kata pada puisi sehingga kalimat-kalimat puisi mudah dipahami. Seluruh kata dalam puisi masih tetap digunakan dalam parafrase tersebut.
    b.Parafrase bebas, yaitu mengubah puisi menjadi prosa dengan kata-kata sendiri. Kata-kata yang terdapat dalam puisi dapat digunakan, dapat pula tidak digunakan. Setelah kita membaca puisi tersebut kita menafsirkan secara keseluruhan, kemudian menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri.

    BalasHapus
  9. PURWA PRASETYA.N7 Maret 2010 pukul 19.06

    PURWA PRASETYA.N
    2102408093
    DASAR-DASAR ANALISIS PUISI
     1UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
    Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
    Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu
    1.Sense (tema, arti)
    Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
    2.Feling (rasa)
    Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
    3.Tone (nada)
    Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
    4.Intention (tujuan)
    Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
    Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari
    1.Diction (diksi)
    Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
    2.Imageri (imaji, daya bayang)
    Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
    Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
    a.citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan
    b.Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran
    c.Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan
    d.Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.

    BalasHapus
  10. a.
    b.Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
    c.Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan
    d.Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan
    1.The concrete word (kata-kata kongkret)
    Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
    2.Figurative language (gaya bahasa)
    Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain
    a.perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
    b.Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
    c.Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
    d.Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
    e.Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
    f.Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
    g.Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
    1.Rhythm dan rima (irama dan sajak)
    Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
    a.metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu.
    b.Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
    Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
    a.dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu.
    b.Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara.
    c.Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
    Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.

    BalasHapus
  11. Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
    a.rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
    b.Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
    c.Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi)
    d.Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
    e.Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
    f.Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
    g.Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
    h.Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
    Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
    a.rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
    b.Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
    c.Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
    d.Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
    e.Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
    f.Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
    g.Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
    h.Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
    i.Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
    j.Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
    k.Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d)
    Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
    1.Lapis bunyi (sound stratum)
    2.Lapis arti (units of meaning)
    3.Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
    a.Lapis implisit
    b.Lapis metafisika (metaphysical qualities)

    BalasHapus
  12. IV. PARAFRASE PUISI
    Yang dimaksud parafrase adalah mengubah puisi menjadi bentuk sastra lain (prosa). Hal itu berarti bahwa puisi yang tunduk pada aturan-aturan puisi diubah menjadi prosa yang tunduk pada aturan-aturan prosa tanpa mengubah isi puisi tersebut.
    Perlu diketahui bahwa parafrase merupakan metode memahami puisi, bukan metode membuat karya sastra. Dengan demikian, memparafrasekan puisi tetap dalam kerangka upaya memahami puisi.
    Ada dua metode parafrase puisi, yaitu
    a.Parafrase terikat, yaitu mengubah puisi menjadi prosa dengan cara menambahkan sejumlah kata pada puisi sehingga kalimat-kalimat puisi mudah dipahami. Seluruh kata dalam puisi masih tetap digunakan dalam parafrase tersebut.
    b.Parafrase bebas, yaitu mengubah puisi menjadi prosa dengan kata-kata sendiri. Kata-kata yang terdapat dalam puisi dapat digunakan, dapat pula tidak digunakan. Setelah kita membaca puisi tersebut kita menafsirkan secara keseluruhan, kemudian menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri.
    PENGGALAN PUISI
    1.laksana bintang berkilat cahaya,
    di atas langit hitam kelam,
    sinar berkilau cahya matamu,
    menembus aku ke jiwa dalam
    (Sebagai Dahulu, Aoh Kartahadimadja)
    2.Dua puluh tiga matahari
    Bangkit dari pundakmu
    Tubuhmu menguapkan bau tanah
    (Nyanyian Suto untuk Fatima, Rendra)
    3.Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
    Menyinggung muram, desir hari lari benerang
    Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
    Dan kini, tanah, air tidur, hilang ombak
    (Senja di Pelabuhan Kecil, Chairil Anwar)
    4.Betsyku bersih dan putih sekali
    Lunak dan halus bagaikan karet busa.
    Rambutnya merah tergerai
    Bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
    Dan kakinya sempurna
    Singsat dan licin
    Bagaikan ikan salmon
    (Rick dari Corona, Rendra)
    5.Engkau ibarat kolam di tengah-tengah belukar

    BalasHapus
  13. Berteriak-teriak tenang
    Membiarkan nyiur sepasang
    Berderminkan diri ke dalam
    Airmu …
    (Engkau, Walujati)
    1.Aku sudah saksikan
    Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan Juga turut tersedu
    Membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi dalam kuburnya.
    (Fragment, Chairil Anwar)
    2.Seruling di pasir tipis, merdu
    Antara gundukan pepohonan pina
    Tembang menggema di dua kaki
    Burangrang – Tangkaubanperahu
    (Tanah Kelahiran, Ramadhan KH)
    3.Tetapi istriku terus berbiak
    Seperti rumput di pekarangan mereka
    Seperti lumut di tembok mereka
    Seperti cendawan di roti mereka
    Sebab bumu hitam milik kami.
    Tambang intan milik kami
    Gunung natal milik kami
    (Afrika Selatan, Subagio Sastrowardjoyo)
    4.Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
    Meriak muka air kolam jiwa
    Dan dalam dadaku memerlu lagu
    Menarik menari seluruh aku
    (Sajak Putih, Chairil Anwar)
    5.Maka dalam blingsatan
    Ia bertingkah bagai gorilla
    Gorilla tua yang bongkok
    Meraung-raung
    Sembari jari-jari galak di gitarnya
    Mencakar dan mencakar
    Menggaruki rasa gatal di sukmanya
    (Blues Untuk Bonnie, Rendra)

    BalasHapus
  14. LATIHAN II
    1.Parafraseikan puisi berikut ini dengan metode parafrase terikat!
    2.Parafrasekan puisi berikut ini dengan metode parafrase bebas!
    CERITA BUAT DIEN TAMAELA
    (Chairil Anwar)
    Beta Pattirajawane
    Yang dijaga datu-datu
    Cuma satu.
    Beta Pattirajawane
    Kikisan laut
    Berdarah laut.
    Beta Pattirajawane
    Ketika lahir dibawakan
    Datu dayung sampan.
    Beta pattirajawane, menjaga hutan pala.
    Beta api di panta. Siapa mendekat
    Tiga kali menyebut beta punya nama.
    Dalam sunyi malam ganggang menari
    Menurut beta punya tifa,
    Pohon pala, badan perawan jadi
    Hidup sampai pagi tiba.
    Mari menari!
    Mari beria!
    Mari berlupa!
    Awas jangan bikin beta marah
    Beta bikin pala mati, gadis kaku
    Beta kirim datu-datu!
    Beta ada di malam, ada di siang
    Irama ganggang dan api membakar pulau …
    Beta Pattirajawane
    Yang dijaga datu-datu
    Cuma satu.
     BALADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO
    (WS Rendra)
    Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
    Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
    Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu

    BalasHapus
  15. Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
    Segenap warga desa mengepung hutan itu
    Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
    Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
    Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri
    Satu demi satu yang maju terhadap darahnya
    Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
    ---Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
    Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
    Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
    Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
    Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
    Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.
    ---Joko Pandan! Di mana ia!
    Hanya padanya seorang kukandung dosa.
    Bedah perutnya atapi masih setan ia
    Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
    Joko Pandan! Di manakah ia!
    Hanya padanya seorang kukandung dosa.
    Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
    Segala menyibak bagi reapnya kuda hitam
    Ridla dada bagi derinya dendam yang tiba.
    Pada langkah pertama keduanya sama baja.
    Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
    Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
    Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
    Pesta abulan, sorak sorai, anggur darah
    Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
    Ia telah membunuh bapanya.

    BalasHapus
  16. DWI RETNO AYU W
    2102408088

    PUISI GATOLOCO KARYA GOENAWAN MOHAMAD:
    ANALISIS SEMIOTIKA RIFFATERRE DAN INTERTEKSTUAL
    1. Latar Belakang
    Sebagai salah satu genre karya sastra, puisi tidak hanya merangkai kata. Menurut Hutagalung (1973: 11), puisi juga berguna untuk memahami pola kehidupan pada umumnya. Dengan demikian, puisi menggambarkan keadaan jiwa manusia sekaligus menggambarkan segala aspek kehidupan manusia melalui ekspresi penyair.
    Pengalaman dan imaji merupakan dua elemen pokok dalam puisi (Hardjana, 1991: 45). Puisi berangkat dari imajinasi pengarang yang mencoba mengkaji kehidupan dan merespon masalah-masalah dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan suatu dinamika dan memungkinkan pergeseran nilai secara terus menerus sebagai suatu gejala perkembangan. Ditegaskan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi selalu berubah sesuai evolusi selera dan perubahan konsep estetik.
    Teeuw (1980: 12) juga mengemukakan, karya sastra selalu berada dalam pertentangan antara konvensi dan revolusi, antara yang baru dan yang lama. Demikian pula dengan puisi yang sepanjang zaman selalu mengalami perubahan sesuai konsep estetik pengarang dan respon penikmat (pembaca).
    Kelebihan puisi sebagai karya kreatif terletak pada pemadatan makna bahasa. Bahasa yang digunakan dalam puisi sangat berbeda dengan bentuk karya sastra lain, prosa dan drama. Bahasa puisi bukan hanya merupakan alat komunikasi, tetapi memberi makna lebih luas terhadap komunikasi tersebut dan hubungan antarmanusia.
    Bahasa karya sastra memiliki sifat ambigu, banyak makna, atau multitafsir. Waluyo (1987: 83) menyebutkan bahwa bahasa penyair adalah bahasa figuratif, bahasa yang memancarkan banyak makna. Sejalan dengan hal ini, Wellek (1989: 219) menyebutkan, makna puisi sangat kontekstual, tiap kata tidak hanya membawa makna kamus, tetapi juga membangkitkan kesadaran pembaca terhadap kata lain yang berkaitan dengan kata dan bunyi tersebut, turunan kata, kata yang bertentangan, atau bahkan kata yang tidak termasuk dalam jenis kata itu.
    Peraihan makna sebuah puisi tidak hanya bergantung pada peraihan makna denotatif, tetapi juga makna konotatif yang terdapat di dalamnya. Bukan tidak mungkin pembaca dihadapkan pada beberapa kemungkinan makna yang ada di balik simbol dan seperangkat tanda lain dalam sebuah puisi. Sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda, semiotika sangat diperlukan dalam usaha meraih makna sebuah karya sastra sebagai tindak lanjut pemahaman unsur formal struktur sebuah karya.
    Sebagai seorang penyair, Goenawan Mohamad (GM) selalu menampilkan persoalan-persoalan kehidupan dengan kata-kata yang sangat terpilih dalam karya puisinya. Gatoloco adalah satu puisinya dalam kumpulan puisi Interlude yang diterbutkan Yayasan Indonesia tahun 1973. Dalam Gatoloco, pembaca diajak lebur dan mempertanyakan kembali kedudukan manusia di dunia dan di mata Tuhan.
    Satu hal yang khas dan menarik dari GM adalah banyaknya karya yang diangkat dari karya-karya lama, baik mitos, legenda, maupun cerita rakyat. Demikian pula puisi Gatoloco ini. Judul puisi ini mengingatkan pada sebuah karya lama Balsafah Gatoloco karya Prawirataruna yang muncul pada awal abad 20-an.
    Karya lama ini (Balsafah Gatoloco), dari saat kemunculannya hingga saat ini, terdapat beberapa hal yang membuat orang masih memperdebatkannya. Tentang penulisnya, sementara ahli mengatakan bahwa ini adalah karya Ranggawarsita. Tentang isinya, banyak ulama yang menolak bahkan melarang untuk dibaca karena isinya yang memutarbalikkan hal-hal keislaman.
    Namun demikian, makalah ini hanya membahas sebatas hubungan puisi GM Gatoloco dengan Balsafah Gatoloco tulisan Prawirataruna. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan intertekstual yang terdapat antara keduanya.

    BalasHapus
  17. 2. Rumusan dan Batasan Masalah
    Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah wacana puitik puisi Gatoloco karya GM dalam kerangka semiotika Riffaterre dan hubungan intertekstual antara puisi Gatoloco tersebut dengan Balsafah Gatoloco karya Prawirataruna.
    Adapun permasalahan tersebut dibatasi pada elemen penciptaan makna (creating meaning) semiotika Riffaterre dan persamaan serta perbedaan yang menunjukkan hubungan intertekstual kedua objek.
    3. Landasan Teori
    Menurut Altenbernd, puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa merirama (bermetrum) (dalam Pradopo, 1993: 7). Menurut Goenawan Mohamad sendiri, puisi bersifat pasemon: berbicara dari hati ke hati hanya dengan menyajikan satu set “kenyataan”, seakan-akan sebuah perubahan wajah, atau sebuah kias, dengan cuma menghadirkan serangkaian benda-benda di luar atau di dalam kesadaran (Mohamad, 1993:123).
    Bahasa puisi menggunakan kata-kata khusus yang lain dari biasanya dan memiliki aturan tata bahasa sendiri yang biasa disebut bahasa puitik. Menurut Jakobson, bahasa puisi adalah diffentia specifica (kekhususan yang membedakan) dari jenis seni lainnya (dalam Sudjiman dan Zoest, 1992: 65).
    Bahasa sebagai medium karya sastra sebenarnya sudah merupakan sistem ketandaan atau semiotika, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Selain itu, karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasar pada konvensi masyarakat (sastra). Inilah yang membedakan karya sastra dengan karya seni lain (Pradopo: 1993:121-122).
    Riffaterre mengungkapkan bahwa puisi menyatakan sesuatu hal yang lain atau menyatakan sesuatu secara tidak langsung (1978:1). Ketidaklangsungan tersebut menurutnya disebabkan oleh tiga hal, yaitu pengantian arti (displacing), pemiuhan arti (distorting), dan penciptaan arti (creating meaning) (Riffaterre: 1978: 2).
    Displacing biasanya muncul dalam bentuk penggunaan kata-kata kiasan, seperti metafora dan metonimi. Distorting muncul dalam bentuk ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Sementara creating meaning muncul dalam bentuk visual dan tidak berhubungan dengan kebahasaan, seperti rima, enjambemen, tipografi, korespondensi, dan lain-lain.
    Karya sastra yang selalu berubah menyebabkan aspek kesejarahan tidak bisa lepas dari usaha pemahaman sebuah karya. Teeuw (1980: 11) menyatakan bahwa karya sastra tidak ditulis dalam situasi kekosongan budaya.
    Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra muncul oleh sebab adanya karya sebelumnya. Penyair mendapat gagasan menciptakan karya setelah melihat teks lain yang mungkin juga berupa penyerapan konvensi sastranya, estetikanya, ataupun pikirannya. Hasilnya, disertai gagasan-gagasannya, penyair melahirkan sebuah teks baru. Teks yang dijadikan bahan peresapan disebut hipogram. Hipogram ini dapat juga dianggap sebagai variasi teks (Riffaterre: 1978: 23).
    Pradopo menegaskan, sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya lain. Bahwa karya sastra bisa bersifat merubah, menambah, atau bahkan menyimpangi karya sebelumnya. Inilah prinsip intertekstualitas. Bahwa prinsip ini tidak mempersoalkan saduran atau turunan, melainkan setiap teks merupakan peresapan, penyerapan, dan transformasi teks lain (1993: 223-229).
    4. Penciptaan Arti (Creating Meaning) Puisi Gatoloco Karya GM
    Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitikan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak memiliki arti, tetapi menimbulkan makna tertentu dalam sajak. Jadi, penciptaan arti merupakan organisasi teks di luar kebahasaan (Riffaterre, 1978: 2).
    4.1 Enjambemen
    Ejambemen adalah pemutusan kalimat untuk diletakkan pada baris berikutnya. Pemutusan atau pelompatan kalimat ke baris berikutnya pada puisi ini berfungsi untuk membangun satuan kata atau kalimat yang mengandung suatu makna tertentu atau untuk memberi tekanan makna.
    a. Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku

    BalasHapus
  18. pada kaca almari itu.
    Bentuk / wajahku// pada kaca almari itu// mengalami pemenggalan utnuk mendapatkan efek intensitas. Makna yang muncul pada bentuk tersebut adalah penekanan arti bahwa sesungguhnya pemandangan yang dilihat tokoh sebenarnya adalah gambaran diri.
    b. Sesaat kudengar di luar gerimis kosong, sekejap
    lewat bukit yang kosong. Sesaat kudengar suaraku.
    Pemenggalan pada / sekejap // lewat … // memperlihatkan tekanan arti kalimat tersebut. Gambaran suasana hening yang hanya sesaat, mampu menyadarkan tokoh akan segala perbuatan dan kesombongannya di waktu lalu.
    c. “Tidak. Tapi pada kolong dan kakerlak, pada kitab
    dan kertas-kertas, …
    Pemenggalan pada bentuk di atas, memiliki tujuan tertentu. Bentuk di atas menekankan peristiwa yang hendak ditimpakan pada tokoh, yaitu tokoh hanya ditempatkan pada tempat yang hina dan sebagai bahan bacaan serta pelajaran bagi generasi mendatang.
    Bentuk enjambemen lain pada puisi ini adalah sebagai berikut.
    d. … Ternyata Kau tetap
    ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
    argumentasi.
    e. Kulihat memang garis-garis yang kuyup bertemu dengan
    garis-garis yang kuyup. Butir-butir yang miskin berkeramas
    dalam butir yang miskin.
    f. pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi
    pongah, dengan karcis dua jurusan.”
    g. Gusti, beranjaklah dari sini. Telah Kau semoohkan tangis
    pada mataku.
    Pada dasarnya, bentuk enjambemen memiliki maksud dan tujuan memberi penekanan pada kata atau kalimat yang dipenggal. Hal ini turut juga memberi penekanan pada makna yang terkandung di dalamnya.
    4.2 Tipografi
    Tipografi juga berperan dalam pembangunan makna puisi. Secara tipolografis, puisi dibangun dalam bentuk baris dan bait. Puisi Gatoloco ini, secara tipografis merupakan bentuk puisi modern yang tidak lagi terikat oleh peraturan jumlah baris dan bait.
    Bentuk enjambemen yang muncul dalam puisi ini menunjukkan adanya penekanan pada bagian-bagian tertentu. Baris dan kalimat yang dipenggal tersebut juga turut memudahkan pembaca meraih makna serta mencapai kesatuan makna dalam satu kelompok kata pada tiap barisnya.
    Pemakaian huruf kapital dan kecil juga turut menunjukkan pembagian pembicaraan yang terstruktur. Huruf kapital di setiap awal bait dan awal kalimat memperlihatkan satu poin pembicaraan tertentu yang mengandung makna tertentu pula.
    Penggunaan tanda baca dalam puisi ini menunjukkan kesadaran penyair terhadap media yang digunakan, yaitu bahasa Indonesia. Kepatuhan penggunaan huruf dan tanda baca ini menunjukkan kedisiplinan penyair dalam memanfaatkan media bahasa.
    Fungsi tipografi ini bukan hanya sekadar untuk kepentingan visual saja. Tipografi juga digunakan untuk mengintensifkan dan menekankan makna serta rasa dalam kata yang dapat menimbulkan sugesti tinggi.
    4.3 Homolog (homologues)
    Homolog adalah kesejajaran atau keseimbangan arti antara bait dengan bait, baris dengan baris, atau antara baris dengan bait. Menurut Pradopo (1993: 220), kegunaan korespondensi adalah untuk menambah kegabusan sajak menggunakan perulangan susunan baris sajak pada baris lain.

    BalasHapus
  19. Sementara itu, Riffaterre (1978: 61) menyebut perulangan sebagai tanda gramatikan yang abstrak.

    Kulihat bekas hangus, tahi tikus.
    Kulihat mata kelelawar.
    Kulihat puntung separuh terbakar.
    Kulihat hitam kayu olehg lampu, …

    “Artinya dari kamar ini kau tak akan berangkat lagi.”
    Artinya dari kamar ini mungkin aku tak akan berangkat
    lagi.
    “Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku.”
    Aku tak bisa lagi memamerkan-Mu.
    “Tak bisa berkeliling, …
    Tak bisa berkeliling.
    Kutipan di atas menunjukkan kesejajaran dalam bentuk perulangan kata. Perulangan itu memiliki maksud menekankan makna yang terkandung di dalam baris-baris tersebut.
    Kesejajaran makna lainnya terdapat juga dalam penggunaan kata “celoteh”, “suaraku”, dan “kefasihanku”. Ketiganya menunjukkan arti yang sama, yaitu kepandaian, kecerdasan, dan pikiran-pikiran tokoh yang mengganggu dan menyesatkan.
    4.4 Perulangan Bunyi (Rima)
    Rima adalah perulangan bunyi dan salah satu sifat yang membedakan puisi dengan prosa (Riffaterre, 1978: 127). Bentuk perulangan bunyi yang berturut-turut dan menimbulkan orkestrasi bunyi yang indah itulah yang disebut rima. Rima dalam puisi Gatoloco ini berbentuk rima baris, rima bait, dan rima antarbait.
    a. Aku bangun dengan 7.000.000 sistim matahari
    bersatu pada suatu pagi.
    b. Beri aku es!

    Keringatku tetes.
    c. Kulihat bekas hangus, tahi tikus.
    d. Aku memang telah menyebut nama-Mu.
    e. Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku
    Kutipan-kutipan di atas, menunjukkan penggunaan perulangan bunyi atau rima. Rima akhir terdapat pada kutipan a di atas, yaitu perulangan bunyi /i/ di akhir baris. Bait lain yang menunjukkan rima akhir adalah bait 2, 3, 4, 9, 15, 18, 20, 21, 24, dan 25.
    Kutipan b menunjukkan rima antar bait, yaitu perulangan bunyi /e/ di akhir bait. Perulangan ini juga terdapat pada bait ke-5 baris kedua dengan bait ke-6 baris pertama.
    Kutipan c menunjukkan penggunaan rima tengah. Perulangan bunyi terdapat di tengah baris dengan akhir baris. Bentuk rima yang sama terdapat pula pada bait ke-3 baris kedua.
    Kutipan d menunjukkan perulangan bunyi konsonan yang disebut aliterasi, yaitu bunyi /m/. Sementara kutipan e menunjukkan perulangan bunyi konsonan yang disebut asonansi, yaitu bunyi /a/ dan /u/.
    Selain membangun unsur estetik sebuah puisi, rima juga turut membangun suasana puisi. Di samping itu, rima juga mendukung makna yang disampaikan penyair.
    5. Analisis Intertekstual
    Suatu karya sastra dapat dikatakan meneruskan tradisi sastra sebelumnya atau juga

    BalasHapus
  20. menyimpanginya, atau bahkan kedua-duanya. Hal ini mengingat bahwa karya sastra adalah karya kreatif yang menghendaki dan tidak bisa menghindar dari kebaruan.
    Menurut Riffaterre (1978: 11), sebuah karya sastra dapat diraih maknanya secara penuh dalam hubungannya dengan karya lain yang menjadi latar penciptaannya. Menurutnya, karya yang melatari lahirnya karya baru disebut hipogram.
    Bagian ini membahas hubungan antara puisi Gatoloco karya GM dengan Balsafah Gatoloco karya Prawirataruna. Analisis perbandingan ini terlebih dahulu menemukan persamaan dan perbedaan yang prinsipil dari kedua karya. Perbandingan ini bukan berarti menemukan kelebihan dan kekurangan masing-masing karya, tetapi untuk meraih makna yang lebih mendalam dan lebih lengkap.
    Balsafah Gatoloco adalah sebuah karya sastra Jawa yang berbentuk puisi. Puisi ini biasa ditembangkan menurut irama tertentu. Karya ini muncul pada sekitar awal abad ke-20. Di dalamnya diceritakan seorang laki-laki yang jelek rupa dan fisiknya mengembara sambil menyombongkan kepandaian dan ilmu yang dimilikinya. Tokoh yang bernama Gatoloco ini melakukan perdebatan dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren lain. Setelah berhasil mengalahkan lawannya dalam perdebatan (dalam hal ini kyai pemimpin pesantern) dia lalu menghina dan mengolok-oloknya. Hingga suatu saat dia memimpin sebuah pondok pesantren setelah mengalahkan pemimpin pesantren tersebut. Ia kembali mengembara dan bertemu pertapa wanita dengan empat muridnya yang juga dikalahkannya dalam berdebat ilmu. Pertapa wanita dan keempat muridnya akhirnya menjadi isterinya.
    Karya sastra lama ini mengungkapkan pelajaran mengenai hidup dan kehidupan, kesejatian Tuhan, dan kebenaran hidup manusia di dunia. Hal ini ditampilkan melalui dialog perdebatan antara Gatoloco dengan lawan-lawannya. Karya ini juga mencerminkan pertentangan pandangan antara golongan agama, golongan santri, dengan golongan tasawuf Jawa.
    5.1 Persamaan Balsafah Gatoloco dengan Gatoloco
    Persamaan yang tampak jelas antara kedua karya ini adalah judul yang sama. Di samping itu, meskipun puisi Gatoloco tidak secara jelas mengangkat nama tokohnya, tetapi dengan menarik hubungan kepada karya sebelumnya, Balsafah Gatoloco, dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh dalam kedua karya tersebut adalah sama Gatoloco.
    Kedua karya ini pada dasarnya juga mengangkat inti permasalahan yang sama. Keduanya menampilkan tema kesejatian Tuhan dan kedudukan manusia di dunia dan di hadapan Tuhannya. Bagian-bagian dalam kedua karya tersebut memperlihatkan hal tersebut.
    Oke. Kini aku mencoba mengerti. Ternyata Kau tetap
    ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
    argumentasi.
    dene Kang Maha Mulya
    sipat murah puniku kagunganipun
    nanging kabeh sipat samar
    ora kena tinon lair
    Diterjemahkan:
    Tuhan Yang Maha Mulia itu bersifat Pemurah.
    Tetapi segala tentang-Nya adalah rahasia yang tak dapat dilihat mata
    Kutipan di atas menunjukkan pokok pikiran yang sama. Sifat Tuhan yang serba rahasia. Sifat Tuhan yang tak dapat dilihat mata lahir maupun digali hanya dengan pikiran rasional manusia.
    Kulihat memang garis-garis yang kuyup bertemu dengan
    garis-garis yang kuyup. Butir-butir yang miskin berkeramas
    dalam butir yang miskin.
    Wus pinesthi mring Hyang Widdhi
    tan kena ingowahana

    BalasHapus
  21. pepesthene dhewe-dhewe
    mulane becik narima
    aywa katungkul sira
    urip iku bakal lampus
    aneng dunya ngelingana
    Diterjemahkan:
    Telah menjadi takdir Tuhan. Itu semua tidak bisa diubah.
    Maka baik kau terima dan jangan terlena.
    Hidup akan menuju mati, hingga ingatlah semasa di dunia.
    Kutipan di atas menujukkan pula pokok pikiran yang sama. Manusia di dunia telah mengemban tugas dan kewajiban masing-masing. Kedudukan manusia di hadapan Tuhan adalah sebagai makhluk-Nya yang kecil. Usaha yang dilakukan manusia pada akhirnya ditentukan oleh Tuhannya.
    Dari segi isinya, kedua karya ini adalah bentuk kritikan dan kecaman terhadap keadaan atau peristiwa pertentangan pandangan antara kaum agama dengan kaum tasawuf (sufi). Dalam Balsafah Gatoloco, perdebatan antara tokoh Gatoloco dengan lawannya memperlihatkan hal itu. Namun, dalam puisi Gatoloco hal ini muncul dalam bentuk baris.
    Aku memang bukan santri, bukan pula ahli.
    “Mengapa kau kini persoalkan perkara itu lagi?”
    Penyair seolah berpendapat, pertentangan tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi. Derajat dan kedudukan manusia bagi Tuhan bukanlah urusan manusia yang hanya makhluk.
    5.2 Perbedaan Balsafah Gatoloco dengan Gatoloco
    Perbedaan yang menonjul antara keduanya, adalah bentuk dan bahasa. Balsafah Gatoloco adalah karya sastra Jawa berbahasa Jawa dan berbentuk puisi yang ditembangkan dengan aturan irama tertentu. Tipografi Balsafah Gatoloco adalah tipografi bentuk sastra Jawa lama yang masih terikat jumlah baris, jumlah bait, dan rima (guru lagu dan guru wilangan). Sementara itu, Gatoloco karya GM adalah bentuk karya sastra Indonesia modern yang berbahasa Indonesia dan memiliki tipografi sebagai puisi baru yang tidak lagi terikat aturan jumlah baris, jumlah bait, dan rima.
    Dilihat dari panjang teks, Balsafah Gatoloco memiliki volume yang lebih besar dari puisi Gatoloco. Puisi Gatoloco memiliki 28 bait yang terdiri atas 70 baris, sedangkan Balsafah Gatoloco mengandung 11 pupuh (bagian cerita) yang terdiri atas 3 pupuh Kinanthi, 2 pupuh Sinom dan Dhandhanggula, serta masing-masing satu pupuh Pangkur, Gambuh, Asmaradana, dan Mijil.
    Dengan volume yang besar ini, Balsafah Gatoloco menampilkan cerita dan tema yang lebih rinci dan lengkap. Karya ini menampilkan tokoh lain yang turut mendukung tema cerita, antara lain Kyai Hasan Besari, pimpinan Pondok Cepekan yang akhirnya jatuh ke tangan Gatoloco, dan Retna Dewi Lupitwati, pertapa di Gunung Endragiri yang akhirnya diperisteri Gatoloco.
    Dalam puisi Gatoloco, penyair tidak menampilkan perjalanan Gatoloco. GM menampilkan keadaan tokoh yang telah menyadari kesalahannya. Digambarkan Tuhan datang menegurnya. Dialog Gatoloco dengan Tuhan inilah yang ditampilkan oleh penyair.
    Boleh dikatakan bahwa puisi Gatoloco merupakan gambaran peristiwa yang terjadi setelah perjalanan yang dilakukan tokoh dalam Balsafah Gatoloco. Tuhan datang menegur tokoh yang telah menyombongkan pengetahuannya dengan mendebat tokoh-tokoh agama. Dengan kata lain, puisi Gatoloco adalah salah satu bentuk tanggapan terhadap karya Balsafah Gatoloco.
    Bentuk ‘aku’, ‘Aku’, dan ‘Kau’ dalam puisi Gatoloco menunjukkan keuniversalan pokok permasalahan yang diangkat penyair. Penyair menyadari bahwa persoalan hubungan manusia dengan Tuhannya bukanlah persoalan individu, tetapi persoalan semua manusia di dunia.
    Persamaan dan perbedaan kedua karya tersebut di atas menunjukkan penerusan sekaligus penyimpangan terhadap karya yang sebelumnya muncul. Namun demikian, kebaruan yang muncul pada karya yang kemudian tidaklah menyimpang dari konvensi masyarakat sebelumnya dan sekarang. Hal ini terlihat pada penyimpangan yang muncul hanya terbatas pada bentuk formal karya sementara gagasan dan persoalan yang diangkat tetap sama

    BalasHapus
  22. 6. Penutup
    Puisi selalu berubah sesuai evolusi selera dan perubahan konsep estetik (Riffaterre, 1978: 1). Perubahan sebuah karya sastra ini oleh karena sastra yang selalu dalam ketegangan antara konvensi lama dengan semangat kebaruan.
    Namun demikian, segala kebaruan yang muncul dalam sebuah karya sastra tidaklah bersifat mutlak penyimpangan. Di dalam penyimpangan sebuah karya terhadap karya pendahulunya, selalu terdapat penerusan atau tanggapan yang pada akhirnya dibutuhkan pemahaman terhadap masing-masing karya untuk memahami kebaruan tersebut secara lebih mendalam.
    Tradisi bukanlah suatu benda mati. Seharusnya ia adalah sesuatu yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kehidupan. Tradisi diciptakan oleh manusia untuk kepentingan hidup dan bekerja (Rendra, 1983: 6). Karya sastra sebagai salah satu hasil tradisi memang harus dituntut untuk berkembang sesuai tuntutan hidup manusia.

    GATOLOCO
    Aku bangun dengan 7.000.000 sistim matahari
    bersatu pada suatu pagi.
    Beri aku es! Teriakku.
    Tiba-tiba kulihat Kau di sudut itu.
    Keringatku tetes. Gusti, apakah yang telah terjadi?
    “Tak ada yang terjadi. Aku datang kemari.”
    Memang kamar seperti dulu kembali.
    Kulihat kusam sawang pada kisi-kisi.
    Kulihat bekas hangus, tahi tikus.
    Kulihat mata kelelawar.
    Kulihat puntung separuh terbakar.
    Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku
    pada kaca almari itu.
    Tapi di luar tak ada angin, hanya awan lain.
    Tak ada getar, hanya gerak. Tak ada warna,
    hanya cahaya. Tak ada kontras, hanya …
    “Jangan cemas,” gurau-Mu. “Aku tak ‘kan menembakkan pistol
    ke pelipismu yang tolol.”
    Tapi Kau datang kemari untuk menggugatku.
    “Jadi kau tahu Aku datang untuk menggugatmu.”
    Mimpikah aku? Mengapa tak tenang tempurung kepala
    oleh celoteh itu?
    “Celoteh dan cerewetmu!” tiba-tiba Kau menudingku.
    Sesaat kudengar di luar gerimis kosong, sekejap
    lewat bukit yang kosong. Sesaat kudengar suaraku.
    Ah, kefasihanku. Tiba-tiba aku membenci itu.
    Aku memang telah menyebut nama-Mu.
    “Kau tak menyebut nama-Ku, kau menyebut namamu.”
    Makin suram kini suara-Mu.
    Hei, berangkatlah dari sini! Aku tahu ini hanya mimpi!
    “Tidak. Ini bukan mimpi.”

    BalasHapus
  23. Kalau begitu inilah upacara-Mu.
    “Benar, inilah upacara-Ku.”
    Ya, barangkali aku telah tak peduli selama ini.
    Tapi apakah yang Kau kehendaki? Mengembalikan posisiku
    pada debu, kembali?
    “Tidak. Tapi pada kolong dan kakerlak, pad kitab
    dan kertas-kertas dan kepinding yang mati setiap pagi hari.
    Padamu sendiri.”
    Kini aku tahu. Aku milik-Mu.
    “Dan Aku bukan milikmu.”
    Aku memang bukan santri, bukan pula ahli.
    “Mengapa kau kini persoalkan perkara itu lagi?
    Kau hanya pandai untuk tak mengerti.”
    Oke. Kini aku mencoba untuk mengerti. Ternyata Kau tetap
    ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
    argumentasi. Tapi mengapa Kau tetap di sini?
    “Sebab Kulihat matamu basah dan sarat.”
    Ah, begitukan yang Kau lihat?
    Kulihat memang garis-garis yang kuyup bertemu dengan
    garis-garis yang kuyup. Butir-butir yang miskin berkeramas
    dalam butir yang miskin. Ada baris-baris buram,
    seolah kelam terkena oleh bulan.
    Dan kurasa angin terjirat. Kudengar hujan yang gagal.
    Langit berat. Dan panas lembab dalam ruang yang sengal.
    “Agaknya telah sampai batasmu.”
    Aku tahu.
    “Artinya dari kamar ini kau tak akan berangkat lagi.”
    Artinya dari kamar ini mungkin aku tak akan berangkat lagi.
    “Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku.”
    Aku tak bisa lagi memamerkan-Mu.
    Tak bisa berkeliling, seperti penjual obat, seperti pendebat.”
    Tak bisa lagi berkeliling.
    “Tak bisa lagi bersuara tengkar dari seminar ke seminar,
    memenangkan-Ku, seperti seorang pengacara. Sebab kau hanya
    pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi
    pongah, dengan karcis dua jurusan.
    Sebab aku hanya seorang turis, tak lebih dari itu?
    Gusti, beranjaklah dari sini. Telah Kau cemoohkan tangis
    pada mataku.
    1973

    BalasHapus
  24. indra purnamasari (2102408096)8 Maret 2010 pukul 19.54

    Hakikat Puisi
    Sebuah puisi modern tetap dapat disebut sebagaipuisi ternyata bukan karena bentuknya, tetapi lebih cenderung karena ada hakikat puisi yang terkandung didalamnya. Waluyo (1991: 140) berpendapayt bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan perasaan penyair secara imajinatif. Wujud karya sastra tersebut muncul karena puisi merupakan karya seni yang puitis. Dikatakan puitis karena membangkitkan perasaan, menarik perhatian, bahkan memancing timbulnnya tanggapan pembaca.
    Sejalan dengan pendapat diatas, Ahmad (dalam Pradopo, 2005: 5) mengemukakan bahwa unsure-unsur puisi dapat disatukan sehingga dapat diketahui beberapa unsure berupa emosi,imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan, pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwaada tiga unsure pokok yang terdapat dalam puisi, yaitu (1) pemikiran ide, (2) bentuk, dan (3) kesan.
    Unsur-unsur Pembentuk Puisi
    Diksi
    Diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yng bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa dan khalayak pembaca atau pendengar ( Suroto, 1989: 112).

    Bunyi
    Dalam puisi bunyi bersifat estetik untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif (Prapodo, 2005: 22). Bunyi disamping hiasan dalam puisi juga mempunyai tugas untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
    Rima
    Rima adalah persamaan atau pengulanhan bunyi baik diawal larik atau diakhir larik. Didalamnya masih mengandung berbagai aspek yang meliputi, rima akhir, rima dalam, rima rupa, rima identik, rima sempurna, asonansi, dan aliterasi.
    Irama
    Irama adalah panduan bunyi yang menimbulkan efek musikalitas, baik berupa alunan keras-lunak, kuat-lemah, panjang-pendek, maupun tinggi-renah, yang kesemuanya dapat menimbulkan kemerduan bunyi, kesan suasana serta makna tertentu.

    BalasHapus
  25. indra purnamasari (2102408096)8 Maret 2010 pukul 19.57

    Ragam Bunyi
    Ragam bunyi meliputi bunyi eufoni , kakofoni, dan onomatope. Penggunaan kombinasi atau pengulangan bunyi vokal (a, I, u, e, o) dan sengau
    (m, n, ng, ny) menimbulkan efek yang merdu dan berirama (eufoni). Bunyi ini menimbulkan keriangan, vitalitas maupun gerak. Sebaliknya kombinasi bunyi yang tidak merdu dan terkesan parau (kakafoni) misalnya k, p, t, s, b, p, m terkesan berirama berat lebih cocok utuk menimbulkan kesan kekuatan, tekanan, kekecauan, kahancuran, galau, gelisah, dan amarah.
    Bahasa Puisi
    Bahasa merupakan sarana ekspresi dalam penulisan puisi (Pratiwi, 2005: 78). Bahasa kias menyebabkan puisi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup, dan terutamamenimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 2005: 54)
    Tipografi
    Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama (Jabrohim, 2004: 54). Penulis puisi membuat puisi dengan cara menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual (Aminudin, 2002: 146; Dermawan, 1999: 44)
    Isi Puisi
    Menurut Waluyo (2001: 65) isi puisi mencakup tema, perasaan penyair, nada, dan amanat.
    Tema adalah sesuatu yang menjadi pemikiran penulis puisi. Tema juga dapat dikatakan sebagai ide dasar suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna puisi.
    Nada adalah sikap penyair kepada pembaca. Penulis puisi bisa bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bisa jadi penulis puisi bersikap lugas, hanya menceritakan sesuatu lepada pembaca
    Imaji dan Simbol
    Dalam menulis sebuah puisi, biasanya penyair tidak hanya menggunakan kata-kata yang bermakna lugas atau denotatif, tatapi menggunakan kata-kata yang bermakna atau mengandung arti lain atau konotatif. Dalam hubungannya dengan arti konotatif, imaji dan simbol mempunyai hubungan. Persamaanya adalah bahwa baik citra maupun simbol bermakna konotatif. Adapun perbedaannya adalah terletak pada cara pengungkapannya.

    BalasHapus
  26. indra purnamasari (2102408096)8 Maret 2010 pukul 19.58

    Hakikat Apresiasi
    Secara etimologis, apresiasi berasal dari bahasa Inggris “appreciaton” kata itu berarti penghargaan, penilaian, pengertian, bentuk itu berasal dari kata verja “to appreciate” yang berarti menghargai, menilai, mengerti. Aminudin (1987: 34) mengemukakan bahwa apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Apresiasi dikembangkan dengan menumbuhkan sikap sungguh-sungguh dan melaksanakan kegiatan apresiasi sebagai bagian hidupnya dan sebagai statu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.
    Apresiasi dalam suatu karya mempunyai tingkatan. Waluyo (2002:45) membagi tingkatan apresiasi meliputi, (1) tingkat menggemari, (2) tingkat menikmati, (3) tingkat mereaksi, dan (4) tingkat produktif. Pada tingkat menggemari keterlibatan pembaca batinnya belum kuat. Pada tingkat menikmati, keterlibatan batin pembaca terhadap karya sastra sudah semakin mendalam. Pada tingkat mereaksi, sikap kiritis terhadap karya sastra semakin menonjol karena ia mampu menafsirkan dengan seksama dan ia mampu menyatakan keindahan dan menunjukkan dimana letal keindahan itu. Pada tingkat produktif, apresiator puisi mampu menghasilkan, mengkritik, menghasilkan, mendeklamasikan, atau membuat resensi terhadap puisi secara tertulis.
    Untuk melakukan apresiasi khususnya apresiasi puisi, pemahaman mendalam tentang apresiasi puisi memang perlu dilakukan. Agar tidak salah dalam melakukan apresiasi puisi, konsep apresiasi perlu dipahami dengan cermat.
    Apresiasi puisi terkait dengan sejumlah aktivitas yang berhubungan dengan puisi. Aktivitas yang dimaksud dapat berupa kegiatan membaca dan mendengarkan pembacaan puisi melalui penghayatan sungguh-sungguh (Waluyo, 2003: 19). Apresiasi merupakan pengalaman liaría dan batiniah yang kompleks (Ichsan, 1990: 10). Apresiasi seseorang terhadap puisi dapat dikembangkan dari tingkat sederhana ke tingkat yang tinggi. Apresiasi tingkat pertama terjadi apabila seseorang memahami atau merasakan pengalaman yang ada dalam sebuah puisi. Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual pembaca bekerja lebih giat. Apresiasi tingkat tiga, pembaca menyadari hubungan kerja sastra denagn sunia luarnya, sehingga pemahamannya pun lebih luas dan mendalam.
    Apresiasi puisi berkaitan dengan kegiatan yang ada sankut pautnya dengan puisi, yaitu mendengar atau membaca puisi dengan penghayatan yang sungguh-sungguh, menulis puisi, dan mendeklamasikan. Kegiatan ini menyebabkan seseorang memahami puisi secara mendalam, merasakan apa yang ditulis penyair, mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung didalam puisi, dan menghargai puisi sebagai karya sastra seni keindahan dan kelemahan.
    Kegiatan apresiasi puisi tidak dapat dilepaskan dari pemahaman struktur teks puisi. Kegiatan mengapresiasi puisi dapat dilakukan dengan memahami struktur teks yang membangun puisi. Dengan demikian, untuk mengenal, memahami, dan menghargai puisi, dapat dilakukan dengan mengenal struktur bagian puisi tersebut, baik menyangkut unsur isi maupun bentuk

    BalasHapus
  27. indra purnamasari (2102408096)8 Maret 2010 pukul 20.11

    Pendekatan Apresiasi Puisi
    Pendekatan dalam suatu karya sastra meliputi (1) pendekatan mimetik, (2) pendekatan pragmatik, (3) pendekatan ekspresif, (4) dan pendekatan objektif (Abrams, 1976: 8-29). Pedekatan mimetik merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada pengarang yang menciptakan karya sastra dengan meniru peristiwa yang ada disekitarnya. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitik beratkan pada karya sastra yang memiliki unsur-unsur tertentu yang diciptakan pengarang untuk mempengaruhi respon pembaca. Pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada pengekspresian luapan perasaan pengarang yang dituangkan dalam karya sastra. Sedangkan pendekatan objektif menitik beratkan pada unsur karya sastra yang diciptakan berdasarkan kenyataan atau realita atau objek tertentu.

    BalasHapus
  28. Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi


    Pendekatan sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan seseorang ketika mengapresisikan puisi dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan ditentukan oleh tujuan dan apa yang akan diapresiasikan lewat teks sastra yang dibacanya.

    Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan di bawah ini:

    - Pendekatan Parafrasis

    Pendekatan parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.

    - Pendekatan Emotif

    Pendekatan emotif dalam apresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang menyentuh emosi atau perasaan pembaca. Prinsip dasar yang melatarbelakanginya adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan.

    - Pendekatan Analitis

    Pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan, sikap pengarang, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen itu sehingga mampu membangun keselarasan dari kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

    - Pendekatan Sosio Psikologis

    Pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, masyarakat maupun tanggapan kejiwaan pengarang terhadap lingkungan kehidupannya pada saat cipta sastra diwujudkan.

    - Pendekatan Historis

    Pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca serta tentang b agaiman perkembangankehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri dari jaman ke jaman.

    - Pendekatan Didaktis

    Pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, evaluatif, maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Penerapan pendekatan ini menurut daya intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya.

    Dalam pelaksanaannya keenam pendekatan di atas umumnya digunakan secara enklitik(salingberkaitan) tujuannya agar pembaca tidak merasa bosan dan sesuai dengan kompleksitas aspek maupun keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri.

    BalasHapus
  29. Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi


    Pendekatan sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan seseorang ketika mengapresisikan puisi dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan ditentukan oleh tujuan dan apa yang akan diapresiasikan lewat teks sastra yang dibacanya.

    Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan di bawah ini:

    - Pendekatan Parafrasis

    Pendekatan parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.

    - Pendekatan Emotif

    Pendekatan emotif dalam apresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang menyentuh emosi atau perasaan pembaca. Prinsip dasar yang melatarbelakanginya adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan.

    - Pendekatan Analitis

    Pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan, sikap pengarang, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen itu sehingga mampu membangun keselarasan dari kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

    - Pendekatan Sosio Psikologis

    Pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, masyarakat maupun tanggapan kejiwaan pengarang terhadap lingkungan kehidupannya pada saat cipta sastra diwujudkan.

    - Pendekatan Historis

    Pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca serta tentang b agaiman perkembangankehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri dari jaman ke jaman.

    - Pendekatan Didaktis

    Pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, evaluatif, maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Penerapan pendekatan ini menurut daya intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya.

    Dalam pelaksanaannya keenam pendekatan di atas umumnya digunakan secara enklitik(salingberkaitan) tujuannya agar pembaca tidak merasa bosan dan sesuai dengan kompleksitas aspek maupun keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri.

    BalasHapus
  30. Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi

    Pendekatan sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan seseorang ketika mengapresisikan puisi dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan ditentukan oleh tujuan dan apa yang akan diapresiasikan lewat teks sastra yang dibacanya.
    Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan di bawah ini:

    Pendekatan Parafrasis
    Pendekatan parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.

    Pendekatan Emotif
    Pendekatan emotif dalam apresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang menyentuh emosi atau perasaan pembaca. Prinsip dasar yang melatarbelakanginya adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan.

    Pendekatan Analitis
    Pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan, sikap pengarang, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen itu sehingga mampu membangun keselarasan dari kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

    Pendekatan Sosio Psikologis
    Pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, masyarakat maupun tanggapan kejiwaan pengarang terhadap lingkungan kehidupannya pada saat cipta sastra diwujudkan.

    Pendekatan Historis
    Pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca serta tentang b agaiman perkembangankehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri dari jaman ke jaman.

    Pendekatan Didaktis
    Pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, evaluatif, maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Penerapan pendekatan ini menurut daya intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya.
    Dalam pelaksanaannya keenam pendekatan di atas umumnya digunakan secara enklitik(salingberkaitan) tujuannya agar pembaca tidak merasa bosan dan sesuai dengan kompleksitas aspek maupun keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri.

    BalasHapus
  31. Unsur-unsur Puisi
    Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik , bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut.
    Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.
    Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.
    Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.
    Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
    Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.
    Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik.
    Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut.
    (1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

    BalasHapus
  32. (2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
    (3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
    (4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
    Sedangkan struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.
    (1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
    (2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
    (3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
    (4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll, sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.


    (5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
    (6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

    BalasHapus
  33. Fahrul Mohamad Zein9 Maret 2010 pukul 06.27

    HAKIKAT PUISI, UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI

    HAKIKAT PUISI
    Sebuah puisi modern tetap dapat disebut sebagaipuisi ternyata bukan karena bentuknya, tetapi lebih cenderung karena ada hakikat puisi yang terkandung didalamnya. Waluyo (1991: 140) berpendapayt bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan perasaan penyair secara imajinatif. Wujud karya sastra tersebut muncul karena puisi merupakan karya seni yang puitis. Dikatakan puitis karena membangkitkan perasaan, menarik perhatian, bahkan memancing timbulnnya tanggapan pembaca.
    Sejalan dengan pendapat diatas, Ahmad (dalam Pradopo, 2005: 5) mengemukakan bahwa unsure-unsur puisi dapat disatukan sehingga dapat diketahui beberapa unsure berupa emosi,imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan, pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwaada tiga unsure pokok yang terdapat dalam puisi, yaitu (1) pemikiran ide, (2) bentuk, dan (3) kesan.
    UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
    I.Diksi
    Diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yng bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa dan khalayak pembaca atau pendengar ( Suroto, 1989: 112).

    II.Bunyi
    Dalam puisi bunyi bersifat estetik untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif (Prapodo, 2005: 22). Bunyi disamping hiasan dalam puisi juga mempunyai tugas untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
    III.Rima
    Rima adalah persamaan atau pengulanhan bunyi baik diawal larik atau diakhir larik. Didalamnya masih mengandung berbagai aspek yang meliputi, rima akhir, rima dalam, rima rupa, rima identik, rima sempurna, asonansi, dan aliterasi.
    IV.Irama
    Irama adalah panduan bunyi yang menimbulkan efek musikalitas, baik berupa alunan keras-lunak, kuat-lemah, panjang-pendek, maupun tinggi-renah, yang kesemuanya dapat menimbulkan kemerduan bunyi, kesan suasana serta makna tertentu.

    BalasHapus
  34. Fahrul Mohamad Zein9 Maret 2010 pukul 06.39

    RAGAM BUNYI
    Ragam bunyi meliputi bunyi eufoni , kakofoni, dan onomatope. Penggunaan kombinasi atau pengulangan bunyi vokal (a, I, u, e, o) dan sengau
    (m, n, ng, ny) menimbulkan efek yang merdu dan berirama (eufoni). Bunyi ini menimbulkan keriangan, vitalitas maupun gerak. Sebaliknya kombinasi bunyi yang tidak merdu dan terkesan parau (kakafoni) misalnya k, p, t, s, b, p, m terkesan berirama berat lebih cocok utuk menimbulkan kesan kekuatan, tekanan, kekecauan, kahancuran, galau, gelisah, dan amarah.
    BAHASA PUISI
    Bahasa merupakan sarana ekspresi dalam penulisan puisi (Pratiwi, 2005: 78). Bahasa kias menyebabkan puisi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup, dan terutamamenimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 2005: 54)
    TIPOGRAFI
    Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama (Jabrohim, 2004: 54). Penulis puisi membuat puisi dengan cara menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual (Aminudin, 2002: 146; Dermawan, 1999: 44)
    ISI PUISI
    Menurut Waluyo (2001: 65) isi puisi mencakup tema, perasaan penyair, nada, dan amanat.
    Tema adalah sesuatu yang menjadi pemikiran penulis puisi. Tema juga dapat dikatakan sebagai ide dasar suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna puisi.
    Nada adalah sikap penyair kepada pembaca. Penulis puisi bisa bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bisa jadi penulis puisi bersikap lugas, hanya menceritakan sesuatu lepada pembaca
    IMAJI DAN SIMBOL
    Dalam menulis sebuah puisi, biasanya penyair tidak hanya menggunakan kata-kata yang bermakna lugas atau denotatif, tatapi menggunakan kata-kata yang bermakna atau mengandung arti lain atau konotatif. Dalam hubungannya dengan arti konotatif, imaji dan simbol mempunyai hubungan. Persamaanya adalah bahwa baik citra maupun simbol bermakna konotatif. Adapun perbedaannya adalah terletak pada cara pengungkapannya.

    HAKIKAT APRESIASI
    Secara etimologis, apresiasi berasal dari bahasa Inggris “appreciaton” kata itu berarti penghargaan, penilaian, pengertian, bentuk itu berasal dari kata verja “to appreciate” yang berarti menghargai, menilai, mengerti. Aminudin (1987: 34) mengemukakan bahwa apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Apresiasi dikembangkan dengan menumbuhkan sikap sungguh-sungguh dan melaksanakan kegiatan apresiasi sebagai bagian hidupnya dan sebagai statu

    BalasHapus
  35. Fahrul Mohamad Zein9 Maret 2010 pukul 06.43

    kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.
    Apresiasi dalam suatu karya mempunyai tingkatan. Waluyo (2002:45) membagi tingkatan apresiasi meliputi, (1) tingkat menggemari, (2) tingkat menikmati, (3) tingkat mereaksi, dan (4) tingkat produktif. Pada tingkat menggemari keterlibatan pembaca batinnya belum kuat. Pada tingkat menikmati, keterlibatan batin pembaca terhadap karya sastra sudah semakin mendalam. Pada tingkat mereaksi, sikap kiritis terhadap karya sastra semakin menonjol karena ia mampu menafsirkan dengan seksama dan ia mampu menyatakan keindahan dan menunjukkan dimana letal keindahan itu. Pada tingkat produktif, apresiator puisi mampu menghasilkan, mengkritik, menghasilkan, mendeklamasikan, atau membuat resensi terhadap puisi secara tertulis.
    Untuk melakukan apresiasi khususnya apresiasi puisi, pemahaman mendalam tentang apresiasi puisi memang perlu dilakukan. Agar tidak salah dalam melakukan apresiasi puisi, konsep apresiasi perlu dipahami dengan cermat.
    Apresiasi puisi terkait dengan sejumlah aktivitas yang berhubungan dengan puisi. Aktivitas yang dimaksud dapat berupa kegiatan membaca dan mendengarkan pembacaan puisi melalui penghayatan sungguh-sungguh (Waluyo, 2003: 19). Apresiasi merupakan pengalaman liaría dan batiniah yang kompleks (Ichsan, 1990: 10). Apresiasi seseorang terhadap puisi dapat dikembangkan dari tingkat sederhana ke tingkat yang tinggi. Apresiasi tingkat pertama terjadi apabila seseorang memahami atau merasakan pengalaman yang ada dalam sebuah puisi. Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual pembaca bekerja lebih giat. Apresiasi tingkat tiga, pembaca menyadari hubungan kerja sastra denagn sunia luarnya, sehingga pemahamannya pun lebih luas dan mendalam.
    Apresiasi puisi berkaitan dengan kegiatan yang ada sankut pautnya dengan puisi, yaitu mendengar atau membaca puisi dengan penghayatan yang sungguh-sungguh, menulis puisi, dan mendeklamasikan. Kegiatan ini menyebabkan seseorang memahami puisi secara mendalam, merasakan apa yang ditulis penyair, mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung didalam puisi, dan menghargai puisi sebagai karya sastra seni keindahan dan kelemahan.
    Kegiatan apresiasi puisi tidak dapat dilepaskan dari pemahaman struktur teks puisi. Kegiatan mengapresiasi puisi dapat dilakukan dengan memahami struktur teks yang membangun puisi. Dengan demikian, untuk mengenal, memahami, dan menghargai puisi, dapat dilakukan dengan mengenal struktur bagian puisi tersebut, baik menyangkut unsur isi maupun bentuk
    PENDEKATAN APRESIASI PUISI

    Pendekatan dalam suatu karya sastra meliputi (1) pendekatan mimetik, (2) pendekatan pragmatik, (3) pendekatan ekspresif, (4) dan pendekatan objektif (Abrams, 1976: 8-29). Pedekatan mimetik merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada pengarang yang menciptakan karya sastra dengan meniru peristiwa yang ada disekitarnya. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitik beratkan pada karya sastra yang memiliki unsur-unsur tertentu yang diciptakan pengarang untuk mempengaruhi respon pembaca. Pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada pengekspresian luapan perasaan pengarang yang dituangkan dalam karya sastra. Sedangkan pendekatan objektif menitik beratkan pada unsur karya sastra yang diciptakan berdasarkan kenyataan atau realita atau objek tertentu.

    BalasHapus
  36. Nama : Pangestika Tuhu Kristanti
    NIM : 2102408126
    Rombel : 2
    Mata Kuliah : Pengkajian Puisi Jawa Modern
    Dosen Pengampu : Bpk. Yusro Edy Nugroho

    Teori-Teori untuk Memahami atau Mengapresiasi Geguritan

    I. Pengantar
    Pada mata kuliah Pengkajian Puisi Jawa Modern ini yang akan kita bedah atau kita serap (baca sesep) ilmunya adalah mengenai geguritan atau puisi yang menggunakan tembung-tembung bahasa Jawa. Sebelum kita masuk dalam teori sebagai alat untuk mengapresiasi atau memahami geguritan marilah kita pelajari, kita telisisk bersama apa sih yang dimaksug dengan geguritan itu, ada pesona apa dibalik kata geguritan itu. Layakkah geguritan menjadi salah satu karya sastra yang unik dan menjadi saalah satu aksen dalam pembelajaran bahasa Jawa.
    Geguritan berasal dari kata gurit yang artinya tulisan, komposisi khususnya puisi. Anggurit artinya menulis sesuatau, mengubah sesuatu (Mulder dan Robson, 1997:320). Dalam kamus Bali- Indonesia (Warsito, 1978:223), gurit artinya gubahan cerita yang berbentuk tembang (pupuh0. Geguritan itu adalah merupakan karya sastra yang dibangun oleh pupuh dan diikat oleh peraturan padalingsa. Yang mempunyai system konvensi sastra cukup ketat (Ganing, 2003:7). Sedangkan yang dimaksud dengan pupuh dan padalingsa, di mana padalingsa ini dapat menimbulkan melodi atau lagu yang lazim disebut dengan gending. Setiap pupuh mempunyai padalingsa sendiri-sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa geguritan adalah gubahan cerita yang berbentuk tembang diikat oleh padalingsa.
    Akan tetapi agaknya sangat munafik bila kita terus berkutat pada teori di atas. Seiring dengan berkembangnya sastra dan bahasa, yang dipandu oleh teknologi yang modern, geguritan seolah beralih wujud. Meskipun wujud yang lama tetap ada dan tetap dilestarikan sebagai budaya yang bernilai tinggi.
    Geguritan atau puisi jawa modern yang sekarang ini masuk menjadi salah satu bagian pada pendidikan bahasa dan sastra Jawa di sekolah-sekolah dasar bahkan menengah adalah suatu puisi jawa yang agaknya lebih bebas dan lebih besa mengepakkan sayap di dunia kreativitas. Sebab geguritan atau puisi jawa modern tidak terlalu terikat oleh aturan seperti pupuh-pupuh yang terdapat dalam cakepan tembang.
    Meskipun begitu untuk dapat memahami suatu geguritan (baca puisis jawa modern) diperlukan teori-teori yang tepat agar tidak salah tafsir yang berujung pada kesalahan pemahaman arti atau makna, dan berakibat fatal pada kelirunya pembacaan geguritan.

    BalasHapus
  37. PANGESTIKA TUHU KRISTANTI
    2102408126

    II. TEORI-TEORI UNTUK MENGAPRESIASI / MEMAHAMI GEGURITAN
    7. Teori Kaji Makna
    Teori ini hampir sama dengan memparafrasekan puisi. Sebelum kita berani dengan lantang untuk membacakan geguritan, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna yang terdapat dalam geguritan itu, baik makna kata perkata atau makna secara keseluruhan yang menjadi isis hati atau tujuan pengarang menulis geguritan. Dalam teori kaji makna ini kita harus mengetahui secara pasti makna kata-kata yang ada dalam geguritan tersebut, terlebih kata-kata yang kedengarannya asing dan jarang dipakai oleh masyarakat umum.
    Tak jarang pula kata-kata yang tertera mengandung suatu maksud tertentu yang berlainan dengan makna yang lazim, atau dengan kata lain bermakna konotasi. Sehingga kita juga harus bisa menelisik maksud yang sesungguhnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mengartikan kata-kata sukar lalu mencari makna secara global dari paduan kata-kata yang tertera pada tiap bait. Lalu memadukan makna di tiap-tiap bait menjadi satu kesatuan makna yang utuh. Setelah kita memahami makna yang terkandung dalam geguritan tersebut maka bisa dipastikan kita akan bisa mengapresiasi dan membacakannya dengan baik dan benar, selain itu tak kalah penting juga kita bisa membuat audiens mengerti dan bisa menggambarkan jan-jane apa to maksude geguritan kuwi.
    1. Teori imajinasi/ imajinatif/ membayangkan
    Yang dimaksud adalah kita membayangkan kata-kata atau tembung-tembung yang terdapat dalam bait-bait geguritan tersebut menjadi suatu suasana dengan setting tempat dan waktu yang tepat. Dengan cara ini kita akan lebih bisa merasakan isi geguritan itu dan lebih bisa membawa audiens untuk masuk dalam suasana yang kita bayangkan. Teori ini dilakukan setelah kita menguasai teori yang pertama.

    BalasHapus
  38. PANGESTIKA TUHU KRISTANTI
    2102408126

    2. Teori penjedaan
    Teori penjedaan bermakna pula teori pemberian jeda. Ada beberapa kata dalam geguritan yang memang harus mendapat perhatian khusus karena sifat keambiguannya. Salah satu solusinya adalah dengan pemberian jeda / pedhotan yang tepat agar tidak terjadi ambiguisitas/ kerancuan/ salah tafsir dan bahkan kesalahan dalam pemberian makna. Seperti misalnya dalam geguritan yang berjudul “Apa Isih Panggah” karya Ariestab Widya berikut ini.
    Apa Isih Panggah
    Kaanggit dening
    Ariesta Widya
    Dak urut dalan iki
    Cemara nglangak langit nyabet-nyabet
    Ndhadhah sing nyingget villa kuning
    Kepangan ing mangsa ketiga
    Ngrangkul bedhidhing dikanthi angin
    Sing nunjem ati nandhes balung

    Dak urut dalan iki
    Apa ing kene isih ana rasa kaya wingi uni
    Ing lambe, ing ati, ing pangangen lan ing panindak
    Apa wis ora pepasihan, marga ana gendhing anyar

    Dak urut dalan iki
    Iberan wis kelangan pencoklan
    Swarane wis ora ngrangin maneh
    Kejaba siji loro sing luput saka bedhile bocah kutha
    Banjur mung ngenteni wektu esuk lan sore

    Dak urut dalan iki
    Ati ketir-ketir kaya senthir ing gubug mangsa paceklik
    Bumi katresnanku, bumi katresnanku
    Digadhekake anak lanang

    Pada baris kedua bait pertama tertulis “cemara nglangak langit nyabet nyabet”. Dengan teori ini kita akan bisa memahami baris pada geguritan ini.
    Dengan penjedaan yang benar akan membuat kita bisa menangkap dengan jelas maksudnya.
    Bila dibacakan dengan jeda:
    Cemara nglangak//langit nyabet-nyabet
    Penjedaan ini kurang tepat karena langit tidak mungkin nyabet-nyabet cenara yang nglangak atau menghadap/ menegadah ke langit. Ketidakmungkinan ini terjadi karena kurang berterimanya penjedaan ini dengan alasan kekurang logisan makna.
    Akan lebih tepat bila penjedaannya seperti berikut:
    Cemara nglangak langit//nyabet-nyabet
    Dalm penjedaan ini terdapat makna bahwa cemara menengadah kelangit cemara ini di ibaratkan sebagai suatu benda yang nyabet-nyabet ke langit dikarenakan batang tubuhnya yang tinggi dan daunnya yang tajam menyerungat ke langit.
    Dari perbandingan di atas, maka bisa disimpulkan penjedaan yang benar berbanding lurus dengan pemahaman yang benar, demikian pula sebaliknya penjedaan yang salah bisa mengakibatkan pemahaman yang salah pula.
    3. Teori penelisikan simbol kata
    Simbol kata adalah suatu kata yang menggambarkan atau menyimbolkan sesuatu, jadi kata ini tidak bermakna yang sebenarnya karena memang sengaja dipilih oleh penyair untuk menggambarkan maksud tertentu. Maksud ini adalah maksud terselubung dan harus dipahami secara lebih mendalam.
    Contoh:
    Ora lila yen aku kelangan melati wangi kang wis mekar nunjem ing teleng batinku.
    Simbol kata melati wangi ini dipakai untuk menggambarkan atau menyimbolkan seorang wanita yang cantik jelita yang telah lama bersemayam mengisi hati penyair.
    4. Teori tanda bunyi
    Untuk memperoleh pengapreasian yang maksimal dari suatu geguritan, dapat dilakukan dengan mencermati setiap tangda bunyi yang ada dalam tiap baris geguritan. Karena tanda tersebut menyimpan makna tertentu. Seperti misalnya pada cuplikan baris geguritan “Apa Isih Panggah” yang berbunyi Apa wis ora pepasihan.
    Kalimat ini adalah merupakan kalimat yang harus diakhiri dengan tanda tanya karena ada kata apa. Kalimat ini berarti ingin tahu, halus, kalem.
    Demikian pula bila diakhiri dengan tanda seru akan bermakna keras, kasar, benci, marah dan harus dibacakan dengan nada tinggi.

    BalasHapus
  39. PANGESTIKA TUHU KRISTANTI
    2102408126

    5. Pengkajian Model Semiotik Puisi

    1. Analisis Aspek Sintaksis
    Puisi “Belajar Membaca” terdiri atas lima belas larik dan masing-masing larik terdiri atas dua sampai dengan delapan kata. Dengan melihat jumlah larik dan kata-katanya itu, kita dapat mengelompokkannya ke dalam puisi pendek. Kemudian, apabila memperhatikan kata-katanya lebih lanjut, kita akan mendapat kesan bahwa selain pendek puisi itu pun sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga kata yang diulang-ulang, yaitu kata kaki, luka, kaku. Yang lainnya adalah pronomina persona pertama (-ku-) dan persona kedua (kau-), partikel –kah, dan subordinatif kalau, yang juga mendapatkan pengulangan.
    Yang menarik dan perlu kita perhatikan dalam puisi itu adalah susunan frasa atau kata-katanya. Larik ke-2 (luka kakiku) merupakan pengulangan larik ke-1 (kakiku luka), akan tetapi dengan susunan terbalik (inversi), pembalikan susunan terdapat pula dalam larik ke-3 dan ke-4, larik ke-10 dan ke-11, dan larik ke-14 dan ke-15.
    Selain pembalikan, dalam puisi itupun terdapat penggabungan kata yang dilakukan tanpa jarak spasi. Menurut EYD (Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan) pronomina persona pertama (-ku-) dapat berlaku baik sebagai proklitika maupun enklitika; jadi apabila digabingkan dengan kata lain baik di depan maupun di belakangnya, tidak menjadi masalah (misalnya, pada larik ke-6: lukakukah). Akan tetapi, pronomina persona kedua (kau-) yang seharusnya hanya dapat berlaku sebagai proklitika, dalam puisi itu berlaku juga sebagai enklitika (larik ke-8: lukakaukah). Selain itu, kata luka dan kaku yang dalam larik ke-12 dipisahkan oleh spasi, dalam larik ke-14 dan ke-15 digabung tanpa spasi.
    Untuk memahami fenomena di atas, tampaknya kita perlu memahami terlebih dahulu setiap fungsi kata dalam puisi itu . Akan tetapi, penelaah fungsi kata hanya dapat dilakukan pada tataran kalimat. Pertanyaan kita kini, dapatkah setiap kata dalam puisi itu dianggap sebagai kalimat sehingga dengan demikian, kita dapat menghitung berapa jumlah kalimat yang terdapat dalam puisi itu? Dari segi formal, jelas kata-kata dalam puisi itu tidak memenuhi syarat penanda kalimat. Dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat harus dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru (Depdikbud, 1988:256).
    Walaupun demikian, usaha penentuan kalimat belumlah sampai kejalan buntu. Jalan masih ada karena kita sedang menghadapi teks sastra yang cenderung melakukan deotomatisasi atau defamiliarisasi terhadap bahasa komunikasi sehari-sehari. Selain itu, dalam bagian latar belakang telah disinggung bahwa puisi-puisi Sutardji bernuansa dengan mantra yang hakikatnya adalah sastra lisan. Tarik- menarik antara sastra tulis dan sastra lisan dalam puisi itu membuat kita perlu melihat juga ciri penanda kalimat dalam wujud lisan. Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda diakhiri oleh intonasi final, kemudian diikuti oleh kesenyapan (Depdikbud, 1988:254). Jika kita membaca dengan melisankan kata-kata yang ada dalam puisi itu akan terasalah bahwa sebenarnya susunan kata-katanya memiliki ciri penanda kalimat. Menurut hemat penulis, apabila kita merekonstruksi larik-larik puisi ke dalam bentuk kalimat, maka kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu terdiri atas 12 kalimat: 14 kalimat berita dan 8 kalimat tanya. Agar memudahkan kita untuk mengenali kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu, di bawah ini akan dikutip puisi “Belajar Membaca” setelah dibubuhi ciri penanda kalimat dalam wujud tulis dan kata-katanya dikembalikan pada susunan yang lazim sesuai dengan kaidah EYD.
    Praktik Pengkajian Puisi dengan Pendekatan Intertekstual Model Semiotik

    BalasHapus
  40. PANGESTIKA TUHU KRISTANTI
    2102408126

    Pada bagian berikut akan dipraktikkan salah satu pendekatan di atas, yaitu pendekatan intertekstual dengan model semiotik terhadap puisi Indonesia karya Sutardji Calzoum. Pemilihan puisi Sutardji berrdasarkan pertimbangan bahwa puisinya telah menjadi fenomena baru dalam perkembangan khazanah sastra Indonesia. Fenomena Baru itu tampak dari pengucapan puisinya yang bernuansa mantra. Sebagai puisi modern, puisi-puisi Sutardji tentu saja berwujud sastra tulis. Akan tetapi, untuk kepentingan pengucapan puisinya, Ia “menaburkan ruh” mantra, yang bersumber dari tradisi puisi lama atau sastra lisan. Sutardji sendiri menulis dalam kredo puisinya bahwa menulis puisi baginya adalah mengembalikan puisi pada mantra (1981 : 14).
    Karena seni hasil tradisi lisan tak dapat dipisahkan dari seni pertunjukan (Teeuw, 1994), pemaduan seni itu dengan seni modern yang tradisi tulis menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Misalnya, kita dapat melihat bahwa keutuhan puisi Sutardji akan tampak secara optimal ketika dibacakan secara lisan, khususnya oleh penyairnya sendiri. Akan tetapi, puisi bukanlah untuk penyairnya saja. Sebagai karya sastra, puisi boleh dibaca oleh siapa saja , yang demikian puisi dapat hadir dengan interpretasi yang berbeda-beda, bergantung pada pengalaman atau ground pembacanya. Karena puisi yang polyinterpretable itulah, pengarang tidak dapat menjadi penafsir tunggal bagi puisi-puisinya.
    Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menginterpretasikan salah satu puisi Sutardji yang berjudul “Belajar Membaca”. Akan tetapi, interpretasi penulis akan dipumpunkan pada wujud puisi sebagai sastra tulis. Meskipun demikian, potensi sastra lisan yang terdapat dalam puisi itu tidak akan diabaikan. Potensi itu akan disinggung juga sejauh menunjang pembahasan pada wujudnya sebagai sastra tulis.

    2. Teori Semiotika
    Tulisan ini akan menggunakan pendekatan semiotik; jadi, teori yang digunakan pun adalah teori semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, cara kerjanya, penggunaannya, dan apa yang kita lakukan dengannya ( Zaimar, 1990; Zoest, 1993 ).
    Pembahasan tentang tanda awalnya bersumber dari dua orang pakar semiotika, yaitu Charles Sanders Peirce (1839—1914) dan Ferdinand de Saussure (1857 – 1913). Kedua pakar itu meskipun sezaman, hidup ditempat yang berbeda dan bertolak dari ilmu yang berbeda pula. Dengan demikian, wajar saja apabila terminologi yang digunakan keduanya pun berbeda.
    Pierce bertolak dari filsafat atau logika dan menggunakan istilah semiotika sebagai padanan kata untuk logika. Menurut Pierce logika mempelajari cara bernalar dan sesuai dengan hipotesisnya, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Menurut pierce juga, berdasarkan hubungan tanda dengan acuan atau denotatumnya, tanda terbagi menjadi tiga : ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang terjadi karena hubungan kemiripan ( topologis, diagramatis, atau metaforis ). Indeks adalah tanda yang terjadi karena adanya kedekatan eksistensi, dan simbol adalah tanda yang terjadi karena hubungan yang bersifat konvensional (Zoest, 1993).
    Saussure bertolak dari linguistik. Menurutnya, bahasa haruslah dipelajari sebagai sistem tanda. Dia pun memikirkan nama untuk ilmu tanda yang ia beri nama semiologi. Dia memperkirakan bahwa semiologi, bila suatu saat hadir, akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda itu dan hukum atau kaidah apa saja yang mengaturnya. Linguistik hanyalah suatu bagian dari ilmu semiologi itu. Dengan demikian, hukum yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan juga pada linguistik (Saussure, 1988: 82-83). Menurutnya juga, tanda merupakan gabungan antara penanda dan petanda. Penanda adalah citra akustis sedangkan petanda adalah konsep. Penanda dan petanda merupakan dua unsur yang bersifat padu sehingga tidak dapat dipisahkan. Pemisahan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan analisis (Saussure, 1988:14).

    BalasHapus
  41. PANGESTIKA TUHU KRISTANTI
    2102408126

    Menurut Zaimar (1991), analisis semiotik terhadap karya sastra sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Langkah pertama adalah dengan menganalisis aspek sintaksis. Dalam puisi analisis aspek sintaksis dapat berupa analisis satuan linguistik. Adapun yang dijadikan pedoman analisis dalam tulisan ini adalah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman EYD. Langkah kedua adalah dengan menganalisis aspek semantik. Analisis aspek semantik dalam puisi dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, dan isotopi. Namun, tulisan ini akan memumpunkan perhatian pada isotopi untuk sampai pada penemuan motif dan tema puisi. Analisis isotopi akan berpedoman pada konsep Greimas (dalam Zaimar, 1991). Kemudian, langkah ketiga adalah analisis aspek paragmatik atau pengujaran. Pengujaran terlakasana dalam rangka komunikasi yang menuntut kehadiran pengirim (penutur/pencerita) dan penerima /pendengar/pembaca (Zaimar, 1990).

    Analisis Aspek Semantik
    Dalam menganalisis aspek semantik, pertama-tama akan dilakukan analisis komponen makna kata yang terdapat dalam puisi. Kemudian, analisis dilanjutkan dengan penemuan isotopi untuk sampai pada penemuan motif sehingga dengan demikian, tema puisi kemungkinkan besar dapat ditemukan.
    Setelah menelaah makna kata per kata yang ada dalam puisi ( dengan berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia ), maka didapatlah komponen makna berikut:

    kaki
    • anggota tubuh
    • bagian ( benda ) paling bawah
    • alat untuk berjalan

    luka
    • belah
    • pecah
    • cedera
    • menderita
    • lecet

    kaku
    • keras
    • kejang
    • cedera
    • berhentinya aktivitas

    belajar
    • berusaha
    • berlatih
    membaca
    • melihat
    • mengetahui
    • memahami
    • mengeja / melafalkan
    • mengucapkan
    • menduga / meramalkan

    Berdasarkan daftar di atas, kini kita dapat menemukan kelompok isotopi untuk setiap kata dalam puisi, yaitu isotopi manusia, isotopi kesakitan, dan isotopi usaha:

    Isotopi Manusia
    • kaki ( ku / kau ) ( 17 kali )
    • luka ( ku / kau ) ( 17 kali)
    • kaku ( 5 kali )
    • belajar
    • membaca

    Isotopi Kesakitan
    • luka ( 17 kali )
    • kaku ( 5 kali )

    Isotopi Usaha
    • belajar
    • membaca

    Baberdasarkan kelompok isotopi di atas, tampalah bahwa isotopi manusialah yang sangat menonjol, kemudian disusul berturut-turut oleh isotopi kesakitan dan isotopi usaha. Ketiga isotopi ini juga mendukung tiga motif, yaitu motif manusia, kesakitan, dan usaha. Berdasarkan motif-motif inilah kita sampai pada tema puisi, yaitu usaha manusia dalam merasakan kesakitan sesama manusia lainnya.

    BalasHapus
  42. PANGESTIKA TUHU KRISTANTI
    2102408126
    ROMBEL: 2

    3. Analisis Aspek Pragmatik
    Dalam puisi itu terdapat dua pronomina persona, yaitu aku dan kau. Pronomina persona itu dapat memberikan petunjuk kepada kita bahwa dalam puisi itu terdapat dua subjek komunikasi, yaitu si penutur dalam, dalam hal ini si aku lirik, dan si pendengar. Siapa yang diajak bicara, sulitlah untuk mengetahuinya sebab hanya disapa dengan kata kau. Yang menonjol adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh si aku lirik kepada kau. Akan tetapi, pertanyaan itu timbul setelah ada suatu kesadaran bahwa yang dijadikan pertanyaan itu adalah apa-apa yang terjadi dalam diri si aku lirik, misalnya kakiku luka kemudian kakikau lukakah, atau kakiku luka kaku kemudian luka kaku kakiku luka kaku kaki kaukah. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa si aku selalu ingin menyamakan apa yang dirasakan dirinya terhadap kau. Akan tetapi, dalam puisi itu kau hanya berperan sebagai pendengar saja, tanpa beraksi. Bahkan, akhir larik puisi pun berhenti dengan pertanyaan, luka kaku kaki kaukah luka kaku kakiku ?. Jadi, sampai akhir puisi, si aku lirik tidak atau belum yakin bahwa kau sebagai pendengarnya memiliki kesamaan dalam rasa (sakit).
    Dari analisis aspek sintaksis didapatkan bahwa pengulangan, kembalikan, penggabungan tanpa spasi, dan penambahan kompleksitas kalimat sangat dekat hubungannya dengan judul “Belajar Membaca”. Tipografi puisi pun merupakan ikon terhadap teks bacaan untuk anak-anak. Kemudian, dalam analisis aspek semantik di temukan tema puisi, yaitu usaha manusia dalam merasakan kesakitan sesama manusia lainnya. Akhirnya, dalam analisis pragmatik atau pengujaran, tampak antara penutur dan pendengar tidak atau belum terjalin hubungan komunikasi yang lancar.
    Berdasarkan uraian di atas, sampailah penulis pada sebuah interpretasi bahwa makna yang terdapat dalam puisi “Belajar Membaca” adalah usaha manusia dalam menyamakan rasa sakit terhadap manusia lainnya. Akan tetapi, usaha itu memang belum mencapai titik final sebab masih dalam taraf “belajar”.

    BalasHapus
  43. ayu irawati (2102408076)9 Maret 2010 pukul 18.46

    Apakah Puisi itu? Puisi termasuk salah satu genre sastra yang berisi ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang digunakan serta wujud puisi tersebut. Bahasanya mengandung rima, irama, dan kiasan. Wujud puisi dapat dilihat dari bentuknya yang berlarik membentuk bait, letak tertata, dan tidak mementingkan ejaan. Mengenal puisi dapat juga membedakan wujudnya dengan membandingkan dari prosa. Ada empat unsur yang merupakan hakikat puisi, yaitu: tema, perasaan penyair, nada puisi, serta amanat.
    Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
    Puisi lama lahir sebelum penjajahan Belanda dan masih murni berciri khas Melayu. Puisi lama terdiri dari: mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair.
    Puisi baru adalah puisi yang terpengaruh gaya bahasa Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septina, stanza, serta soneta.
    Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa kemerdekaan. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
    Berdasarkan cara pengungkapannya, dikenal adanya puisi kontemporer dan puisi konvensional. Yang tergolong puisi kontemporer yaitu: puisi mantra, puisi mbeling, serta puisi konkret. Selain itu berdasarkan keterbacaan yaitu tingkat kemudahan memaknainya, puisi terdiri dari puisi diafan, puisi prismatis, dan puisi gelap.
    Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi
    Pendekatan merupakan seperangkat asumsi dan prinsip yang berhubungan dengan sifat-sifat puisi. Pendekatan dalam mengapresiasi puisi terdiri dari pendekatan terhadap teks puisi serta pendekatan dalam membaca puisi.
    a. Pendekatan Parafrasis
    Sesuai hakikatnya, puisi mengunakan kata-kata yang padat. Oleh sebab itu, banyak puisi yang tidak mudah untuk dapat dipahami terutama oleh pembaca pemula. Ada pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan penyair dalam bentuk baru yaitu menyisipkan kata atau kelompok kata dengan tujuan memperjelas makna puisi tersebut. Pendekatan ini bertujuan menguraikan kata yang padat dan menkonkretkan yang bermakna kias.
    b. Pendekatan Emotif
    Pendekatan ini berupaya mengajak emosi atau perasaan pembaca, berkaitan dengan keindahan penyajian bentuk atau isi gagasan. Yang ingin diketahui pembaca adalah bagaimana penyair menampilkan keindahan tersebut. Pendekatan ini juga sering diterapkan untuk memahami puisi humor, satire, serta sarkastis.
    c. Pendekatan Analitis
    Cara memahami isi puisi melalui unsur intrinsik pembentuk puisi. Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung membangun puisi dari dalam karya itu sendiri. Unsur intrinsik puisi terdiri dari tema, amanat, nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, gaya bahasa, dan citraan.

    BalasHapus
  44. Pengertian dan Ciri-ciri Puisi

    Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung rima dan irama. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan membedakannya dari bentuk prosa.

    Jenis-jenis Puisi

    Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
    Puisi lama adalah puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda, sehingga belum tampak adanya pengaruh dari kebudayaan barat. Sifat masyarakat lama yang statis dan objektif, melahirkan bentuk puisi yang statis pula, yaitu sangat terikat pada aturan tertentu. Puisi lama terdiri dari mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair.
    Puisi baru adalah puisi yang muncul pada masa penjajahan Belanda, sehingga pada puisi baru tampak adanya pengaruh dari kebudayaan Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta soneta.
    Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa penjajahan Belanda. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.

    Analisis Unsur-unsur Intrinsik Puisi

    Untuk memahami makna sebuah puisi dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya, misalnya dengan mengkaji gaya bahasa dan bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan penyair mencakup (1) Gaya bunyi yang meliputi: asonansi, aliterasi, persajakan, efoni, dan kakofoni. (2) Gaya kata yang membahas tentang pengulangan kata dan diksi. (3) Gaya kalimat yang berisi gaya implisit dan gaya retorika. (4) Larik, dan (5) bahasa kiasan.
    Memahami puisi melalui bentuknya dapat dilakukan dengan menelaah tipografi, tanda baca, serta enjambemen. Untuk mempermudah dan memperjelas penganalisisan puisi, di depan setiap larik berilah bernomor urut. Apabila puisi yang hendak dianalisis tersebut memiliki beberapa bait, dapat pula diberi bernomor pada setiap baitnya.

    Penafsiran Puisi

    Agar dapat memahami isi puisi diawali dengan menelaah atau melakukan kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi yang bersama-sama membentuk suatu keutuhan isi puisi.
    Perhatikan jika terdapat hal-hal yang menarik perhatian, misalnya judul serta kekerapan kata. Banyaknya kata yang berulang dapat menggiring pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat bait yang mengandung sedikit lirik, biasanya di sanalah tertuang tema puisi.

    BalasHapus
  45. Seperti halnya pada judul yang juga dapat membayangkan tema. Tetapi ingat, judul belum tentu sama dengan tema.
    Mengetahui tema serta akulirik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam upaya memahami puisi.Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi

    Sebuah karya sastra mengandung unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik. Keterikatan yang erat antarunsur tersebut dinamakan struktur pembangun karya sastra.
    Unsur intrinsik ialah unsur yang secara langsung membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari luar karya sastra.
    Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan.
    Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi antara lain: unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsur kemasyarakatan.

    Judul : Layang Pangentasan
    Penulis : Suryanto Sastroatmodjo
    Jenis : Puisi (geguritan)
    Tebal : 106 hlm
    Tahun : 2003 (Desember)
    Penerbit : Komunitas Cantrik, Malang

    Orang Jawa pada masa kini sering beranggapan bahwa belajar, atau kalau ingin mengetahui sesuatu yang berkaitann dengan sastra Jawa, harus membaca sastra Jawa klasik. Memang, anggapan ini tidak keliru, tetapi tidak sepenuhnya benar. Sastra Jawa klasik sebagai rujukan kebudayaan Jawa adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, dalam sastra Jawa modern pun kita dapat belajar dan melacak nilai-nilai kehidupan (manusia) Jawa yang tetap abadi. Kita bisa menyimak Layang Pangentasan karya penggurit Suryanto Sastroatmodjo, sebuah buku antologi yang memajang sebanyak 85 judul puisi Jawa (geguritan). Apa yang dikatakan oleh Bonari Nabonenar (dalam pengantarnya) seperti sudah mewartakan penjelajahan dunia batin manusia Jawa yang dilakukan oleh pengguritnya, yang kemudian kita ikuti, kita susul, melalui guritan-guriannya di dalam antologi ini. Memang, Layang Pangentasan merupakan ungkapan “Kebatinan/Religiusitas-e Manungsa Suryanto Sastroatmodjo”.

    Penyair kelahiran Bojonegoro --sekarang bermukin di Yogyakarta-- ini berusaha menggali dan memaknai kembali beberapa aspek kebudayaan Jawa dalam visi manusia masa kini. Suatu usaha transformasional terhadap kebijaksanaan dan keluhuran kebudayaan Jawa yang patut dihormati. Keluhuran itulah yang sangat dominan muncul dalam tataran kebatinan Jawa (Kejawen). “Sesuatu” yang sekarang banyak dipelajari kembali oleh orang Jawa dari berbagai sudut karena menjadi “sesuatu” yang dapat memberikan alternatif dalam pencarian nilai bagi perjalanan hidup manusia Jawa.

    BalasHapus
  46. ayu irawati (2102408076)9 Maret 2010 pukul 18.48

    Citraan merupakan suatu gambaran mental atau suatu usaha yang dapat dilihat di dalam pikiran (Laurence, 1973). Citraan tersebut termuat dalam kata-kata yang dipakai penyair. Citraan atau imaji dibagi menjadi:
    1) Visual imagery
    2) Auditory imagery
    3) Smell imagery
    4)Tactile imagery
    d. Pendekatan Historis
    Unsur ekstrinsik dapat terdiri dari unsur biografi penyair yang turut mempengaruhi puisinya, unsur kesejarahan atau unsur historis yang menggambarkan keadaan zaman pada saat puisi tersebut diciptakan, masyarakat, dan lain-lain.
    e. Pendekatan Didaktis
    Pendekatan ini berupaya menemukan nilai-nilai pendidikan yang tertuang dalam puisi. Agar dapat menemukan gagasan tersebut, pembaca dituntut memiliki kemampuan intelektual dan kepekaan.
    f. Pendekatan Spsiopsikologis
    Berupaya memahami kehidupan sosial, budaya, serta kemasyarakatan yang tertuang dalam puisi. Puisi yang dapat dipahami menggunakan pendekatan sosiopsikologis serta pendekatan didaktis adalah puisi naratif.
    PERKEMBANGAN SASTRA JAWA MODERN (Upaya Menghindari Aversitas)

    Istilah sastra Jawa modern lebih memasyarakat atau sebagai cermin masyarakat hendaknya mebih berhati-hati dalam pemakaian. Sastra yang ditulis terlalu progresif sering tidak mendapat tempat di media massa. Sebaliknya, sastra yang "mineur" terus-menerus dapat membosankan dan akibatnya afinitas dapat berubah menjadi aversi.
    Sastra Jawa modern yang bersifat serius karena ditulis dengan visi yang sungguh-sungguh dapat memperlihatkan bobot intelektual penulisnya. Oleh karena itu sastra Jawa modern yang serius memiliki tanda-tanda memperlihatkan bobot intelektual penulisnya, menawarkan masalah yang bersifat eksperimental, menawarkan objek yang terpadu sesuai dengan polarisasi sosial yang menekankan pada makna pesan dan mampu mewujudkan bahasa yang puitik.
    PERANAN SASTRA JAWA TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA JAWA
    Pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa telah dilakukan sejak zaman sebelum Indonesia merdeka dan tetap berlangsung hingga sekarang. Hal ini dilakukan baik melalui jalur formal maupun informal.
    Pada awal kemerdekaan dan pada paruh pertama tahun lima puluhan, pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa secara formal tampak pada terbitnya buku-buku semacam Wulang Basa, Racikan Basa, Sinau Basa, dan sebagainya. Di bidang pembinaan dan pengembangan sastra, khususnya sastra Jawa modern, persuratkabaran Jawa sangat mendukung. Dalam majalah Bahasa Jawa termuat cerita bersambung, cerita pendek, puisi Jawa modern dan bahkan kritik dan esei sastra Jawa.

    BalasHapus
  47. Jika kita mencoba menelusuri relung-relung persoalan yang disajikan penyair ini, kita akan sampai pada suatu suasana yang spesifik Kejawen. Maksudnya, Suryanto Sastrosastroatmodjo berusaha menyajikan puisi-puisinya ini dalam suatu kawasan yang lebih marginal pada lingkup kebudayaan Jawa, yaitu masyarakat Jawa pedesaan. Selama ini, orang sering memandang berat sebelah, bahwa “kebudayaan Jawa” adalah “kebudayaan keraton”. Di luar itu, bukan kebudayaan (sesuatu yang dihasilkan dari pengolahan jiwa manusia di luar batas tembok keraton). Lewat geguritannya, penyair ini ingin menawarkan suatu ajakan agar pandangan yang “ajeg” namun cenderung keliru itu diluruskan sesuai dengan azasinya. Kita dapat melacak hal itu, misalnya, melalui geguritan yang berjudul “Meksa Kawanan”.

    MEKSA KAWANAN

    Kaya ngumyang sing kapireng ing sisihing rawuhmu
    kaslendhang rerangin kidung pangajaban ruruh
    tumuli den-atag ing swasana rengu, langkah rumembe
    ginatra dening tali-tali tangsuling sekti
    ah, apa gunane niba-tangi ing saben wektu
    kalamun rambah-rambahan ora mentas
    saka piyandel sing mungkasi bebendu, kadanglanang?
    Kareben sumber-mulya sing kapisan
    sinusul dening gunung-gemunung sigrak
    lan tembang kasilih saka ujure ajur-ajer
    winedhar saking lambung pangestu, kadanglanang!
    Mbokmanawa jejer kasutapan wingi
    ngurubi kekuwatan sing tau dadi ucap-ucap
    banjur milih laladan sing paling wiyar
    papan sumelehing badan sing ngunduri sepuh: wus ngrasuk

    kekadaran kang manjing tempuke pandumuk, kadanglanang!


    TETAP KESIANGAN

    Bagai mengigau yang terdengar di samping kedatanganmu
    terikat selendang kidung bersama angin mengajak temaram
    segera kau tanya dalam suasana ragu, langkah tumbuh
    diikat tali-tali ikatan sakti
    ah, apa guna jatuh bangun saban saat
    karena berulang tanpa bangkit
    dari percaya yang mungkasi aral, saudaralaki?
    Agar sumber kemulian pertama
    tersusul gunung-gemunung tegak
    dan tembang tersuling dari wujud ajur-ajer
    dibabar dari lambung pangestu, saudaralaki!
    Barangkali bersanding kasutapan lalu

    BalasHapus
  48. menyalakan kekuatan yang pernah terucap
    lalu milih kawasan paling luas
    papan tempat merebahkan badan di hari tua: tlah merasuk
    kepastian hanya berada pada pertemuan tujuan, saudaralak!

    Puisi ini terasa sangat berirama ketika menyampaikan gagasannya tentang kasutapan (hal-hal yang berkaitan dengan tapa brata), ajur-ajer (luluh menjadi satu tiada lagi ada perbedaan antara satu dan lainnya), dsb. Dan, hal itu (irama) mewarnai hampir keseluruhan puisi-puisi Jawa Suryanto Sastroarmodjo. Suasana yang ditimbulkan oleh suasana itu membuat kata atau kalimat yang dibangun oleh si penyair tidak lagi terletak pada gramatika. Suasana yang dibangkitkan oleh guritan-guritan dalam antologi ini telah mampu mentransformasikan irama tembang dalam pilihan kata yang melodius. Hal yang sama, dalam guritan Jawa, tidak mudah ditemukan di dalam puisi-puisi Jawa lainnya yang ditulis bukan oleh Suryanto. Inilah Suryanto, yang mencoba mengembara dalam laladan dunia Jawa masa kini berdasarkan elan vital dua masa yang menjadi satu tetapi perspektif baru.

    Layang Pangentasan menggambarkan bentuk-bentuk terbebas dari kemapanan bentuk tembang, tetapi dis sisi lain memperlihatkan kemapanan pada pilihan kata dan pola persajakannya semacam mantra. Suryanto adalah seorang berdarah bangsawan (bergelar Kanjeng Raden Tumenggung) yang berkarya di era modern. Guritan-guritan dalam antologi ini sebenarnya wujud guritan khas Jawa, dan ia amat suka bermain kata dan idiom-idiom yang langka atau juga ada yang arkhais. Kemampuan semacam ini dibangun tentu berdasarkan suatu pengalaman dan perjalanan yang lama dalam dunia budaya Jawa. Dan ini tidak aneh, karena Suryanto Sastroatmodjo telah lama menulis dalam sastra Jawa modern dalam tataran yang terus meluas.

    Di luar persoalan tersebut, yang patut diberi acungan jempol adalah keberanian dari penerbit dalam menerbitkan buku sastra Jawa, khususnya geguritan seperti ini. Dengan desain sampul yang dapat mewakili “semangat modern” dan lay out yang tertata baik, antologi ini tidak lagi sekedar menjadi buku Jawa yang sterotipe seperti yang sudah ada. Semangat untuk mengangkat Kejawen dalam bingkai sastra (seperti ini) barangkali memang lahir dari keinginan “luhur” bagi kelanjutkan sastra Jawa, dan tidak hanya sekedarnya saja. Banyak, sebenarnya, dari karya tulis penyair ini, baik dalam bentuk esai maupun drama bahasa Jawa dan Indonesia yang menarik untuk diterbitkan. Dari data-data itu, tak kalah menariknya sebagaimana Layang Pangentasan. (Dhanu Priyo Prabowo, Peminat sastra dan budaya Jawa)

    BalasHapus
  49. ayu irawati (2102408076) rombel 39 Maret 2010 pukul 18.50

    Di samping itu, untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan sastra Jawa modern sering diselenggarakan sayembara mengarang sastra Jawa, baik berupa cerita bersambung, cerita pendek, maupun puisi Jawa modern. Hasilnya dimuat dalam majalah yang bersangkutan.
    Di samping menyelenggarakan sayembara, majalah bahasa Jawa juga menyelenggarakan hadiah tahunan sastra Jawa. Agar sastra Jawa mempunyai pengaruh terhadap perkembangan bahasa Jawa, orang Jawa sendiri harus aktif mengembangkannya.
    INOVASI TEMBANG JAWA
    Tembang Jawa semula berfungsi sebagai sarana puji-pujian kepada roh nenek moyang dalam upacara keagamaan. Setelah melalui tahap-tahap dalam setiap kurun waktu mengalami perubahan fungsi. Dengan melewati beberapa periode Tembang Jawa menurut kondisinya terpisah menjadi dua model. Yang model I berupa tembang dengan syair bebas menjelma menjadi lagu (gending) dolanan.
    Model ke II berupa tembang bersyair terikat menjelma menjadi 3 jenis tembang, yaitu Tembang Gedhe, Tembang Tengahan, Tembang Macapat. Ke-3 tembang bersyair terikat tersebut yang paling digemari masyarakat adalah tembang Macapat. Hal ini disebabkan oleh kemudahan-kemudahan ikatan Macapat. Khususnya kalimat dalam syair, oleh masyarakat kemudahan itu terlihat dalam cipta-karyanya, di mana setiap pelakunya hampir semua bisa melakukannya.
    Kini mengalami kemerosotannya. Seolah-olah baru ditinggalkan oleh bapa-ibunya, karena sedang membangun negara demi kebahagiaan bersama termasuk untuk si dia ke-3 jenis tembang itu sendiri. Selama ditinggalkan, ia tetap mempertahankan identitas dengan inovasi-inovasinya.
    Dalam menginovasi, iapun selalu bersandar kepada era-era yang ada, khususnya dengan Bahasa Jawa yang sedang berlaku pada saat itu ia lakukan. Akhirnya dengan kondisi yang ada timbul kesadaran, bahwa bagaimanapun ua tidak boleh kecil hati, bahkan harus ikut ambil bagian dalam pembangunan rumah (negara)-nya.
    PERAN SASTRA JAWA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
    Sastra Jawa merupakan sarana pembentuk keindahan dan sarana pendidikan watak dan moral melalui daya sentuhnya yang halus dan kuat terhadap jiwa manusia. Karya sastra Jawa yang mengandung unsur didaktis biasanya secara eksplisit dinyatakan sebagai sastra wulang, ethics, moral. Sastra wulang meliputi tuntunan dalam bidang pemerintahan, agama, dan budi pekerti.
    Ajaran-ajaran tersebut ada yang dijalin dalam cerita dan ada pula yang yang dijalin dalam sastra noncerita. Kitab-kitab yang khusus memuat ajaran-ajaran yang tidak dijalin dalam cerita antara lain Wulangreh, Wulang Sunu, Wulang Dalem, Wedhatama, Tripama. Adapun pendidikan moral yang dijalin dalam dongeng antara lain Bayan Budiman, Serat Kancil, Dongeng Sato Kewan, Sastra Niti, misalnya berisi tuntunan bagi seorang raja; dalam Serat Tripama diajarkan teladan untuk prajurit; dalam Serat Wiro Isworo diajarkan tuntunan kepada wanita; dan dalam cerita Bayan Budiman diajarkan kesetiaan wanita kepada suaminya.

    BalasHapus
  50. Marliana Dyah C. (2102408075) ROMBEL 3
    Beberapa Model Interpretasi dan Pengkajian Teks Puisi
    1) Penggunaan Pendekatan Struktural dalam Pengkajian Puisi
    Puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks. Struktur yang dimaksud adalah susunan unsur-unsur yang memiliki sistem yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik. Hawkes dalam (Pradopo, 1995:108) menegaskan bahwa sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya dan saling berhubungan di antaranya dengan keseluruhannya. Pendekatan yang dianggap sesuai digunakan untuk menelaah hubungan antarunsur tersebut adalah pendekatan structural, sebuah pendekatan yang memandang teks sastra, khususnya puisi, sebagai suatu objek yang dibangun oleh berbagai unsur yang saling ber hubungan. Konsep dasar pendekatan struktural adalah sebagai berikut.
    Pertama, para pengamal pendekatan ini meletakkan karya sastra sebagai sebuah dunia yang mempunyai rangka dan bentuk tersendiri. Kedua, pendekatan struktural lebih menekankan aspek keberhasilan sebuah karya dari segi isi dan bentuk sebagai panduan. Kerja sama isi dengan bentuk merupakan kejayaan sebuah karya sastra. Ketiga, pendekatan ini melihat sebuah karya sastra berdasarkan komponen yang membina karya sastra sehingga interpretasi teks melalui pendekatan ini diharapkan dapat lebih objektif dan adil. Keempat, pendekatan struktural menilai sastra dari sudut karya dan aspek literasinya, bukan dari aspek lain di luar karya sastra. Kelima, pendekatan ini coba melihat perpaduan dan persesuaian antara isi dengan bentuk.
    Semi (1993:68) menjelaskan bahwa penggunaan pendekatan struktural dalam interpretasi sebuah teks hendaknya didahului dengan pembicaraan mengenai tema, baru kemudian dilanjutkan dengan komponen-komponen lain. Hal ini disebabkan tema merupakan komponen yang berada di tengah-tengah komponen yang lain. Mendahulukan pembicaraan tentang tema dapat memudahkan seorang interpreter dalam membicarakan komponen berikutnya. Berikut ini diberikan sebuah contoh sederhana telaah struktur puisi dengan menggunakan pendekatan structural, khususnya untuk telaah mikrotek, penelaahan puisi secara structural dengan focus pada satu unsur tertentu, dalam hal ini gaya bahasa.
    Perahu Kertas
    Sapardi Djoko Damono
    Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau
    layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu

    BalasHapus
  51. lanjutan marliana dyah cahyani........

    bergoyang menuju lautan.
    “Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki
    tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar
    warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-
    kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-
    mu itu.
    Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
    “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar
    dan kini terdampar di sebuah bukit.”
    Parafrase
    Berikut ini adalah parafrase bebas puisi “Perahu Kertas”.
    Sewaktu masih kecil kau lirik membuat perahu dari kertas. Perahu itu dilayarkan di tepi kali yang airnya sangat tenang. Angin menggoyangkan perahu itu, lalu membawanya hingga ke laut lepas. Seorang lelaki tua yang melihat perahu itu mengatakan bahwa perahu itu akan singgah di pelabuhan-pelabuhan besar dan ramai. Kau lirik sangat gembira mendengar berita itu. Dengan perasaan bahagia dan senang kau lirik pulang ke rumahnya. Sejak saat itu kau lirik selalu menunggu kabar tentang perahu yang selalu ada dalam ingatanya. Akhirnya kau lirik mendengar juga kabar dari seseorang yang sangat tua, Nuh, namanya. Kata lelaki tua itu, perahu itu sudah dipergunakan untuk menyelamatkan manusia dan makhluk hidup lainnya dalam sebuah banjir besar. Sekarang perahu itu terdampar di sebuah pulau.
    Pembahasan
    Masa kecil merupakan masa paling indah untuk dikenang. Di waktu kecil manusia melakukan sesuatu sesuai dengan hati nurani tanpa dipengaruhi oleh unsur lain. Semua dilakukan dengan penuh keikhlasan, kepolosan, dan kesucian . Ketika dewasa, setiap manusia pasti mengalami kerinduan akan masa kecil itu yang penuh dengan kegembiraan. Kerinduan akan masa kecil itu terlihat pada ungkapan /waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau/ layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu/ bergoyang menuju lautan/.

    BalasHapus
  52. Lanjutan marliana dyah cahyani..............

    Perahu kertas merupakan lambang dari pengabdian manusia kepada Tuhannya. Manusia melakukan sesuatu yang diperintahkan Tuhan, tetapi belum tentu semua yang dilakukan itu akan diterima Tuhan karena semua itu juga sangat tergantung pada niat. Ibarat sebuah perahu yang berlayar di lautan lepas, angin dan gelombang sangat menentukan sampai tidaknya perahu itu ke tujuan.
    Melalui tema ketuhanan ini Sapardi ingin menyampaikan bahwa pengabdian manusia kepada Tuhan atau sesama manusia haruslah seperti sikap seorang anak dalam puisi di atas, polos, iklas dan, suci. Pengabdian yang dilakukan haruslah dilandasi oleh niat yang suci, tulus dan iklas. Agar pengabdiannya sempurna, manusia juga harus membersihkan dirinya dari nafsu duniawi.
    Satu ciri khas Sapardi dalam menulis puisi ialah memasukkan kisah-kisah masa lampau atau cerita-cerita rakyat ke dalam puisi. Dalam Perahu Kertas kekhasan itu terlihat dari usaha Sapardi memasukkan kisah Nabi Nuh ketika menggunakan perahu untuk menyelamatkan umat manusia dari banjir besar sebagai latar puisi.
    Untuk membangun puisi ini, Sapardi menggunakan gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa ini terlihat pada ungkapan /…kau membuat perahu kertas dan kau/ layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu/ bergoyang menuju lautan/. Ungkapan itu sangat berlebihan karena tidak mungkin perahu yang terbuat kertas akan bisa sampai ke lautan. Perahu itu akan hancur sebelum sampai ke lautan. Ungkapan yang sangat berlebihan semakin terasa pada ungkapan berikutnya /”Ia akan singgah di bandar-bandar besar,”…/ dan /”Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar/ dan kini terdampar di sebuah bukit.” Ungkapan ini juga menunjukkan penggunaan gaya bahasa metafora. Melalui ungkapan itu Sapardi ingin membandingkan perahu kertas itu dengan perahu Nabi Nuh yang besar. Secara logika sangat tidak mungkin sebuah perahu kertas akan singgah di bandar-bandar besar dan bisa digunakan oleh Nabi Nuh untuk menyelamatkan umat manusia dalam banjir besar itu. Untuk membawa sebiji batu kecil saja perahu itu akan tenggelam, konon lagi mengangkut manusia.
    Dalam puisi di atas juga digunakan gaya bahasa alusi. Gaya bahasa alusi merupakan gaya bahasa yang berusaha mensugesti kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Dalam puisi di atas yang disugesti adalah kesamaan benda, perahu. Kisah tentang perahu Nabi Nuh ini sudah menjadi legenda bagi umat manusia. Ketika kisah perahu kertas dihubungkan dengan kisah Nabi nuh, maka orang pasti akan membayangkan peristiwa banjir besar yang dihadapi Nabi nuh dan umatnya.
    Gaya bahasa lain yang terdapat dalam puisi “Perahu Kertas” adalah metonomia. Metonomia ini terlihat pada ungkapan /…kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala/. Gambar gambar warna-warni di kepala itu untuk mempertegas kegembiraan si aku lirik.
    Hubungan Antarunsur

    BalasHapus
  53. lanjutan marliana dyah cahyani....

    Penggunaan gaya bahasa hiperbola dan alusi dalam puisi di atas oleh Sapardi terlihat hanya sebagai upaya untuk menghubungkan kisah perahu kertas itu dengan kisah Nabi Nuh. Sementara penggunaan metafora untuk menggambarkan bahwa pengabdian manusia kepada Tuhannya harus seperti seorang anak kecil ketika melepaskan perahu kertasnya. Pengabdian itu harus dilakukan secara tulus dan ikhlas, tanpa pretensi apa-apa. Ketulusan dan keihlasan itu kemudian dibandingkan pula dengan pengabdian yang dilakukan oleh Nabi Nuh saat menyelamatkan umat manusia dari bencana banjir besar. Hal ini juga didukung oleh penggunaan diksi dan simbol-simbol lain dalam puisi ini.
    Puisi “Perahu Kertas” mengambil tema tentang ketuhanan. Melalui puisi itu Sapardi ingin menyampaikan bahwa pengabdian manusia kepada Sang Pencipta harus dilakukan secara tulus dan ikhlas. Sapardi mengibarat ketulusan dan keikhlasan itu dengan sikap seorang anak kecil dan Nabi Nuh ketika menyelamatkan umat manusia dari banjir besar. Untuk mendukung tema itu, gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola, metafora, dan alusi.
    2) Pengkajian Intertekstual Puisi
    Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya yang muncul kemudian.
    Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya sastra. Penulisan dan pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga memberi makna secara lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 1995:50).
    Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertekstualitas sebagai : “kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.
    Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Dalam hal ini dapat diambil contoh, misalnya sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, mereka juga berkenalan dengan puisi-puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang juga telah mentradisi.
    Adanya karya-karya yang ditranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya lain yang

    BalasHapus
  54. lanjutan marliana dyah cahyani....

    yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal ini mungkin disadari atau tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya, menolak konvensi yang berlaku sebelumnya.
    Prinsip intertektualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Misalnya, sebagaimana dilakukan oleh Teeuw (1983:66-69) dengan membandingkan antara sajak Berdiri Aku karya Amir Hamzah dengan Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar. Pradopo membandingkan beberapa sajak yang lain dengan sajak-sajak Chairil, sajak Chairil dengan sajak Toto Sudarto Bakhtiar dan Ajip Rosyidi. Nurgiyantoro juga mencoba meneliti hubungan interteks antara puisi-puisi Pujangga Baru dengan Pujangga Lama.
    Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu. Unsur-unsur hipogram itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain, pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
    Memahami puisi ialah usaha menangkap maknanya ataupun usaha memberi makna puisi. Untuk itu perlulah konteks kesejarahan puisi itu diperhatikan. Dalam kaitannya dengan konteks kesejarahan ini, perlu diperhatikan prinsip intertektualitas, yaitu hubungan antara satu teks dengan teks lain. Berdasarkan prinsip intertekstualitas seperti yang dikemukakan oleh Riffaterre (dalam Pradopo, 2002: 227), puisi biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan puisi lain, baik dalam hal persamaannya atau pertentangannya.
    Puisi baru dapat dipahami maknanya secara sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan puisi lain yang menjadi latar penciptaannya. Misalnya, puisi itu diciptakan untuk menentang atau menyimpangi konvensi puisi sebelumnya, baik dalam struktur formal maupun pikiran yang dikemukakan. Dengan menjajarkan kedua puisi itu akan diketahui untuk apa karya sastra itu ditulis, yaitu untuk menentang, menyimpangi, ataupun meneruskan konvensinya. Di samping itu, suasana puisi akan menjadi lebih terang dan kiasan-kiasannya menjadi lebih dapat dipahami. Jadi, puisi yang dicipta kemudian itu dapat menjadi lebih terang arti dan maknanya jika dianalisis dengan cara membandingkan dengan puisi sebelumnya.
    Prinsip intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra (puisi). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks sebelumnya. Dalam menanggapi teks-teks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran,

    BalasHapus
  55. lanjutan marliana dyah c.....

    gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik dan pengetahuan sastra yang dimilikinya (Pradopo, 2002: 228-229).
    Hubungan intertekstualitas antara satu karya sastra dengan karya sastra yang lain dalam sastra Indonesia, baik antara karya sezaman maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya, dapat dilihat hubungan intertekstual antara karya-karya Pujangga Baru dengan Angkatan ‘45 ataupun dengan karya lain. Untuk memahami dan mendapatkan makna penuh sebuah puisi perlu dilihat hubungan intertekstual ini. Misalnya, beberapa puisi Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstual ini menunjukkan adanya persamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan. Contoh puisi “Berdiri Aku” (Amir Hamzah) dengan “Senja di Pelabuhan Kecil” (Chairil Anwar), ”Kusangka” (Amir Hamzah) dengan ” Penerimaan” (Chairil Anwar), ”Dalam Matamu” (Amir Hamzah) dengan ”Sajak Putih” (Chairil Anwar), memiliki hubungan intertekstual.
    Dengan mengutip pendapat Riffaterre, Teeuw (1983: 65-66) mengemukakan bahwa untuk memahami makna sebuah puisi secara penuh, maka orang perlu melihat intertekstualitas antara puisi yang diteliti dengan puisi yang mendahuluinya. Dengan landasan prinsip di atas,Teeuw membandingkan puisi Chairil Anwar ”Senja di Pelabuhan Kecil” dengan puisi Amir Hamzah”Berdiri Aku” yang merupakan hipogramnya. Dalam hal ini puisi”Berdiri Aku” ditanggapi atau ditransformasikan Chairil Anwar dengan sikapnya yang berbeda dalam menanggapi senja di pantai. Amir Hamzah menggunakan pandangan yang romantis, berdiri terpesona di tengah alam yang maha indah dan tenteram. Sebaliknya, Chairil Anwar menanggapi senja di pantai dengan pandangan yang realistis, dengan gambaran keadaan yang muram, penuh kegelisahan, dan tidak sempurna (Teeuw,1983; 68).
    Berikut ini disajikan contoh hubungan intertekstualitas puisi ”Kusangka” Karya Amir Hamzah dengan puisi”Penerimaan’ ‘ Karya Chairil Anwar.
    Amir Hamzah:
    KUSANGKA
    Kusangka cempaka kembang setangkai
    Rupanya melur telah diseri…..
    Hatiku remuk mengenangkan ini
    Wasangka dan was-was silih berganti.
    Kuharap cempaka baharu kembang
    Belum tahu sinar matahari…..
    Rupanya teratai patah kelopak
    Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
    Kupohonkan cempaka
    Harum mula terserak…..
    Melati yang ada
    Pandai tergelak…..
    Mimpiku seroja terapung di paya
    Teratai putih awan angkasa…..
    Rupanya mawar mengandung lumpur
    Kaca piring bunga renungan…..
    Igauanku subuh, impianku malam
    Kuntum cempaka putih bersih…..
    Kulihat kumbang keliling berlagu
    Kelopakmu terbuka menerima cembu.
    Kusangkau hauri bertudung lingkup
    Bulumata menyangga panas Asmara
    Rupanya melati jangan dipetik
    Kalau dipetik menguku segera.
    (Pradopo, 2002:232-233)
    Chairil Anwar:
    PENERIMAAN
    Kalau mau kuterima kau kembali
    Dengan sepenuh hati
    Aku masih sendiri
    Kutahu kau bukan yang dulu lagi
    Bak kembang sari sudah terbagi
    Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
    Kalau mau kuterima kau kembali
    Untukku sendiri tapi
    Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
    (Pradopo, 2002: 233)

    BalasHapus
  56. lanjutan marliana dyah cahyani...

    Puisi/sajak Chairil Anwar itu merupakan penyimpangan atau penolakan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih meneruskan konsep estetik sastra lama. Demikian halnya dengan pandangan romantik Amir Hamzah ditentang dengan pandangan realistis Chairil Anwar.
    Keenam bait sajak “Kusangka” menunjukkan kesejajaran gagasan. Sesuai dengan zamannya, Amir Hamzah mempergunakan ekpresi romantik dengan cara metaforis-alegoris, membandingkan gadis dengan bunga. Pada bait terakhir dimetaforakan sebagai bidadari (hauri) dan merpati.
    Berdasarkan keenam bait itu dapat disimpulkan bahwa penyair (si aku) mencintai gadis yang disangka murni, tetapi ternyata sudah tidak suci lagi karena sudah dijamah oleh pemuda-pemuda lain. Hal ini tampak pada bait /rupanya teratai patah kelopak / dihinggapi kumbang berpuluh kali / kulihat kumbang keliling berlagu / kelopakmu terbuka menerima cembu /.
    Chairil Anwar dalam menanggapi gadis (wanita) yang sudah tidak murni lagi, sangat berlawanan dengan sikap Amir Hamzah. Ia tidak berpandangan realistis. Si ‘aku’ mau menerima kembali wanitanya (kekasihnya, isterinya) yang barangkali telah menyeleweng, meninggalkan si aku’ atau telah berpacaran dengan laki-laki lain, asal si wanita kembali kepada si aku hanya untuk si ‘aku’ secara mutlak.
    Chairil Anwar mengekpresikan gagasannya secara padat. Untuk memberikan tekanan pentingnya inti persoalan, bait pertama diulang dengan bait kelima, tetapi dengan variasi yang menyatakan kemutlakan individualitas si ‘aku’. Dengan cara seperti itu, secara keseluruhan ekspresi menjadi padat dan tidak berlebih-lebihan.
    Dalam penggunaan bahasa Chairil Anwar juga masih sedikit romantik. Hal ini mengingatkan gaya sajak yang menjadi hipogramnya. Ia membandingkan wanita dengan bunga (kembang). Wanita yang sudah tidak murni itu diumpamakan oleh Chairil Anwar sebagai bunga yang sarinya sudah terbagi / bak kembang sari sudah terbagi / yang dekat persamaannya dengan Amir Hamzah: / rupanya teratai patah kelopak / dihinggapi kumbang berpuluh kali /.
    Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara keseluruhan Chairil Anwar mempergunakan bahasa sehari-hari dengan gaya ekspresi yang padat. Hal ini sesuai dengan sikapnya yang realistis (Pradopo, 2002: 232-235).
    Contoh análisis dan interpretasi puisi di atas hanyalah berupa contoh awal bagaimana sebuah puisi ditafsirkan. Tentu masih banyak model análisis puisi yang ditawarkan para ahli. Namun, satu hal yang harus diingat, pemilihan model análisis harus disesuaikan dengan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh interpreter. Pemahaman awal tentang konsep dasar model análisis yang akan digunakan akan sangat membantu interpreter dalam menganalisis dan menginterpretasikan puisi tersebut.

    BalasHapus
  57. NUR SINGGIH ARIFIN
    2102408081
    ROMBEL 3

    Pendekatan Puisi

    Puisi termasuk salah satu genre sastra yang berisi ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang digunakan serta wujud puisi tersebut. Bahasanya mengandung rima, irama, dan kiasan. Wujud puisi dapat dilihat dari bentuknya yang berlarik membentuk bait, letak tertata, dan tidak mementingkan ejaan. Mengenal puisi dapat juga membedakan wujudnya dengan membandingkan dari prosa. Ada empat unsur yang merupakan hakikat puisi, yaitu: tema, perasaan penyair, nada puisi, serta amanat.
    Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
    Puisi lama lahir sebelum penjajahan Belanda dan masih murni berciri khas Melayu. Puisi lama terdiri dari: mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair.
    Puisi baru adalah puisi yang terpengaruh gaya bahasa Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septina, stanza, serta soneta.
    Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa kemerdekaan. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
    Berdasarkan cara pengungkapannya, dikenal adanya puisi kontemporer dan puisi konvensional. Yang tergolong puisi kontemporer yaitu: puisi mantra, puisi mbeling, serta puisi konkret. Selain itu berdasarkan keterbacaan yaitu tingkat kemudahan memaknainya, puisi terdiri dari puisi diafan, puisi prismatis, dan puisi gelap.
    Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi
    Pendekatan merupakan seperangkat asumsi dan prinsip yang berhubungan dengan sifat-sifat puisi. Pendekatan dalam mengapresiasi puisi terdiri dari pendekatan terhadap teks puisi serta pendekatan dalam membaca puisi.
    a. Pendekatan Parafrasis
    Sesuai hakikatnya, puisi mengunakan kata-kata yang padat. Oleh sebab itu, banyak puisi yang tidak mudah untuk dapat dipahami terutama oleh pembaca pemula. Ada pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan penyair dalam bentuk baru yaitu menyisipkan kata atau kelompok kata dengan tujuan memperjelas makna puisi tersebut. Pendekatan ini bertujuan menguraikan kata yang padat dan menkonkretkan yang bermakna kias.
    b. Pendekatan Emotif
    Pendekatan ini berupaya mengajak emosi atau perasaan pembaca, berkaitan dengan keindahan penyajian bentuk atau isi gagasan. Yang ingin diketahui pembaca adalah bagaimana penyair menampilkan keindahan tersebut. Pendekatan ini juga sering diterapkan untuk memahami puisi humor, satire, serta sarkastis.
    c. Pendekatan Analitis
    Cara memahami isi puisi melalui unsur intrinsik pembentuk puisi. Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung membangun puisi dari dalam karya itu sendiri. Unsur intrinsik puisi terdiri dari tema, amanat, nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, gaya bahasa, dan citraan.
    Citraan merupakan suatu gambaran mental atau suatu usaha yang dapat dilihat di dalam pikiran (Laurence, 1973). Citraan tersebut termuat dalam kata-kata yang dipakai penyair. Citraan atau imaji dibagi menjadi:
    1) Visual imagery
    2) Auditory imagery
    3) Smell imagery
    4)Tactile imagery
    d. Pendekatan Historis
    Unsur ekstrinsik dapat terdiri dari unsur biografi penyair yang turut mempengaruhi puisinya, unsur kesejarahan atau unsur historis yang menggambarkan keadaan zaman pada saat puisi tersebut diciptakan, masyarakat, dan lain-lain.
    e. Pendekatan Didaktis
    Pendekatan ini berupaya menemukan nilai-nilai pendidikan yang tertuang dalam puisi. Agar dapat menemukan gagasan tersebut, pembaca dituntut memiliki kemampuan intelektual dan kepekaan.
    f. Pendekatan Spsiopsikologis
    Berupaya memahami kehidupan sosial, budaya, serta kemasyarakatan yang tertuang dalam puisi. Puisi yang dapat dipahami menggunakan pendekatan sosiopsikologis serta pendekatan didaktis adalah puisi naratif.

    BalasHapus
  58. Yulistiyanto mengatakan:

    Yulistiyanto Yogo Nugroho
    2102408127
    rombel 3

    Puisi, pengertian dan unsur-unsurnya

    Karya sastra secara umum bisa dibedakan menjadi tiga: puisi, prosa, dan drama. Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poesis, yang berarti membangun, membentuk, membuat, menciptakan. Sedangkan kata poet dalam tradisi Yunani Kuno berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

    Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.

    Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.

    Carlyle mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal, kata-katanya disusun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik.

    Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.

    Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.

    Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit dan samar, dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.

    Herman J. Waluyo mendefinisikan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.

    Ada juga yang mengatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling berkesan.

    BalasHapus
  59. lanjutan yulistiyanto yogo nugroho :

    Yang Membedakan Puisi dari Prosa

    Slametmulyana (1956:112) mengatakan bahwa ada perbedaan pokok antara prosa dan puisi. Pertama, kesatuan prosa yang pokok adalah kesatuan sintaksis, sedangkan kesatuan puisi adalah kesatuan akustis. Kedua, puisi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang disebut baris sajak, sedangkan dalam prosa kesatuannya disebut paragraf. Ketiga, di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.

    Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan prosa dan puisi bukan pada bahannya, melainkan pada perbedaan aktivitas kejiwaan. Puisi merupakan hasil aktivitas pemadatan, yaitu proses penciptaan dengan cara menangkap kesan-kesan lalu memadatkannya (kondensasi). Prosa merupakan aktivitas konstruktif, yaitu proses penciptaan dengan cara menyebarkan kesan-kesan dari ingatan (Djoko Pradopo, 1987).

    Perbedaan lain terdapat pada sifat. Puisi merupakan aktivitas yang bersifat pencurahan jiwa yang padat, bersifat sugestif dan asosiatif. Sedangkan prosa merupakan aktivitas yang bersifat naratif, menguraikan, dan informatif (Pradopo, 1987)

    Perbedaan lain yaitu puisi menyatakan sesuatu secara tidak langsung, sedangkan prosa menyatakan sesuatu secara langsung.

    BalasHapus
  60. lanjutan yulistiyanto yogo n

    Unsur-unsur Puisi

    Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik , bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut.

    Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.

    Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.

    Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.

    Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.

    Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.
    Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik.

    BalasHapus
  61. yulistiyanto mengatakan :
    Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut.

    (1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

    (2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.

    (3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.

    (4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

    BalasHapus
  62. lanjutan terakhir yulistiyanto :

    Sedangkan struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.

    (1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

    (2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.

    (3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

    (4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll, sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.

    (5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

    (6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

    BalasHapus
  63. susah banget mahaminya... hehe

    BalasHapus
  64. baca puisi... suka. tapi nggak tau seperti yang di jelaskan diatas...

    BalasHapus